Selasa, 07 Juni 2011

Terpesona

Cerpen
Oleh Fiqoh

Ini beda — bukan pesona yang hadir pada pandangan pertama dan menumbuhkan hasrat pada tubuh. Tapi, pesona yang barangkali membutuhkan ruang hening, untuk diam-diam memasuki jiwa.

Dan aku akan menuliskannya sekarang. Ya, sekarang. Meski sejenak, agar ia terabadikan.

Karena.

Aku takut detik berlalu menggeser momen dan menggantinya dengan masa mendatang, masa yang tak akan pernah terulang seperti sekarang -- desah nafas yang tak pernah akan sama, gesture tubuh, dan seluruh emosi yang terangkum ketika kata demi kata diucapkan.

Masa selalu memiliki jiwanya. Seperti pepatah, “Jika cinta kian menipis maka kesalahan makin menumpuk,” dan sebaliknya, cinta mampu mengubah segalanya.

Ketika.

Hari ini, kita memandang sebuah kekurangan sebagai sebuah berkah. Karennya kau dan aku merasa dibutuhkan untuk mengisi kekosongan itu. Sempurna.

“Tapi aku takut dengan dunia cinta, dimana dunia itu hanya milik kita berdua dan aku hanya jadi milikmu," kataku.

"Tak akan ada yang berubah, melainkan menjadi kian lengkap. Yang mendukungmu akan bertambah.”

Saat itu aku baru lepas dari lingkaran timku, mereka kalangan pekerja yang sedang menghadapi masalah ketidakadilan. Mereka harus pergi karena waktu, dan menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai.

“Mungkin semua ini tak akan selesai hingga akhir hayatku. Jika aku disuruh memilih, menjadi sufi di tempat yang sunyi atau menjadi seorang yang terus berkoar di tengah hiruk-pikuk manusia, aku memilih yang kedua.” lanjutku meski terdengar jumawa dan aku menebalkan muka.

Tentu kata-kata itu tak seluruhnya kutujukan padamu, dan kamu yang lebih suka mendengar dibanding bicara lekat menatapku, tanpa sepatah kata.

“Seperti yang kau lihat, aku bagai pengayuh sampan di lautan persoalan. Aku butuh kesunyian, tapi juga tak bisa bertapa di sana selamanya. Aku tak bisa merasa damai dengan pemenuhan hasrat badaniah yang selalu menyisakan bekas kotoran pada priring-piring dan peralatan dapur serta seprai tempat tidur kita, dalam putaran waktu 1 X 24 jam sepanjang umurku. Aku tahu itu indah, tapi bukan satu-satunya,” kataku ingin menegaskan sekali lagi, meski terasa janggal di telingaku sendiri.

Kejanggalan itu bagai telah lekat dalam diriku, ia bagai gumpalan membatu yang muncul seiring perginya selubung kabut. Dan kini aku menjumpainya lagi, ia bernama ketakutanku. Aku benar-benar ingat perjalanan panjang di masa-masa sebelumnya dimana sebuah pinangan keluarga terpandang dan sangat beragama (entah kenapa agama ada yang sangat dan tidak sangat), memasangkan rambu-rambu (lebih tepat kusebut ranjau-ranjau) di belakang daun pintu. Jika menginginkan kebebasan dan keluar dari sana, ranjau itu membuat kita terluka dan cacat di masyarakat, bahkan selamanya. Di sini simbol lebih penting, sedangkan hakekat bagai berada di dunia antah berantah.

“Aku lelah menjelaskan ini semua tapi…”

“Tapi, memang itu melelahkan,” sembungmu. “Jadi tak perlu kau menambah kelelahan itu dengan terus mengingatnya. Catat saja sebagai dokumen (katalog isi dunia) bukankah itu lebih baik?”

“Tapi aku harus menjelaskan sekali lagi, sebelum kita sepakat hidup bersama. Kadang, tatanan di masyarakat dan tatatan sosial itu bagai pisau. Tapi ia tak bisa ditangkis karena ia bagai atmosfir (ada, terasa, tapi tak bisa disentuh)”.

“Boleh kulanjutkan kalimatku?” tanyamu setelah lama merenung, dan aku menjawab dengan bahasa tubuh.

“Di dalam hidup ini ada banyak kelompok dan paham. Bahkan ketika kita bicara soal nasionalisme pun, tetap ada faksi-faksi – nasionalis demokrat, liberalis, kapitalis, sosialis, fasisme, juga kumunisme. Begitu juga dengan pemahaman setiap orang di dalam menerjemahkan agama, aqidah, dan sebagainya,” katamu dan memandangku, bertanya lagi, “Masih tertarik untuk dilanjut?”

“Tentu.”

“Aku setuju tugas-tugas itu tak akan pernah selesai hingga ajal menjemput. Nanti jika kita menikah, satu lagi orang yang mendukungmu, selain teman-temanmu tadi. Seseorang yang mengekang dan merasa memiliki seutuhnya seseorang yang lain, ia melupakan bahwa Tuhan lebih berkuasa. Kita bahkan akan dipanggil di suatau saat."

Aku tersenyum, dan kamu juga. Lalu, "Hm, soal cuci piring...?" tanyamu sambil menatapku jenaka namun membuatku terhenyak.

"Jangan kawatir. Fisikku yang kuat dan sempurna ini bisa bergantian cuci piring, merapikan tempat tidur, mencuci baju, memasak di dapur atau menyapu halaman. Bagiku itu hanya soal teknis yang bisa dilakukan oleh orang-orang dewasa yang mengerti bahwa manusia harus bertanggungjawab terhadap dirinya. Bagaimana Ibu…? Masih ada yang lain?” katamu dengan mata berbinar hingga bola matamu yang hitam berkilau-kilau.

"Ayo...!" ajakmu sambil mengangkat tangan mengajak toast!

Bahuku terasa kaku, mungkin ini reflek tubuhku merespon ketakjuban, seperti menyaksikan mutiara di lumpur halaman rumah kita. “Maafkan aku…” suara batinku meminta maaf padamu, batin yang diliputi rasa malu dalam kesombongan.

Jiwaku bagai ditelanjangi oleh mata batinmu (kau tahu?) bahwa saat itu aku sedang berpikir begini: aku sanggup melakukan cuci piring di Malaysia atau Arab Saudi ketika itu menjadi bagian perjuangan hidup yang lebih hakiki (demi keluarga). Tapi tenggelam dalam itu di rumah sendiri, membiarkan berbagai pelanggaran kemanusiaan yang lebih luas demi seseorang yang cukup tangguh untuk dilayani (suami), aku tidak mau!”

“Ssst...” katamu, masih dengan mata yang berkilau dan meraih tanganku, lalu menciumnya.

“Mencintai itu menifestasi dari keikhlasan. Seperti…” kau terlihat berat melanjutkan kalimat itu.

Seperti senja yang disapa gerimis hingga sunset keemasan tersaput mendung. Seperti dermaga yang kukunjungi untuk kedua kali dengan orang yang berbeda dan menghadirkan suasana hati yang juga berbeda. Perbedaan rasa ini, yang mengilhamiku untuk tidak bertanya kenapa kau bercerai dari istrimu? Mungkin saja pemikiran itu juga yang membuatmu tak pernah bertanya, kenapa aku masih saja menyendiri.

Aku percaya, bahwa satu alasan yang digunakan seseorang tidak selalu bisa diterima orang yang lain.

“Boleh kulanjutkan?” katamu yang telah kukenali sebagai cirri khas saat bersamaku dan mulai membuatku merasa bersalah (atau mungkin ada yang salah?).

Kubentuk jari tengah dan ibu jariku mirip lingkaran dengan tiga jari lain tegak di atas (seperti ingin menyentil telinga anak kecil). Dan dia melanjutkan masih dengan keseriusan.

“Mungkin ini usang, bahwa mencintai tidak harus dicintai. Bagai lagu Ebit, aku hanya berpikir apa yang bisa aku beri, dan apapun yang akan kuterima aku tak peduli. Ini bukan gombal,” katamu seperti kawatir aku berpikir begitu.

“Ini seperti…" katamu tersendat dengan nafas yang nampak berat.

"Seperti...cintaku pada kedua anakku. Aku tak perlu berpikir apakah meraka mecintaiku atau tidak tapi aku mencintainya, menyayanginya. Dan aku tak akan memaksamu mencintaiku, tapi biarlah aku yang mencintaimu, menyayangimu.”

Sepi.

Angin kencang berhembus di hadapan kita. Ia bagai lepas dari jepitan dua planet.

Kau dan karya landscape-mu. Aku dan keputusanku. Lukisan taman itu tak seluruhnya bunga-bunga hidup. Aku tahu, artifisial terkadang menjadi bagaian keindahan, dikala manusia perlu mewujudkan hayalan ke dalam realita. Dan aku menghargai keindahan alam pikiran itu.

Aku merasa sudah mencintai kedua anak laki-laki yang tampan-tampan dan cerdas itu, meski belum untuk kamu. Tapi aku tak menampik bahwa jiwa indahmu laksana membawaku ke taman indah, dan aku menjadi bagian itu.

Jakarta, 5 Juni 2011 (23:20: 00)

Tidak ada komentar: