oleh fiqoh
Sejak kita kecil, orang tua selalu tidak membolehkan ini dan itu, di antaranya melarang anak-anaknya membaca novel, mengenal pornografi, dan mengeluarkan ide-ide yang liar atau nyeleneh.
Tidak boleh mendengar pembicaraan orang tua (kecuali menguping), atau mengingtip secara sembunyi-sembunyi hal-hal yang ganjil. Sementara itu, para orang tua bebas bergosip ria, ghibah, dan kadang bahkan memfitnah.
Inikah edukasi?
Jangan heran kalau sebuah kesopanan atau waktu belajar menjadi sebuah tujuan bermain-main, dan keseriusan yang mengkawatirkan justru berlangsung tersembunyi. Karena, kita selalu diajarkan dan mengajarkan untuk menyembunyikan yang jorok, curang, jahat, dan keliaran. Kita selalu dituntut hanya menampakkan sesuatu yang baik (kadang bersandiwara bila perlu) di hadapan orang tua dan dunia.
Hingga tiba-tiba kita dikejutkan oleh hebohnya berita tentang kasus skandal seksual atau kehidupan asmara para pemimpin dunia dan tokoh agama. Ada soal Bill Clinton yang dituduh selingkuh dengan Monica Lewinsky, Alan Garcia Roxanne Cheesman, dan poligaminya dai kondang A.A Gymnastiar.
Banyak yang menyayangkan, juga tak sedikit yang menghujat. Ada juga sebuah spekulasi yang menyatakan bahwa pembocoran kasus itu sebagai upaya pemakzulan, dalam kasus Clinton misalnya. Apapun itu, menurutku bukan soal bagaimana para pemimpin harus waspada, atau bagaimana kita memberi hujatan.
Apa bedanya A.A Gym dengan kita – melakukan selingkuh sembunyi-sembunyi, memiliki kekasih gelap, menikah sirih diam-diam, memiliki istri lebih dari dua tanpa diketahui istri pertama, atau sering mendatangi ke tempat-tempat pelacuran?
Kegemparan poligami dan perceraian A.A Gym, sungguh bagai badai yang menggemuruh hingga kita hanya sibuk melihat kegaduhan di luar, tapi tak sempat meraba gajah di tengkuk dan melihat ketelanjangan pikiran kita yang sering penuh dengan porno setiap hari.
Kita maupun para pemimpin itu, tak akan bisa seperti malaikat yang tanpa nafsu dan sifat-sifat yang keliru. Menuntut pemimpin atau penceramah layaknya dewa, jelas kita akan kecewa dan rasanya tak akan pernah ada. Bukankah yang baik dan buruk selalu berdampingan?
Jemaah tak perlu naïf mendewakan penceramah atau figur yang jadi idola, yang bisa menghilangkan kekritisan. Penceramah jangan selalu menganggap dirinya paling sempurna. Kekritisan penting dalam segala hal, karena menuju sempurna adalah tugas setiap individu dan tak bisa diwakilkan melalui tokoh, seperti ketika menonton sepak bola.
Kita butuh pemimpin, seperti menyepekati bahwa barisan perlu komando. Kita butuh penceramah untuk menambah wacana dan pengeling-eling untuk bahan pemikiran dan analisa. Tapi, ia tak harus mematikan nalar dan kreatifitas, layaknya ketika kita membaca litertaur sebuah bacaan.
Ibarat pepatah, mutiara yang keluar dari mulut anjing tetaplah mutiara.
Kurasa, kita tak harus buru-buru bersikap apatis, apalagi buru-buru mengguyurkan air hujan untuk kemarau setahun. Jika kita tak belajar memberi kesempatan pada keburukan yang nampak, kita akan menjadi masyarkaat yang hipokirt selamanya.
Jakarta, 25 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar