Jokowi sedang diusung banyak pendukung, digandrungi. Rasa yang juga saya miliki, setelah golput sejak dua putaran pemilu yang lalu.
Saya gandrung padanya.
Jokowi yang sebenarnya biasa, hanya saya ia ada di tengah-tengah keluarbiasaan
yang ada.
Perhelatan memilih calon pemimpin bangsa sedang terjadi begitu
memanas. Bahkan tak jarang sering mengorbankan suara yang lemah melalui keoligarkian
pemimpin, atau penyesatan tak langsung lewat klaim-klaim tokoh yang dianggap
amanah. Kadang juga melalui ‘pendakwah’.
Berbagai suara dengan segala tingkatan pendidikan, kepercayaan,
aliran, bertebaran di mana-mana. Dari sana
warna terlihat, kapasitas, kualitas, juga bias, yang sering tidak disadari
karena berbagai dimensi, tendensi, juga ketidaktahuan warga yang masih sulit
mengakses informasi secara berimbang.
Hal itu kian memberi tanda bahwa harapan mewujudkan dukungan
kritis masih terasa jauh.
Tapi saya selalu percaya bahwa personalitas pemimpin penting
disamping seabrek program yang bisa ditawarkan, atau kebijakan yang dibuat. Pemimpin
yang baik, adalah individu yang baik, dimana unsur-unsur dasar manusiawi masih
bisa ditemukan. Di antaranya ia memiliki sifat bisa dipercaya, rendah hati,
jujur, berani. Pemimpin yang awas, untuk memastikan seluruh sistem berguna, terkontrol, dan memang
diawasi. Laku inilah yang disebut jejak perbuatan, yang menjadi dasar-dasar tindakannya, cermin sifatnya. Track Record adalah jejak perilaku, yang tidak bisa dicuri oleh
kekuatan apapapun. Sebagaimana hukum kebiasaan
yang terjadi dalam semesta, dimana sifat baik akan melahirkan tindakan baik.
Hukum ini pula yang tidak akan menukar atau mengubah rasa mangga dengan buah brenuk,
meski keduanya berdampingan di tanah yang sama.
Dari sekian perangkat hukum, undang-undang,
jutaan pasal yang terus ditambah meski hak-hak konstitusi tak pernah terbukti, tapi
nurani selalu membuktikan kebaikan-kebaikan yang berguna untuk kemanusiaan. Nurani pula yang membuktikan
bagaimana hubungan majikan buruh tani tetap berlaku santun dan tidak melanggar
HAM. Meski tanpa diatur undang-undang dan sanksi, perlakuan manusiawi selalu
menjadi kepekaan yang membudaya. Buruh tani di kampung-kampung selalu tak
kekurangan makan dan minum. Hingga sistem kapitalisme menjadikan manusia adalah
budak, dan pemimpin bangsa serta wakil rakyat lupa menghormati manusia,
bangsanya -- buruh hanyalah soal relasi alat produksi dan majikan, selebihnya
upah. Pada akhirnya, kita rindu menemukan kembali fitrah manusia dalam diri pemimpin.
Tentu, menggantungkan perubahan Indonesia
pada Jokowi adalah kesalahan. Bahkan anugerah Tuhan
pun enggan menghampiri tanpa kekritisan diri kita mempergunakan pikiran. Bertuhan
adalah berpikir, apalagi menentukan tuhan untuk bangsa kita. Gusti Allah
tergantung prasangka (maunya) manusia.
Saatnya memperbaiki kemauan kita sendiri dengan memperbaiki cara berpikir, menentukan pilihan dengan rasa bebas, mengawal proses perubahan hingga akhir. Hal ini, yang diingatkan oleh Coen Husain Pontoh tentang dua jebakan berbahaya memilih Jokowi dalam tulisan "Dukungan Kritis" . Harapan ini bisa terjadi jika pemimpin kita adalah pemimpin yang rendah hati, yang komunikatif, untuk
tidak menutup ruang-ruang kekuasaan.
Tak ada gading yang tak retak. Tapi jika
ada banyak calon pemimpin yang sama-sama retak, pilihlah yang retaknya sedikit.
Jangan-jangan, keretakan yang terjadi sekian lama karena kita berlaku pasif.
Adiyasa, 3 April 2014
[tulisan ini terinspirasi artikel Mas Coen dalam
judul ”Dukungan Kritis]