Lawan!
Seru Wiji Tukul dalam sebuah puisi
Dan ia laksana api membakar padang rumput kering
Menjadi pandu sebuah gerakan perlawanan
massif
Lawan!
Teriak para “tokoh” reformasi
Dalam hingar-bingar pengeras suara yang
saling bersahut
Tapi suara itu tak mampu mengusik
Tak membuat kita beringsut
Rakyat bagai terbungkus dalam cangkang
siput
Dulu teriakan itu terasa lantang
Meski hanya satu suku kata – lawan!
Sekarang telinga kita akrab dengan
bising
Tapi perlawanan memberi makna asing
Jaman orde baru dulu demokrasi tidak ada
Pertemuan lebih 4 orang dicurigai
Sekarang era keterbukaan demokrasi dan
informasi
Siapapun bebas berkumpul, bebas berucap
Tapi…bagai kehilangan esensi
Dulu jaman kebebasan dipasung
Berkumpul dilarang
Hingga bisik-bisik kecil terdengar
nyaring
Teriakan seseorang terdengar lantang
Negeri dilanda 'keheningan'
Di balik pembantaian yang menyisakan rasa
syak dan sedu sedan
Menorehkan perasaan senasib
sepenanggungan
Tapi sekarang pembantaian jadi tontonan
Kenapa kini, kata perlawanan nyaris tak
memberi arti?
Kenapa kini, kata perlawanan nyaris tak
menginspirasi?
Inspirasi sering ditularkan oleh
tindakan dan bukan kata
Karena seharusnya tindakan adalah
pelaksanaan kata-kata
Inspriasi adalah laku yang menjadi
teladan
Bukan pencitraan yang selalu dilakukan
Semesta takkan bisa diselingkuhi
Ketika…yang 'kiri' telah lebur ke
dalam duplikasi
Cikuya, 26 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar