Kamis, 02 Juni 2011

Dan

Enam jam kita bersama
Hanya nyanyian yang tak selesai
Juga setelan gitar yang sumbang

Kita bicara berpindah-pindah tema
Aku tahu bukan itu sesungguhnya
Hingga tiba temaram yang muram
Dan hatiku bersyukur karenanya
Entah kenapa


Seminggu berlalu sejak jumpa pertama. Dan aku tak memikirkannya lagi. Tapi sapaan pagimu rutin mendatangiku.

“Bangunlah, senyum, sambut hari baru, dengan harapan baru!”

Dan.

“Terimakasih,” jawabku selalu.

Sebuah perjalanan sore yang berkabut, kaca depan mobil bagai disirami agar-agar tebal. Musik bervolume rendah dipaksakan mengalun demi mengusir ketegangan yang lelah. Dan aku mencoba mengingatmu di saat aku berada di samping seseorang, wajahmu yang samar seperti kaca itu.

Di suatu siang setelah seminggu yang diam. Pertemuan kita bagai serial dalam cerita bersambung -- kamu menunggu di pinggir jalan dan aku di dalam mobil bersama sesorang. Saat itu kulihat dari balik kaca wajahmu yang hitam manis, nampak elegan dengan kemeja hitam bergaris, dan jeans warna biru navy yang membuat penampilanmu serasi. Hatiku memberi nilai 8 untukmu.

Di sebuah malam, aku berusaha mengumpulkan ingatan itu – menyebabkan sakit pada kepalaku, bagai seorang amnesia di antara keterpecahan ingatan masa lalu. Membayangkanmu jauh lebih sulit dibanding jika aku mengenang sosok laki-laki selainmu terlebih karena dia sangat disukai oleh tubuhku meski tidak keluargaku. Tentu aku menyukai dada bidangnya yang bagus dengan bulu lebat yang lembut dan jauh dari postur penjajah wanita, juga berhati baik. Dia berwajah campuran Cina dan Sunda, yang meski seiman denganku tapi diragukan keluargaku, ditambah bumbu narkoba membuatnya tercela, meski celaku lebih banyak lagi.

Tiga minggu membeku untuk hubungan kita.

Ini hari pertama kau absen menyapa. Mungkin kau lelah dan aku lebih-lebih lagi karena sementara itu orang-orang di sekitar kita banyak mengambil alih dengan berkirim sms dan menelponku, mereka bagai para sales dari sebuah perusahaan yang tengah meluncurkan porduk baru. Mareka berkata bahwa kamu produk terbaik buatku, kamu pengertian, taat beragama, memiliki estetika baik tentang seni, dsb, dsb. Orang-orang itu agaknya menahan nafas menungguku bermurah hati untuk bersay hallo padamu.

Dan aku melakukannya.

“Hai, apa kabarmu?” kataku, tanpa pakai salam seperti yang sering kau gunakan ditambah doa terbaik dan pengharapan.

“Terimakasih untuk smsmu, aku baik dan kamu?”

“Baik juga. Maaf sering tak membalas smsmu termasuk semalam, karena aku sedang perajalanan menuju suatu tempat.”

“Oh, tidak apa-apa. Mengerti.”

Dalam hitungan menit, para ‘sales’ mengirimkan sms memberi selamat (aku tahu) kamu memang baik di mata orang-orang sekelilingmu. Komunikasi singkat kita dengan cepat bahkan menjalar ke keluarga sepupu, kakak, adik, hingga ipar-ipar di keluargamu. Dan mereka memburuku untuk menerima lamaranmu, dengan alasan aku akan berubah pikiran atau kamu yang berubah pikiran.

Ya, aku tahu maksud semuanya baik. Tapi aku semakin ingin menjauh.

“Pernikahan?” gumamku selalu dalam hati dan aku bagai kembali ke masa perpindahan dunia dimana takkan bisa kulalui semalampun di sepanjang hidupku tanpa jepitan dalam ketiak pasanganku.

Sebuah malam di minggu keempat April 2011. Kau datang untuk sebuah proyek bersama temanku yang kini sebagai teman barumu. Dan entah siapa yang memulai, kita saling berbicara.

“Kau terlihat sangat sibuk. Kalau tak ada waktu, tak perlu sempatkan ngobrol denganku,” katamu saat aku membawa dua cangkir kopi ke hadapanmu.

“Nikmati saja. Kalau aku sudah di depanmu, artinya aku di depanmu. Dan jangan berpikir yang lain,” timpalku dan kusadari betul ada nada ketus dalam suaraku.

Lama kita saling diam. Kau seperti merasa beruntung ada beberapa pot tanaman untuk mengalihkan pandanganmu. Dan aku bersyukur pada seekor kucing kecil yang bermain-main di kakiku. Beberapa saat kita saling sibuk dengan diri sendiri.

“Kapan punya waktu untuk ngobrol?”

“Kapan-kapan.”

