Kamis, 28 September 2017

Kursus Jurnalisme Sastrawi XXVI

Jakarta, 8-19 Januari 2018

Yayasan Pantau kembali membuka kelas baru selama dua minggu. Kursus diadakan setiap hari  Senin, Rabu, Jumat, mulai 8 – 19 Januari 2018. Setiap hari diadakan dua sesi –pukul 10-12 dan pukul 13-15.

Ini tahun ke 17, Janet Steele dan Andreas Harsono mengampu sebuah kelas di Yayasan Pantau soal menulis panjang. Mereka mengikuti gerakan Tom Wolfe yang menggabungkan disiplin jurnalisme, riset akademis dan daya pikat sastra. Genre ini mensyaratkan liputan mendalam namun memikat.  

Menurut Nieman Reports, sejak 1980an, suratkabar di Amerika banyak memakai elemennya ketika kecepatan televise membuat suratkabar tampil denganl aporan mendalam. Kini dotcom pun, termasuk New York Times dan The New Yorker, masuk ke format penulisan panjang dengan website berbayar.

Peserta adalah orang yang biasa menulis, wartawan, aktivis organisasi nirlaba, akademisi, dan terutama orang yang hendak menulis panjang.

Sudah ratusan alumni sejak 17 tahun lalu kursus ini diadakan. Selain peserta di Jakarta, peserta juga datang dari berbagai daerah, seperti Kupang, Pontianak, Surabaya, Ende, Papua, Gorontalo, bahkan Malaysia. Kini sudah banyak yang membuat buku, menjadi editor.

Endy Bayuni Chief editor of The Jakarta Post, Goenawan Mohamad editor Majalah Tempo, Amarzan Loebis wartawan senior Majalah Tempo, Donald K. Emmerson direktur Southeast Asia Forum (SEAF) Stanford University, Maria Hartiningsih wartawan senior Harian Kompas, Putu Oka Sukanta Penulis, Ayu Utami novelis dan aktivis, Arswendo Atmowiloto penulis dan wartawan yang aktif di berbagai majalah dan memproduksi sejumlah sinetron dan film,  dan banyak penulis penulis lainnya yang mengisi di kelas menulis Pantau. Peserta terbatas, hanya 18 orang. Biaya Rp 3.5 juta, sudah termasuk coffee break, makan siang dan sertifikat. 

INSTRUKTUR

Janet Steele dari George Washington University, spesialisasi sejarah media, mengajar mata kuliah narrative journalism. Menulis buku The Sun Shines for All: Journalism and Ideology in the Life of Charles A. DanaWars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s IndonesiaEmail dari Amerika, serta Mediating Islam: Cosmopolitan Journalisms in Muslim Southeast Asia.

Andreas Harsono dari Human Rights Watch, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen, Institut Studi Arus Informasi, South East Asia Press Alliance serta Yayasan Pantau, anggota International Consortium of Investigative Journalists, mendapatkan Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Menyunting buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Menulis antologi "Agama"
Saya Adalah Jurnalisme
.


Fahri Salam dari Tirto akan jadi pembicara tamu. Dia salah satu redaktur paling menarik di Jakarta belakangan ini, pernah bekerja buat Yayasan Pantau dan Pindai, ikut menulis buku Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh. Dia biasa menulis laporan panjang.


PENDAFTARAN

Estu R. Fanani  

Mobile 0818-177-136
stufanani@gmail.com 

Dian Nur Afniati Fannellisy 
Mobile 0895-2119-2526
Email dian.naf.dn@gmail.com

Siti Nurrofiqoh
Mobile 081315567767

Yayasan Pantau 

Jl. Raya Kebayoran Lama, Jakarta 12220
Tel. 021-7221031
www.pantau.or.id

Sabtu, 29 November 2014

Super Women

“Barangkali, akan lebih baik andai aku tak bertemu dengannya. Tapi siapa mengerti jalan kehidupan?” gumam wanita muda itu lirih.

Ia tinggalkan kursi dekat pembatas pintu gerbong. Sebuah posisi yang kini kembali kosong.

“Aku akan ada di sini, tepat di depanmu saat kau ingin melihatku dan menengok ke arah kiri,” kata lelaki itu dulu.

Jeda Sepeminuman Teh

Saat jeda kau meminum teh. Sudah dua batang rokok kau sulut. Dan jejakku telah tertinggal di seluruh sudut.

Saat kau menunggunya menjadi hangat. Aku memandikan tiga anak kita. Menyuapinya, membersihkan rumah, dan menyetrika.

Saat teh mulai kau hirup. Aku memasukkan beras dalam periuk. Mencuci segala peralatan memasak.  Sambil membuat bumbu menu.
 
Pada hirupan pertama, kau mendehem. Aku terbatuk, badanku tersuruk, dengan beban yang menumpuk. Lalu kau membuka rubrik bola sebuah koran. Dan aku mulai mengeluarkan jemuran.  

Seruputan kedua, kau geliatkan badanmu ke sandaran kursi. Aku setengah berlari menuju kamar mandi. Karena pagi sudah menjauh pergi.

Teh dalam gelasmu tinggal setengah. Semua masakan sudah kuhidang. Kau mulai sarapan dan aku mengenakan pakaian kerja. Sebentar lagi, klakson jemputan akan berbunyi.
Dan kau akan melanjutkan tidur pagi.

Aku tidak sedang mengumpulkan angka, apalagi untuk dihitung dengan rumus matematika. Semua yang kulakukan terjadi begitu saja, sebagaimana tubuhku terpanggil,  rindu yang selalu menggungung di setiap relung, kasih yang mengalir hingga urat nadi, dan menempati setiap sendi. Sungguh aku cinta mati!

Tapi bagaimana bisa kau biarkan kekasihmu tanpa berbuat apa-apa? Tidakkah cinta selalu berbicara, bukan apa yang akan kita terima, tapi apa yang bisa kita berikan?

3 Sept 2014 [kisah seorang pekerja perempuan]

Rabu, 10 September 2014

Politik Bahasa & Cinta

Seorang istri membanggakan suami pada temannya. Bagaimana tidak? Di saat harga emas melambung karena dampak harga dolar, Mas-nya (panggilannya pada suami) juga melambungkan dirinya.

Lelaki yang biasa disapa Mas itu, belakangan menyulap dirinya seperti tokoh istri pujaan di sinetron-sinetron. Dan ia bagai sedang memerankan tokoh istri dalam film Cinta Fitri.

Sebuah babak di suatu pagi.

 “Say...” kata laki-laki itu setengah melenguh (bukan mengeluh lho ya...? sapi kali melenguh, hehe).

Rabu, 27 Agustus 2014

Jatuh

Aku tahu aku akan jatuh
Dalam pendakian yang sedang kutempuh
Terjalnya, tebingnya, kudekati hingga ke tepi

Dan memang aku jatuh
Bagai biji ketapel yang kautarik dari dua sudut berbeda dan sama kuatnya
Aku terhempas bersama cinta dan luka, harapan dan kepalsuan, yang kau hadirkan pada saat sama

Aku merapuh
Tapi untuk sementara waktu, sebagaimana kutahu...
Tak ada cinta abadi, juga luka abadi

Aku terluka
Tapi luka telah meluruhkan rasa yang lain...
Rasa tentangmu...yang terlepas pergi bersamanya

Bawa dustamu pergi
Dan aku akan terbang menuju cakrawala
Untuk kutambatkan setia, tanpa prasangka

26 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]

Rabu, 20 Agustus 2014

Sebuah Kemungkinan


Ketetapan upah membuat kita melakukan ketetapan kerja. Pergantian menit, perubahan hari, bagai selaksa pelangi.

Hari hanya menjadi penanda, kapan senin panjang dimulai. Kapan sabtu pendek akan tiba. Itulah hari kerja.

Dan kita lupa, atau...mungkin dipaksa lupa ada ketentuan lain. Bahwa misteri, ada dalam rasa kita sendiri – hari yang sama bisa memberi makna berbeda, tergantung apakah seseorang sedang menunggu, atau sedang enggan menyudahi sebuah momen.

Selasa, 19 Agustus 2014

Bersama Waktu


Waktu mengantarkan titik didih pada temperatur tertentu, juga mendinginkan untuk jangka waktu tertentu.

Tragedi tidak selalu karena parang bertemu pedang, atau tinju bertemu tendangan.

Jika kata-kata adalah pembunuh sebelum senjata, maka langkah diplomasi ibarat obat yang selalu datang terlambat.

Waktu bisa menjadi momen atas tragedi, juga menjadi jeda yang penuh kekuatan, kadang daya penyembuh, kadang peluruh.

Tindakan menahan diri untuk marah terhadap seseorang yang sedang marah, kadang jauh lebih berarti dibanding kerja-kerja diplomasi.

Kerja sebuah waktu membuat luka tersembuhkan, amarah mereda, kekecewaan terobati, dan rasa kehilangan akan tergantikan.

Biarkan waktu bicara, biarkan kesesakan bertemu jeda. Karena jarak adalah keajaiban, hingga sebuah tragedi berubah menjadi komedi.


20 Agustus 2014