oleh fiqoh
Kita sering mendengar tentang perumpamaan, bahwa pejuang itu bagaikan lilin. Bagaimana menurut Anda?
“Bisa menerangi sekitarnya, diri sendiri terbakar. Seperti itulah pejuang. Tetapi susah untuk menjalankan,” kata seorang teman.
“Seperti pejuang kemerdekaan, mereka mengorbankan jiwa dan raga tapi tidak menikmati hasilnya,” jawab teman saya yang lain.
Bagaimana dengan kita? Siapakah dari kita yang ingin seperti lilin? Dan siapakah yang tidak ingin?
Lilin yang menyala dan menerangi sekitarnya. Lilin yang memberi cahaya dalam gelap. Tapi juga lilin yang sedikit-demi sedikit tubuhnya meleleh, terbakar dan habis!
“Bisakah kita seperti itu? Sebagai kepala keluarga saya harus memberi makan anak dan istri, kalau saya terbakar, bagaimana dengan keluarga?” teman yang kedua bertanya dalam bimbang.
Jika pertanyaan itu tidak terjawab, kita semua akan gelap. Dan memilih menjadi atau tidak menjadi, kita tetap terbakar dan meleleh, bersama habisnya usia kita di dunia.
Lilin hanyalah perumpamaan, dari perjalanan hidup setiap individu tanpa kecuali – saya juga anda. Sejak kita dilahirkan, dewasa dan beranjak tua. Kita menghabiskan usia sedikit demi sedikit. Hingga kita menuju liang lahat. Itu sama dengan tubuh lilin yang meleleh, habis dan padam.
Bedanya, lilin padam karena memberikan cahaya, sedang manusia yang mati, belum tentu meninggalkan amal perbuatan yang baik, yang bisa dikenang, yang bisa memberi inspriasi orang lain – bagai cahaya lilin itu.
"Membakar" diri, sejatinya melambangkan sebuah pengorbanan dan semangat juang. Pengorbanan yang bisa menghadirkan cahaya, baik untuk diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Padam setelah memberi terang, jauh lebih berharga. Karena setidaknya, kita pernah berbuat sesuatu dan berguna, bagi kehidupan dan sesama.
Mari saling membakar, mari saling terbakar. Dalam semangat juang, semangat berkorban, demi cahaya yang akan selalu menghidupkan harapan, bahkan di saat kegelapan melanda.
Menjadi lilin bukan hanya milik orang yang kita beri gelar pejuang. Tapi milik semua manusia yang hidup. Yaitu kita.
Adiyasa, 27 Maret 2012
Selasa, 27 Maret 2012
Senin, 26 Maret 2012
Sebuah Perdebatan
oleh fiqoh
Salahkah hidup untuk makan?
Ketika itu gadis kecil berumur sebelas tahunan menjawab, salah. Dan sahabat sebayanya hanya tercenung dalam bimbang. Lalu keduanya beranjak pulang bersama kambing-kambing gembalaan mereka. Selanjutnya, keduanya menempuh jalan hidup yang berbeda.
Kemarin, pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh seorang bapak menjelang jam makan siang, “Jangan lupa makan siang. Karena makan untuk hidup, atau hidup untuk makan sih?”
“Keduanya benar. Tapi keduanya hanya salah satu hal, terkait kehidupan dalam arti yang luas,” kata saya melalui pesan singkat.
“Yang benar makan untuk hidup, kalau hidup untuk makan, itu namanya seperti...” ia tak meneruskan kalimatnya dan saya menggodanya, “Seperti kita.”
”Hm, maksudnya seperti saya. Saya hidup memang untuk makan. Dan jika itu sebuah kesalahan, masih banyak lagi daftar kesalahan saya lainnya.”
Lalu saya memberitahu beberapa isi daftar itu di antaranya minum, bermain, bercinta, bergosip, kadang juga menipu sedikit-sedikit, kadang juga berbohong sedikit-sedikit, dan sebagainya.
Entah apa yang dipikiran bapak itu, tapi ketika itu pikiran saya sudah bekerja mengingat sesuatu.
Kembali pada sahabat kecil saya dulu, kembali pada kambing-kambing yang sedang kami gembalakan di tepi sungai sepulang sekolah. Tak ketinggalan, kebun petani yang timunnya beberapa kali kami curi. Pencurian kadar kesalahannya lebih tinggi dibanding makan. Namun kesalahan itu agaknya kurang menarik perhatian sahabatku dibanding kesalahan hidup untuk makan.
"Kata bapakku itu salah! Hidup untuk makan itu seperti ular atau seperti ulat, hiiii…” Ia bergidik dan saya mengikutinya tanpa tujuan. Pada saat itu, perbuatan mencuri kami bagai seekor gajah yang lenyap di pelupuk mata.
Beduk ashar sudah lama lewat. Dan kami menggiring kambing gembel masing-masing. Juga membawa gajah masing-masing, yang masih mengganduli pelupuk mata.
Bertahun-tahun saya habiskan hidup di kota, sedang sahabatku menjadi guru mengaji di desa. Di mata saya gajah-gajah itu kini kini bertambah besar dan bertambah banyak. Ia tidak hanya berupa kegiatan makan melainkan juga bermacam-macam. Kadang tanpa dihindari saya juga terjebak untuk berghibah, berlaku tidak adil, mencuri, bertindak curang, dan sebagainya.
Maka, saya bertanya pada bapak itu, manakah dari fakta-fakat itu yang tidak pernah kita lakukan dalam hidup?
Menyadari bahwa itu dilakukan memang mudah, tapi mengakuinya yang sulit. Mungkin karena itu, bapak itu tak menjawab. Padahal fakta-fakta itu sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang kita menggunakan waktu berjam-jam untuk bergosip atau sekedar mendengarkan, atau menggunakan hampir sepertiga waktu kita 24 jam perhari untuk sinetron, atau kadang untuk hal-hal yang lebih buruk lagi. Semua itu fakta, yang teramat lekat sekaligus asing.
Di sisi lain kita menikmati sesuatu, kadang bukan hanya sesuatu tapi banyak hal – hal yang tak selalu baik namun sangat kita sukai dan inginkan. Tapi di sisi lain juga banyak hal (kelakuan atau perbuatan kita sendiri) yang ingin kita ingkari dan tidak kita inginkan.
Hal itu, kadang membuat sifat kita mirip dengan maling, yang dengan sadar mencuri namun dengan sadar tidak mau mengakui perbuatannya.
Dulu sekali, saya yang sama sekali belum mengerti tentang nilai keseimbangan, dengan malu-malu tidak mengakui perbuatan makan itu, dan mencuri itu. Saya turut mengangguk, mengiyakan bahwa hidup untuk makan adalah salah. Meski sebagai anak usia sebelas tahun, memang sedang banyak-banyaknya makan. Namun seiring waktu berjalan, saya mulai menemukan banyak sekali hal-hal dalam diri yang perlu diseimbangkan.
Tapi tentu, mula-mula harus punya keberanian melihat bagian diri kita yang kita sebut salah. Bila hidup untuk makan adalah salah, maka kita pun menggunakan hidup untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan makan. Supaya kita tidak perlu mencuri atau merugikan orang lain hanya demi perut.
Dari perdebatan yang tak selesai dengan sahabatku dulu, saya selalu menghitung perbuatan-perbuatan lain yang kadar salahnya lebih tinggi. Misalnya ketika saya ngomongin seseorang atau berbohong pada seseorang. Maka seharusnya saya berusaha meminta maaf dan melakukan sesuatu sebagai kompensasi untuk menebusnya, atau meralat untuk mengembalikan nama baiknya. Semakin dihitung, ternyata semakin banyak hal-hal buruk yang saya lakukan dan itu semakin membuat saya capek untuk mengejar keseimbangan dan ternyata belum berhasil!
Hanya demi keseimbangan, saya merasa sudah pontang-panting sedemikian rupa. Jadi, kapan mendapat nilai plus-nya?
Memang tidak mudah. Tapi seperti pepatah, andai kita tidak bisa berbuat baik setidaknya tidak berbuat jahat. Kalau kita tidak bisa menolong setidaknya tidak menambah susah. Ah, tetap saja saja itu hanya disebut netral.
Dan kata-kata itu membuat saya bertanya lagi pada diri sendiri. Karena ia bukan perkara mudah. Terlebih netral dalam menilai diri sendiri. Netral melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Untuk kemudian melakukan hal baik demi keseimbangan -- perbuatan vs amal.
Hikmah yang saya ambil dalam percakapan saya dengan bapak itu adalah, ternyata waktu yang kita lalui dalam hidup sepanjang ini, masih belum memperlihatkan jaraknya. Jarak melihat laku kita, jarak melihat perjalanan kita sendiri. Bahwa sekalipun dengan perasaan berat, kita bisa berbisik dengan diri sendiri, atau berkata dalam hati bahwa selain makan, mungkin kita juga menenggak minuman keras, selain setia dengan pasangan, mungkin kita juga pernah mengkhianatinya, selain jujur untuk hal-hal tertentu, juga ada saat kita tidak jujur pada sesuatu, dsb.
Mengurai perjalanan diri sendiri, melihat tapak kaki kita sendiri membuat kita bisa melihat betapa laku kita penuh liku, penuh kesalahan-kesalahan, penuh dosa-dosa, baik pada kekasih, sahabat, orang-orang terdekat… dan Tuhan. Dengan itu, pastinya kita akan rindu, untuk mencatat di bagian lain bahwa selain penjahat kita juga orang yang baik, selain penodong kita juga penolong, selain pernah berdusta kita juga orang yang bisa dipercaya, selain pernah menipu kita juga bisa membantu kesulitan sesama, dan sebagainya.
Lalu kita menerima segalanya bercampur antara yang baik dan buruk, yang hina dan yang mulia. Karena tanpa kesadaran melihat itu, sebuah perjalanan tidak akan menjadi laku.
Kita selalu ditunggu untuk berani mengatakan, bahwa hidup untuk makan itu mungkin salah, tapi juga benar. Tapi tidak untuk dilontarkan pada orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Dari sana semua akan bermula dan berakhir.
Adiyasa, 25 Maret 2012
Salahkah hidup untuk makan?
Ketika itu gadis kecil berumur sebelas tahunan menjawab, salah. Dan sahabat sebayanya hanya tercenung dalam bimbang. Lalu keduanya beranjak pulang bersama kambing-kambing gembalaan mereka. Selanjutnya, keduanya menempuh jalan hidup yang berbeda.
Kemarin, pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh seorang bapak menjelang jam makan siang, “Jangan lupa makan siang. Karena makan untuk hidup, atau hidup untuk makan sih?”
“Keduanya benar. Tapi keduanya hanya salah satu hal, terkait kehidupan dalam arti yang luas,” kata saya melalui pesan singkat.
“Yang benar makan untuk hidup, kalau hidup untuk makan, itu namanya seperti...” ia tak meneruskan kalimatnya dan saya menggodanya, “Seperti kita.”
”Hm, maksudnya seperti saya. Saya hidup memang untuk makan. Dan jika itu sebuah kesalahan, masih banyak lagi daftar kesalahan saya lainnya.”
Lalu saya memberitahu beberapa isi daftar itu di antaranya minum, bermain, bercinta, bergosip, kadang juga menipu sedikit-sedikit, kadang juga berbohong sedikit-sedikit, dan sebagainya.
Entah apa yang dipikiran bapak itu, tapi ketika itu pikiran saya sudah bekerja mengingat sesuatu.
Kembali pada sahabat kecil saya dulu, kembali pada kambing-kambing yang sedang kami gembalakan di tepi sungai sepulang sekolah. Tak ketinggalan, kebun petani yang timunnya beberapa kali kami curi. Pencurian kadar kesalahannya lebih tinggi dibanding makan. Namun kesalahan itu agaknya kurang menarik perhatian sahabatku dibanding kesalahan hidup untuk makan.
"Kata bapakku itu salah! Hidup untuk makan itu seperti ular atau seperti ulat, hiiii…” Ia bergidik dan saya mengikutinya tanpa tujuan. Pada saat itu, perbuatan mencuri kami bagai seekor gajah yang lenyap di pelupuk mata.
Beduk ashar sudah lama lewat. Dan kami menggiring kambing gembel masing-masing. Juga membawa gajah masing-masing, yang masih mengganduli pelupuk mata.
Bertahun-tahun saya habiskan hidup di kota, sedang sahabatku menjadi guru mengaji di desa. Di mata saya gajah-gajah itu kini kini bertambah besar dan bertambah banyak. Ia tidak hanya berupa kegiatan makan melainkan juga bermacam-macam. Kadang tanpa dihindari saya juga terjebak untuk berghibah, berlaku tidak adil, mencuri, bertindak curang, dan sebagainya.
Maka, saya bertanya pada bapak itu, manakah dari fakta-fakat itu yang tidak pernah kita lakukan dalam hidup?
Menyadari bahwa itu dilakukan memang mudah, tapi mengakuinya yang sulit. Mungkin karena itu, bapak itu tak menjawab. Padahal fakta-fakta itu sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang kita menggunakan waktu berjam-jam untuk bergosip atau sekedar mendengarkan, atau menggunakan hampir sepertiga waktu kita 24 jam perhari untuk sinetron, atau kadang untuk hal-hal yang lebih buruk lagi. Semua itu fakta, yang teramat lekat sekaligus asing.
Di sisi lain kita menikmati sesuatu, kadang bukan hanya sesuatu tapi banyak hal – hal yang tak selalu baik namun sangat kita sukai dan inginkan. Tapi di sisi lain juga banyak hal (kelakuan atau perbuatan kita sendiri) yang ingin kita ingkari dan tidak kita inginkan.
Hal itu, kadang membuat sifat kita mirip dengan maling, yang dengan sadar mencuri namun dengan sadar tidak mau mengakui perbuatannya.
Dulu sekali, saya yang sama sekali belum mengerti tentang nilai keseimbangan, dengan malu-malu tidak mengakui perbuatan makan itu, dan mencuri itu. Saya turut mengangguk, mengiyakan bahwa hidup untuk makan adalah salah. Meski sebagai anak usia sebelas tahun, memang sedang banyak-banyaknya makan. Namun seiring waktu berjalan, saya mulai menemukan banyak sekali hal-hal dalam diri yang perlu diseimbangkan.
Tapi tentu, mula-mula harus punya keberanian melihat bagian diri kita yang kita sebut salah. Bila hidup untuk makan adalah salah, maka kita pun menggunakan hidup untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan makan. Supaya kita tidak perlu mencuri atau merugikan orang lain hanya demi perut.
Dari perdebatan yang tak selesai dengan sahabatku dulu, saya selalu menghitung perbuatan-perbuatan lain yang kadar salahnya lebih tinggi. Misalnya ketika saya ngomongin seseorang atau berbohong pada seseorang. Maka seharusnya saya berusaha meminta maaf dan melakukan sesuatu sebagai kompensasi untuk menebusnya, atau meralat untuk mengembalikan nama baiknya. Semakin dihitung, ternyata semakin banyak hal-hal buruk yang saya lakukan dan itu semakin membuat saya capek untuk mengejar keseimbangan dan ternyata belum berhasil!
Hanya demi keseimbangan, saya merasa sudah pontang-panting sedemikian rupa. Jadi, kapan mendapat nilai plus-nya?
Memang tidak mudah. Tapi seperti pepatah, andai kita tidak bisa berbuat baik setidaknya tidak berbuat jahat. Kalau kita tidak bisa menolong setidaknya tidak menambah susah. Ah, tetap saja saja itu hanya disebut netral.
Dan kata-kata itu membuat saya bertanya lagi pada diri sendiri. Karena ia bukan perkara mudah. Terlebih netral dalam menilai diri sendiri. Netral melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Untuk kemudian melakukan hal baik demi keseimbangan -- perbuatan vs amal.
Hikmah yang saya ambil dalam percakapan saya dengan bapak itu adalah, ternyata waktu yang kita lalui dalam hidup sepanjang ini, masih belum memperlihatkan jaraknya. Jarak melihat laku kita, jarak melihat perjalanan kita sendiri. Bahwa sekalipun dengan perasaan berat, kita bisa berbisik dengan diri sendiri, atau berkata dalam hati bahwa selain makan, mungkin kita juga menenggak minuman keras, selain setia dengan pasangan, mungkin kita juga pernah mengkhianatinya, selain jujur untuk hal-hal tertentu, juga ada saat kita tidak jujur pada sesuatu, dsb.
Mengurai perjalanan diri sendiri, melihat tapak kaki kita sendiri membuat kita bisa melihat betapa laku kita penuh liku, penuh kesalahan-kesalahan, penuh dosa-dosa, baik pada kekasih, sahabat, orang-orang terdekat… dan Tuhan. Dengan itu, pastinya kita akan rindu, untuk mencatat di bagian lain bahwa selain penjahat kita juga orang yang baik, selain penodong kita juga penolong, selain pernah berdusta kita juga orang yang bisa dipercaya, selain pernah menipu kita juga bisa membantu kesulitan sesama, dan sebagainya.
Lalu kita menerima segalanya bercampur antara yang baik dan buruk, yang hina dan yang mulia. Karena tanpa kesadaran melihat itu, sebuah perjalanan tidak akan menjadi laku.
Kita selalu ditunggu untuk berani mengatakan, bahwa hidup untuk makan itu mungkin salah, tapi juga benar. Tapi tidak untuk dilontarkan pada orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Dari sana semua akan bermula dan berakhir.
Adiyasa, 25 Maret 2012
Rabu, 21 Maret 2012
Gelap
Puisi
Kau mengenalkan banyak warna
Hitam putih pun berganti pelangi
Kulihat merah
Jingga
Hijau
Kuning…semuanya
Warna-warna itu bagiku menyilaukan
Tapi katamu itu indah
Katamu itu hidup
Katamu…itulah kita
Kita? Benarkah?
Kau tak memberi jawaban apa-apa
Selain menggenapi hingga warna ketujuh
Kita? Benarkah?
Kau tak menjawab apa-apa
Karena kita sudah terlalu jauh
Dan aku memekik, untuk mendengar gemaku sendiri
Warna-warna itu kini memudar
Ditelan kegelapan yang pekat
Dan aku tak ingin bertanya lagi
Karena kau lupa satu hal – ada warna lain dari pelangi
Gelap…
Jakarta, 22 Maret 2012 (fiqoh)
Kau mengenalkan banyak warna
Hitam putih pun berganti pelangi
Kulihat merah
Jingga
Hijau
Kuning…semuanya
Warna-warna itu bagiku menyilaukan
Tapi katamu itu indah
Katamu itu hidup
Katamu…itulah kita
Kita? Benarkah?
Kau tak memberi jawaban apa-apa
Selain menggenapi hingga warna ketujuh
Kita? Benarkah?
Kau tak menjawab apa-apa
Karena kita sudah terlalu jauh
Dan aku memekik, untuk mendengar gemaku sendiri
Warna-warna itu kini memudar
Ditelan kegelapan yang pekat
Dan aku tak ingin bertanya lagi
Karena kau lupa satu hal – ada warna lain dari pelangi
Gelap…
Jakarta, 22 Maret 2012 (fiqoh)
Putih
Puisi
Tahun ini akan berakhir, bersama udara dingin yang terasa menusuk
Malam tadi, tubuh kita menyatu dalam bisu
Kita seperti gelas anggur yang telah lama mengkristal
Tahun ini akan segera berakhir, saat aku mencatat sebuah tanggal
Bersama udara siang yang gersang membalut debu
Mengantar tubuhku yang tersuruk
Setahun lamanya, aku bagai seorang pertapa
Yang berdiam, menunggu kau datang, melihat kau pergi
Hingga pagi ini, ketika malam mengakhiri perjalanan
Aku terjaga dari mimpi, di penghabisan malam tanpa mata terpejam
Setahun yang putih, tanpa warna yang lain
Ketika pagi tadi, semua sudah berlalu
Ketika waktu jauh meninggalkanku
Dan aku tetap di sini
Adiyasa, 10 Desember 2011 (fiqoh)
Tahun ini akan berakhir, bersama udara dingin yang terasa menusuk
Malam tadi, tubuh kita menyatu dalam bisu
Kita seperti gelas anggur yang telah lama mengkristal
Tahun ini akan segera berakhir, saat aku mencatat sebuah tanggal
Bersama udara siang yang gersang membalut debu
Mengantar tubuhku yang tersuruk
Setahun lamanya, aku bagai seorang pertapa
Yang berdiam, menunggu kau datang, melihat kau pergi
Hingga pagi ini, ketika malam mengakhiri perjalanan
Aku terjaga dari mimpi, di penghabisan malam tanpa mata terpejam
Setahun yang putih, tanpa warna yang lain
Ketika pagi tadi, semua sudah berlalu
Ketika waktu jauh meninggalkanku
Dan aku tetap di sini
Adiyasa, 10 Desember 2011 (fiqoh)
Mengalir
oleh fiqoh
Ia tidak dari ketinggian menuju tempat yang rendah, tapi dari bawah memancar ke atas.
Sering aku mendengar kata-kata seperti, Jalani saja, atau Biarlah semua berjalan sebagaimana adanya, atau Biarlah semuanya mengalir.
Apakah Anda juga pernah mendengar kata-kata seperti itu?
Sekilas terdengar puitis. Sekilas terdengar romantis, apalagi ditambah rangkulan lengan di bahu kita dari kekasih atau sahabat. Ia seperti mengajarkan sebuah kepasarahan yang baik, dari jiwa yang qona’ah. Tapi selebihnya memberi kebingungan, karena masalah tak beranjak dari tempatnya.
Harus bagaimana menuju jalan keluar?
Dalam ketersesatan arah, jalan keluar tidak bisa datang dengan sendirinya jika membiarkan semua berjalan apa adanya. Apalagi membiarkan mengalir begitu saja. Karena dalam hidup, teramat banyak arah meski kita hanya perlu menuju sesuatu.
Konon sebuah sungai terbentuk secara alami, dan dalam prosesnya ia menerjang apa saja yang dilewatinya. Bahkan tak jarang menelan korban jiwa. Curahan air dari pegunungan yang terkadang liar bahkan membelah ladang-ladang dan sawah. Mleber ke mana-mana, padahal ia lebih diperlukan untuk mengaliri sawah-sawah. Akhirnya manusia mulai menggagas pembuatan irigasi, situ, waduk, bendungan dan sebainya. Tinggi rendah, lebar dan sempitnya serba diperhitungkan, agar tekanan dan arus bisa diselaraskan. Jika posisinya rata maka ia akan seperti kolam atau bak mandi. Bagai hidup yang stagnan atau...bagai nada yang sumbang.
Seperti sungai mengalir menuju muara, manusia selalu berbuat sesuatu demi asa. Dan mereka yang sukses adalah mereka yang berupaya.
Tapi, selain banyak jalan menuju roma, banyak juga kendala yang menjadi penghambat. Sebuah kelalaian bisa mengakibatkan sebuah situ jebol. Atau sebuah bendungan rekah. Sungai-sungai dan got yang yang tak terurus bisa menyebabkan banjir dan membawa dampak kerugian. Harga sebuah kelaian selalu mahal. Itulah aliran yang tak teratur atau tidak diatur. Dalam arti, dibiarkan mengalir sebagaimana adanya.
Masihkah, kita akan selalu berpedoman membiarkan segalanya mengalir apa adanya?
Orang bekerja bakti agar got di sekeliling rumah tidak tersumbat sampah. Petani mengatur aliran irigasi ke saluran-saluran kecil menuju sawahnya supaya rumpun padi mereka bersemi.
Dalam hidup, kita tidak bisa membirkan segalanya mengalir begitu saja. Melainkan harus ada keinginan, harus kita upayakan. Seperti yang Allah firman-kan, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.
Mengalir bukanlah sebuah proses yang kita biarkan begitu saja. Seperti halnya kesuksesan hidup, ia adalah rentetan panjang penuh perjuangan. Di sana ada kerja-kerja, ada kreatifitas, ada upaya yang lebih, ilmu yang terus dikembangkan, skil yang terus ditingkatkan, dan sebagainya.
Air yang mengalir secara asal, pasti akan selalu menuju titik paling rendah. Tapi manusia yang menggunakan akal, bahkan bisa membuatnya memancar dari bawah menuju ketingian. Seperti kita saksikan, air mancur yang menyejukkan ruang-ruang publik, yang lahir dari tangan kreatif dan memiliki jiwa seni.
Mengalir adalah kreatif, yang diupayakan karena kemauan yang cerdas. Bukan kemalasan yang diperhalus dalam kata pasrah.
Jakarta, 20 Maret 2012
Ia tidak dari ketinggian menuju tempat yang rendah, tapi dari bawah memancar ke atas.
Sering aku mendengar kata-kata seperti, Jalani saja, atau Biarlah semua berjalan sebagaimana adanya, atau Biarlah semuanya mengalir.
Apakah Anda juga pernah mendengar kata-kata seperti itu?
Sekilas terdengar puitis. Sekilas terdengar romantis, apalagi ditambah rangkulan lengan di bahu kita dari kekasih atau sahabat. Ia seperti mengajarkan sebuah kepasarahan yang baik, dari jiwa yang qona’ah. Tapi selebihnya memberi kebingungan, karena masalah tak beranjak dari tempatnya.
Harus bagaimana menuju jalan keluar?
Dalam ketersesatan arah, jalan keluar tidak bisa datang dengan sendirinya jika membiarkan semua berjalan apa adanya. Apalagi membiarkan mengalir begitu saja. Karena dalam hidup, teramat banyak arah meski kita hanya perlu menuju sesuatu.
Konon sebuah sungai terbentuk secara alami, dan dalam prosesnya ia menerjang apa saja yang dilewatinya. Bahkan tak jarang menelan korban jiwa. Curahan air dari pegunungan yang terkadang liar bahkan membelah ladang-ladang dan sawah. Mleber ke mana-mana, padahal ia lebih diperlukan untuk mengaliri sawah-sawah. Akhirnya manusia mulai menggagas pembuatan irigasi, situ, waduk, bendungan dan sebainya. Tinggi rendah, lebar dan sempitnya serba diperhitungkan, agar tekanan dan arus bisa diselaraskan. Jika posisinya rata maka ia akan seperti kolam atau bak mandi. Bagai hidup yang stagnan atau...bagai nada yang sumbang.
Seperti sungai mengalir menuju muara, manusia selalu berbuat sesuatu demi asa. Dan mereka yang sukses adalah mereka yang berupaya.
Tapi, selain banyak jalan menuju roma, banyak juga kendala yang menjadi penghambat. Sebuah kelalaian bisa mengakibatkan sebuah situ jebol. Atau sebuah bendungan rekah. Sungai-sungai dan got yang yang tak terurus bisa menyebabkan banjir dan membawa dampak kerugian. Harga sebuah kelaian selalu mahal. Itulah aliran yang tak teratur atau tidak diatur. Dalam arti, dibiarkan mengalir sebagaimana adanya.
Masihkah, kita akan selalu berpedoman membiarkan segalanya mengalir apa adanya?
Orang bekerja bakti agar got di sekeliling rumah tidak tersumbat sampah. Petani mengatur aliran irigasi ke saluran-saluran kecil menuju sawahnya supaya rumpun padi mereka bersemi.
Dalam hidup, kita tidak bisa membirkan segalanya mengalir begitu saja. Melainkan harus ada keinginan, harus kita upayakan. Seperti yang Allah firman-kan, bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya.
Mengalir bukanlah sebuah proses yang kita biarkan begitu saja. Seperti halnya kesuksesan hidup, ia adalah rentetan panjang penuh perjuangan. Di sana ada kerja-kerja, ada kreatifitas, ada upaya yang lebih, ilmu yang terus dikembangkan, skil yang terus ditingkatkan, dan sebagainya.
Air yang mengalir secara asal, pasti akan selalu menuju titik paling rendah. Tapi manusia yang menggunakan akal, bahkan bisa membuatnya memancar dari bawah menuju ketingian. Seperti kita saksikan, air mancur yang menyejukkan ruang-ruang publik, yang lahir dari tangan kreatif dan memiliki jiwa seni.
Mengalir adalah kreatif, yang diupayakan karena kemauan yang cerdas. Bukan kemalasan yang diperhalus dalam kata pasrah.
Jakarta, 20 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)