Pertanyaan dan jawaban bodoh yang kita lakukan dan mungkin tak disadari olehmu (bukankah saat itu kita sudah ngobrol?).

“Berarti tak bertepi,” katamu hampir tak terdengar dan aku membiarkannya.

“Aku mengerti kamu sibuk,” katamu meneruskan dengan nada penuh pengertian, dan meneruskan, “Kamu seorang pejuang. Kulihat kamu memiliki banyak teman yang baik. Duniamu berwarna.”

“Jadi? Apa maksudmu berkata itu?”

“Aku ingin melukiskan warna itu untukmu jika diijinkan,” katamu datar dan tak memaksa. Aku diam meski tak tahu apa maksudnya, hingga di sebuah pagi dimana aku bangun siang dank au sudah siap berpamitan.

“Selamat menggapai harapan baru. Yakinlah, apapun yang diperuntukkan Tuhan buat kita, akan menjadi milik kita. Kelelahanmu dalam berusaha, adalah wujud sempurnanya ikhtiar.”

Pagi itu kau berlalu. Dan aku tidak tidur di malam hari. Hatiku mulai dirayapi kesadaran tentang kekerdilan atas diriku, entah mengapa. Pernyataanmu tentang hidupku yang berwarna, berbalik 180 derajat dan terasa seperti sindiran menjadi warna hidupku -- warna yang dengan jujur kuakui lebih banyak sisi kelam dan menggelisahkan. Warna yang membuatku gamang memaknai bahwa hidup adalah pilihan (apa sejatinya pilihan?) – apakah menikah dengan pengguna narkoba adalah pilihan? Menentang keluarga pilihan? Berjalan seorang diri di sepanjang hidup pilihan? Menilai baik menurutku sendiri adalah pilihan? Sampai di sini aku kehilangan suaraku yang biasanya lantang!

Mungkin YA untuk seseorang, tapi TIDAK untuk seseorang yang lain. Tapi apapun itu, sebuah pilihan adalah sesuatu yang lahir dari pergulatan, yang satu sama lain bisa berbeda-beda dan kadang berubah seiring masa. Ia sebuah nilai, juga konsekuensi, tidak sekedarnya.

Dan sampai di sini pikiranku dipenuhi segala sesuatu tentangmu. Kamu yang teduh dan indah, seindah lukisan-lukisan tanganmu pada setiap huruf yang kau ukir saat menulis namaku. Meski demikian, aku belum bisa berkata, ”aku mencintamu,” dan mengatakan bahwa kamu baik -- karena kebaikan dan kesempurnaan menurutku hampir tak ada definisinya. Semakin baik, semakin sempurna, ia bahkan kian tak terlihat.

Dan.

Malam itu jemariku yang sering menunjuk kaku mulai mengetik huruf-huruf dan kukirim melalui telepon selulerku.

“Kamu tahu hidup manusia terlalu singkat dan banyak hal yang harus dilakukan. Terlalu kecil untuk hanya berkecimpung tentang diri sendiri. Sayangnya, banyak hal-hal besar terhambat karena soal-soal kecil bernama kesalahpahaman dan ketakpercayaan dari pasangan yang berkeluarga (yang kadang hanya demi birahi dan ego kita yang terselubung). Terus terang, aku tak bisa hidup dengan pasangan yang seperti itu. Karena hidupku tidak ingin berhenti. Hidup adalah bertumbuh dan aku ingin terus bertumbuh.”

“Dari hati yang paling dalam, bagiku sama sekali itu bukan masalah. Bagi dua orang yang sudah menikah, yang penting dalam dirinya berkesadaran sebagai istri atau sebagai suami di manapun dan dalam kondisi apapun kita, cukup itu saja.”

”Aku ingin bahwa dalam pernikahan adalah hubungan yang egaliter. Dua orang yang bisa menjadi teman dalam menjalani hidup, untuk bersama mengarungi kehidupan. Tapi kamu tak harus setuju atas perinsipku itu.”

”Setuju,” katamu tanpa pikir panjang yang membuatku ragu tapi intuisiku tidak.

”Aku seorang seniman yang menyukai keindahan musik, seni rupa, dekorasi, dll. Jadi, aku sangat-sangat suka keterbukaan, dan kebebasan yang beretika. Kamu tidak akan pernah terhenti. Kita akan tumbuh bersama. ICH LIEBE DICH.”

”Bernarkah?” kataku meski sejujurnya sudah lama sekali aku tak pernah mempercayai sebuah janji.

“Kebebasan dibutuhkan agar kita bisa berkarya, baik untuk diri sendiri, keluarga dan sesama.”

Ada jeda yang begitu lama. Ada kedamaian menyusup jiwa. Kurasa, saatnya bagiku merenungkan kata-katanya.

Dan.

Kurasa aku menyukainya.

Jakarta, 30 April 2011 (fiqoh)



1 komentar:

ribka mengatakan...

like this!!! XD