oleh fiqoh
Sering aku menganggap, segala sesuatu yang kulakukan secara rutin setiap hari sebagai rutinitas. Berangkat ke kantor, duduk di depan komputer, melakukan pekerjaan marketing, dan kembali pulang di jam-jam yang sama.
Kegiatan itu memang selalu sama, persis seperti ketika aku berdiri di sebuah titik menunggu kereta. Juga, seperti sembahyang yang dilakukan pada jam-jam sama, dengan hitungan sama.
Rutinitas kumaknai sebagai sesuatu yang menjadi kebiasaan, dan karenanya menjadi sesuatu yang biasa. Tapi, sembahyangku siang ini mengubah pemikiranku sendiri, karena ia tidak biasa -- intonasi yang kurasakan berbeda, tingkat konsentrasi yang berbeda, juga niat di hati yang kadang tebal kadang tipis.
Biasa (kutandai tebal), karena menurutku ia sangat kompleks. Sembahyang lima waktu, mungkin akan bisa menumbuhkan kadar keimanan, tapi kadang juga tidak, selalu berbeda dari waktu ke waktu. Meski dalam kasat mata segalanya tampak biasa -- sembahyang yang tetap kutunaikan.
Biasa itu bagai stabil. Seakan-akan, segalanya berjalan dengan sendirinya bersama gerak tubuh kita saat menuju sesuatu, baik tempat maupun pekerjaan yang sama. Seakan-akan, segalanya pasti berjalan sesuai perkiraan, hasilnya sesuai perhitungan, tidak ada naik turun. Ia bagai sebuah ketetapan, seperti lambang yang diselempangkan, dikalungkan, atau dikenakan di kepala.
Padahal, apa yang kuanggap biasa, sejatinya selalu butuh upaya-upaya yang selalu berbeda, selalu lain, dan perlu adanya kesadaran soal itu. Mungkin orang hanya melihat bahwa kita selalu ada pada pintu masuk stasiun sebelum jam keberangkatan kereta, tapi orang tidak tahu bagaimana pergulatan kita pagi ini. Ada anak, istri, atau suami yang sedang sakit yang harus kita tinggalkan karena tugas, karena deadline, dsb. Semua akan mempengaruhi emosi, mood, bahkan kadar keimanan.
Hidup selalu dinamis, seperti halnya dunia yang terus berkembang. Kadang kita dituntut menaiki tingkat berikutnya, atau kadang turun dari tingkat sebelumnya.
Tapi, di luar semua itu, aku hanya ingin menyadarkan diri sendiri bahwa dari segala yang nampaknya bisa dikendalikan dan dianggap biasa, ada sesuatu yang secara niscaya tidak bisa kita sebut biasa.
Sesuatu itu adalah sang waktu...yang penuh dengan segala kemungkinan. Mungkin hari ini kita masih tenggelam dalam rutinitas itu, mungkin besok tidak lagi.
Selagi jiwa ini hidup, segalanya tak bisa disederhanakan sebagai perjalanan yang biasa. Rutinitas yang kita kerjakan hari ini, adalah karena adanya kesempatan yang masih diberikan oleh-Nya. Tuhan. Dimana aku sendiri sering lupa mensyukuri.
Padahal ia begitu berwarna.
Adiyasa, 8 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar