Minggu, 11 Desember 2011

Sebuah Sore

oleh fiqoh

Pagi

06:25 rata-rata, kereta membawaku bersama ratusan penumpang. Geliat matahari sering terlewat, kornea mata sering diberati kelopak.

Sore

18:00 hampir bisa dipastikan. Rangkaian gerbong akan meliuk-liuk di atas dua besi berliku, di tikungan itu. Kudekatkan wajahku ke kaca jendela. Gerbong bagian belakang menjulur bagai ular raksasa.

Ketika roda-roda tak terlihat caranya bekerja, kereta seakan mengambang di udara. Kusandarkan kepalaku setengah merebah. Dan aku mulai menikmati awan cantik yang menari, mengejar kereta yang pergi. Sore itu awan melukiskan warna-warna cerah, putih salju, biru, jingga, membentuk pulau-pulau mengepung danau.

Kabut mulai menyembul lembut, berarak, dan memudar di dekat jalur lintasan. Jalan setapak terlihat putih di antara barisan rumput yang berdiri di tepi. Dari jauh terlihat seperti belahan rambut di kepala.

Kereta terus melaju, membelah angin yang tak henti menghempas celah kaca. Sinar hijau di balik bulatan lampu kereta bagai kerlingan indah di alam yang mulai temaram. Di kiri kanan pepohonan mulai terlihat kehitaman, menyuguhkan kecantikannya yang megah. Ada deretan mahoni, sono keling, sengon, diselingi tanaman palawija petani. Lalu ada beberapa rumah penduduk berpagar bambo, kayu, yang diapit kebun sayur dan sawah-sawah.

Bumi membentang dalam keasliannya yang alami. Pohon-pohon besar yang mulai menguning, bagai lambang kesetiaan yang siap berkorban setiap saat menggantikan pilar rumah yang lapuk. Dan kebun itu, menjadi sumber kehidupan keseharian. Ah, yang terakhir...sawah itu. Hamparan lumpur halus yang sangat luas dan tiada putus-putusnya, hingga jam di tanganku sudah 20 menit menghitung waktu.

Luas yang menentramkan, tak seperti gang-gang janalan Ibu Kota yang kerap menjadi ajang perebutan dan sengketa. Dan entah kenapa, emosiku tertanam di sana. Sebuah keterikatan, bahkan ketergantungan, pada benih yang ditabur, dan hasil yang dituai -- nasi yang kubtuhkan setiap hari.

***

Awan yang indah kini sudah jauh terlewat. Berganti semburat layung memancarakan warna merah saga. Pohon-pohon padi yang tumbuh subur, bagai perempuan-perempuan dewasa yang tengah mempersiapkan kelahiran. Kebun-kebun sayur di pematang, mulai terlihat seperti gundukan-gundukan lunak, bagai gadis-gadis desa yang berkemas menyambut petang.

18:27, hampir selalu. Roda kereta mulai menyentak-nyentak, mengguncang yang tertidur. Di stasiun itu aku mengakhiri perjalananku. Hari ini, hari ke 99 sejak kutempuh rute yang sama, menuju tempat yang sama, berangkat dari rumah yang sama, pada jam-jam yang sama.

Apakah ini sebuah rutinitas? Jawabku, bukan.

Karena rutinitas bagai sebuah kepastian, yang statis, yang seakan tidak mengalami pasang surut, dan berada di luar segala kemungkinan.

Padahal kemungkinan adalah keniscayaan abadi, yang hari ini masih bermurah hati memberi kesempatan, tapi esok belum tentu.

Sore itu anugerah yang indah, karenanya masih bisa kulakukan ini semua.

Terima kasihku pada-Mu, untuk sebuah sore-Mu.


Adiyasa, 7 Desember 2011

Tidak ada komentar: