Senin, 26 Maret 2012

Sebuah Perdebatan

oleh fiqoh

Salahkah hidup untuk makan?

Ketika itu gadis kecil berumur sebelas tahunan menjawab, salah. Dan sahabat sebayanya hanya tercenung dalam bimbang. Lalu keduanya beranjak pulang bersama kambing-kambing gembalaan mereka. Selanjutnya, keduanya menempuh jalan hidup yang berbeda.

Kemarin, pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh seorang bapak menjelang jam makan siang, “Jangan lupa makan siang. Karena makan untuk hidup, atau hidup untuk makan sih?”

“Keduanya benar. Tapi keduanya hanya salah satu hal, terkait kehidupan dalam arti yang luas,” kata saya melalui pesan singkat.

“Yang benar makan untuk hidup, kalau hidup untuk makan, itu namanya seperti...” ia tak meneruskan kalimatnya dan saya menggodanya, “Seperti kita.”

”Hm, maksudnya seperti saya. Saya hidup memang untuk makan. Dan jika itu sebuah kesalahan, masih banyak lagi daftar kesalahan saya lainnya.”

Lalu saya memberitahu beberapa isi daftar itu di antaranya minum, bermain, bercinta, bergosip, kadang juga menipu sedikit-sedikit, kadang juga berbohong sedikit-sedikit, dan sebagainya.

Entah apa yang dipikiran bapak itu, tapi ketika itu pikiran saya sudah bekerja mengingat sesuatu.

Kembali pada sahabat kecil saya dulu, kembali pada kambing-kambing yang sedang kami gembalakan di tepi sungai sepulang sekolah. Tak ketinggalan, kebun petani yang timunnya beberapa kali kami curi. Pencurian kadar kesalahannya lebih tinggi dibanding makan. Namun kesalahan itu agaknya kurang menarik perhatian sahabatku dibanding kesalahan hidup untuk makan.

"Kata bapakku itu salah! Hidup untuk makan itu seperti ular atau seperti ulat, hiiii…” Ia bergidik dan saya mengikutinya tanpa tujuan. Pada saat itu, perbuatan mencuri kami bagai seekor gajah yang lenyap di pelupuk mata.

Beduk ashar sudah lama lewat. Dan kami menggiring kambing gembel masing-masing. Juga membawa gajah masing-masing, yang masih mengganduli pelupuk mata.

Bertahun-tahun saya habiskan hidup di kota, sedang sahabatku menjadi guru mengaji di desa. Di mata saya gajah-gajah itu kini kini bertambah besar dan bertambah banyak. Ia tidak hanya berupa kegiatan makan melainkan juga bermacam-macam. Kadang tanpa dihindari saya juga terjebak untuk berghibah, berlaku tidak adil, mencuri, bertindak curang, dan sebagainya.

Maka, saya bertanya pada bapak itu, manakah dari fakta-fakat itu yang tidak pernah kita lakukan dalam hidup?

Menyadari bahwa itu dilakukan memang mudah, tapi mengakuinya yang sulit. Mungkin karena itu, bapak itu tak menjawab. Padahal fakta-fakta itu sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang kita menggunakan waktu berjam-jam untuk bergosip atau sekedar mendengarkan, atau menggunakan hampir sepertiga waktu kita 24 jam perhari untuk sinetron, atau kadang untuk hal-hal yang lebih buruk lagi. Semua itu fakta, yang teramat lekat sekaligus asing.

Di sisi lain kita menikmati sesuatu, kadang bukan hanya sesuatu tapi banyak hal – hal yang tak selalu baik namun sangat kita sukai dan inginkan. Tapi di sisi lain juga banyak hal (kelakuan atau perbuatan kita sendiri) yang ingin kita ingkari dan tidak kita inginkan.

Hal itu, kadang membuat sifat kita mirip dengan maling, yang dengan sadar mencuri namun dengan sadar tidak mau mengakui perbuatannya.

Dulu sekali, saya yang sama sekali belum mengerti tentang nilai keseimbangan, dengan malu-malu tidak mengakui perbuatan makan itu, dan mencuri itu. Saya turut mengangguk, mengiyakan bahwa hidup untuk makan adalah salah. Meski sebagai anak usia sebelas tahun, memang sedang banyak-banyaknya makan. Namun seiring waktu berjalan, saya mulai menemukan banyak sekali hal-hal dalam diri yang perlu diseimbangkan.

Tapi tentu, mula-mula harus punya keberanian melihat bagian diri kita yang kita sebut salah. Bila hidup untuk makan adalah salah, maka kita pun menggunakan hidup untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan makan. Supaya kita tidak perlu mencuri atau merugikan orang lain hanya demi perut.

Dari perdebatan yang tak selesai dengan sahabatku dulu, saya selalu menghitung perbuatan-perbuatan lain yang kadar salahnya lebih tinggi. Misalnya ketika saya ngomongin seseorang atau berbohong pada seseorang. Maka seharusnya saya berusaha meminta maaf dan melakukan sesuatu sebagai kompensasi untuk menebusnya, atau meralat untuk mengembalikan nama baiknya. Semakin dihitung, ternyata semakin banyak hal-hal buruk yang saya lakukan dan itu semakin membuat saya capek untuk mengejar keseimbangan dan ternyata belum berhasil!

Hanya demi keseimbangan, saya merasa sudah pontang-panting sedemikian rupa. Jadi, kapan mendapat nilai plus-nya?

Memang tidak mudah. Tapi seperti pepatah, andai kita tidak bisa berbuat baik setidaknya tidak berbuat jahat. Kalau kita tidak bisa menolong setidaknya tidak menambah susah. Ah, tetap saja saja itu hanya disebut netral.

Dan kata-kata itu membuat saya bertanya lagi pada diri sendiri. Karena ia bukan perkara mudah. Terlebih netral dalam menilai diri sendiri. Netral melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Untuk kemudian melakukan hal baik demi keseimbangan -- perbuatan vs amal.

Hikmah yang saya ambil dalam percakapan saya dengan bapak itu adalah, ternyata waktu yang kita lalui dalam hidup sepanjang ini, masih belum memperlihatkan jaraknya. Jarak melihat laku kita, jarak melihat perjalanan kita sendiri. Bahwa sekalipun dengan perasaan berat, kita bisa berbisik dengan diri sendiri, atau berkata dalam hati bahwa selain makan, mungkin kita juga menenggak minuman keras, selain setia dengan pasangan, mungkin kita juga pernah mengkhianatinya, selain jujur untuk hal-hal tertentu, juga ada saat kita tidak jujur pada sesuatu, dsb.

Mengurai perjalanan diri sendiri, melihat tapak kaki kita sendiri membuat kita bisa melihat betapa laku kita penuh liku, penuh kesalahan-kesalahan, penuh dosa-dosa, baik pada kekasih, sahabat, orang-orang terdekat… dan Tuhan. Dengan itu, pastinya kita akan rindu, untuk mencatat di bagian lain bahwa selain penjahat kita juga orang yang baik, selain penodong kita juga penolong, selain pernah berdusta kita juga orang yang bisa dipercaya, selain pernah menipu kita juga bisa membantu kesulitan sesama, dan sebagainya.

Lalu kita menerima segalanya bercampur antara yang baik dan buruk, yang hina dan yang mulia. Karena tanpa kesadaran melihat itu, sebuah perjalanan tidak akan menjadi laku.

Kita selalu ditunggu untuk berani mengatakan, bahwa hidup untuk makan itu mungkin salah, tapi juga benar. Tapi tidak untuk dilontarkan pada orang lain, melainkan untuk diri sendiri. Dari sana semua akan bermula dan berakhir.

Adiyasa, 25 Maret 2012

1 komentar:

HeartFX mengatakan...

yah... Saya sejak dulu selalu kagum sama kamu, kamu smart genius.
dan aku mencoba bikin blog pun karena pengin seperti kamu
thanks



http://jhonrafalle.wordpress.com