Sabtu, 15 Februari 2014

Hukum dan Pembodohan Massal

Hukum dan kejahatan kadang sulit dibedakan, ketika kejahatan yang riil tak nampak oleh hukum.

Fakta tentang adanya korban atas kejahatan, masih bisa digelapkan oleh berbagai interpretasi dari pasal-pasal suatu hukum, hingga kebenaran menjadi absurd.

Kebenaran suatu fakta, sering bagaikan angin yang berhembus, dan hanya memperdengarkan instrumen-instrumennya yang lemah.

Mengutip obrolan pendek Andreas Harsono dan Lies Marcoes, hukum mestinya menjadi harapan untuk membantu sistem peradilan, karena hukum relatif bisa lebih netral dan universal. Bias gender, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan lainnya sering melahirkan sistem pemiskinan, pembodohan, diskriminasi dan kejatahan lainnya yang sering bertentangan dengan HAM.

Padahal HAM adalah hak warga Negara yang sangat dasar yang di antaranya mencakup rasa aman, kesejahteraan, dan keadilan atas hukum yang tanpa diskriminisasi. Namun, hak-hak dasar itu telah lenyap kini, dan ptoret itu bertebaran di mana-mana yang salah satunya dialami oleh Richard James Haryanto, buruh PT. Sari Delta Mega yang pada 29 Desember 2013 lalu, menjadi korban tipu daya dan tipu muslihat dari orang-orang yang terindikasi sebagai aparat Negara.

Oleh tiga orang yang memperlihatkan kartu identitas lambang kepolisian dan bertuliskan nama E-K-O ia dipaksa mengundurkan diri. Hal itu dilakukan tidak hanya sekali, dan pada kali kedua mereka datang ke PT. Sari Delta Mega, dan bersama manajemen kembali memaksa Richard meninggalkan pabrik. Pada saat itu dari mereka ada yang memakai seragam TNI.

Richard yang merasa takut dan terancam menuruti permintaan orang-orang tersebut. Dan surat bertuliskan namanya sudah menjadi bukti bahwa ia telah tak ada hubungan lagi dengan perusahaan dengan cara yang keji.

Kemudian, lembar kertas yang diperoleh dengan cara menekan dan menakut-nakuti itu segera menjadi bukti hitam-putih yang dibenarhkan oleh hukum. Tapi di sisi lain, hukum tuli terhadap ratapan bahwa itu tipu daya, juga buta terhadap logika-logika yang tidak masuk akal bahwa hanya orang tidak waras yang sanggup merugikan dirinya untuk berbuat konyol—mengundurkan diri dari pekerjaan!

Pengunduran diri yang ia lakukan, tak hanya membawa dampak kesengsaraan pada dirinya. Karena Richard adalah seorang bapak yang menanggung kehidupan seorang istri dan 4 anak yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan orang-orang yang ia cintai.

Richard, juga seorang pejuang bagi orang-orang “kecil” yang sama seperti dirinya yaitu buruh-buruh di tempat kerjanya yang sekian lama dilanggar hak-haknya di PT. Sari Delta Mega. Tak beda dengan buruh lainnya, ia hanya menerima gaji tiap bulan sekitar Rp 1.300.000 di tahun 2013, ini jauh dari upah yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Rp. 2.420.000.

Sebagai ketua serikat buruh, ia adalah lambang keberanian yang harusnya dilindungi oleh hukum, atas laporan-laporannya kepada pihak yang berwajib terhadap kejahatan pengusaha yang menimpa para pekerja. Keberanian itu terlahir bukan karena menjalankan misi Negara yang seluruh operasionalnya dibiayai dan berharap pangkat, tapi justru dalam keterhimpitan, kekurangan, dan keterbasan yang dihadang oleh berbagai kemungkinan resiko. Ia dan buruh di perusahaan itu sadar bahwa tindakanya dalam ranah wilayah rentan, namun mereka memiliki iman untuk bertindak.

Dalam proses hukum yang kami tempuh, baik di kepolisian maupun Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang, kami terus dipaksa menyaksikan hal yang memuakkan melalui ungkapan-ungkapan penegak hukum seperti -- “Lho, kan sudah mengundurkan diri? Buktinya sudah jelas, lalu apa lagi?”

Adakah nurani dan logika dalam nilai hukum Negara ini? Bukankah hanya orang tak waras yang mau dengan sadar mengorbankan diri dan keluarganya?

Fakta lebih mencengangkan lagi kami dapati dari pernyataan Kabid Pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang pada 13 Februari 2014. Hal ini terkait adanya pengangkatan karyawan di PT. Sari Delta Mega yang bertahun-tahun dijadikan pekerja lepas. Dan ketika mereka diangkat, dalam pengangkatan tersebut masa kerja bertahun-tahun justru dihilangkan. Intinya, menurut Kabid Pengawas tersebut, meski iru merugikan tapi jika pekerja sepakat, maka tidak menjadi masalah dan hukum tidak bisa memaksa.

Pelepasan hak atas upah melalui penandatanganan pekerja di atas kertas, sering dijadikan dasar bagi pengusaha untuk membayar upah di bawah ketentuan. Penghilangan masa kerja melalui pernyataan di atas kertas, sering dijadikan PHK terselubung. Begitu juga pengunduran diri yang dilakukan karena tekanan, sudah menjadi dasar pekerja tak bisa menuntut.

Ungkapan pelepasan hak menjadi lembar hitam yang menutup kesucian fakta. Padahal fakta dibalik itu terlalu banyak untuk diabaikan – kapan penandatanganan dilakukan? Dengan kesadaran atau diperntah? Oleh siapa ia atau mereka diperintah? Di mana, dalam keadaan seperti apa? Punyakah buruh kebebasan menentukan pilihan, dan apa konsekwensi atas pilihan tersebut? Dan sebagainya.

Bukankah seluruhnya itu adalah kunci-kunci dari kesaksian adanya intimidasi, yang dalam hukum perburuhan maupun azas kemanusiaan (HAM) setiap warga Negara yang wajib dilindungi?

Melihat Richard adalah bagian melihat potret buruh yang selalu dibiarkan di zona liar tanpa kehadiran Negara. Padahal buruh bukanlah sebuah komponen tunggal dari proses produksi semata. Tapi ia adalah warga Negara, yang wajib dihormati atas seluruh hak-hak konstitusinya, sebagai hak  mendasar dalam berbangsa dan bernegara.

Jika hukum, hanya selalu melihat hitam dan putih, jelas hukum ini “Rasis” dan rabun. Dan bagi penegak hukum yang melegitimasi adanya pelepasan hak untuk menghilangkan hak-hak buruh, maka jelas bahwa penegak hukum berada dalam ambang ketakwarasan, yang tanpa akal sehat dan logika.

Atas nama hukum, pemiskinan, pembodohan, perbudakan, dilakukan secara massal di ruang-ruang yang sangat terang-terangan.


Tangerang, 13 Februari 2014

Tidak ada komentar: