Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh
Aku pernah melakukan hubungan suami istri. Kamu juga. Bedanya aku melakukan itu tanpa cinta-karena perjodohan saja. Sedangkan kamu melakukannya karena kamu menyukainya.
Ada yang membedakan lagi; menurut agama dan negara penyatuan antara tubuhku dan tubuhnya dianggap sah. Lalu keabsahan ditegaskan lagi dengan surat nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. Kemudian ia seperti sertifikat kepemilikan terhadap suatu benda, yang lalu berkembang sebagai sebuah label pada suatu barang. Fungsinya persis seperti label untuk kendaraan, menerangkan apakah ia masih gress atau sudah second (bekas pakai).
Untuk mendapatkan status second itu aku butuh bertahun-tahun, bahkan lebih dari 6 tahun mengurus proses perpisahan. Kemudian surat cerai pun kudapat, dan statusku di KTP berganti. Ada keterangan janda pada kolom status perkawinan. Dan kamu?
Status di KTP-mu, tak berubah kecuali usia masa berlakunya. Kamu juga tidak perlu menunggu tahun atau bulan ketika harus pisah dengan pasanganmu. Karena kamu tak terikat surat nikah. Sehingga tak harus memikirkan beban moral pada keluarga yang rumit, pandangan sebagian masyarakat, dan berproses di pengadilan yang sulit. Kamu cukup mengatakan pisah. Dan hubungan pun bubar pada saat itu.
Status itu kemudian menjadi penting. Terlebih setatusku di mata ibumu dan keluargamu. Ia teramat menjulang, dan kita bak semut-semut kecil yang merayap di balik ketinggian itu. Aku, tak mampu lagi menjangkaumu. Status menjadi seperti sebuah lambang, atau pintu gerbang, yang orang-orang di luar sana merasa sudah bisa menebak kandungan bobot, bibit dan bebetnya. Ibumu tak restu karena ia menginginkanmu yang masih ‘perjaka’ harus menikah dengan perempuan yang masih perawan.
“Ah. Kenapa mesti sama dia? Memangnya tidak bisa lagi kamu mencari gadis?” begitu ucapmu menirukan kata-kata ibumu. Dan katamu, kamu bilang padanya, “Soal menikah, bagiku bukan soal dengan janda atau perawan Bu. Tapi saya perlu mencari teman hidup yang bisa saling membimbing dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Hari ini pun, bisa kudapatkan banyak gadis Bu. Tapi, mereka sering menuntut banyak syarat. Saya tak suka seperti itu.”
Saat itu aku tak tahu apakah harus tertawa atau menangis mendengar penuturanmu. Aku melihat dirimu tak berdaya. Seperti yang kurasakan juga. Di sisi lain kamu menginginkan kita bersama. Tapi kamu juga mengatakan tak ingin mengecewakan ibumu. Dan kamu meminta waktu seminggu.
Seminggu menantimu, aku sering memikirkanmu. Memikirkan apa-apa yang telah kita bicarakan. Kamu berkata bahwa kamu tak punya pekerjaan tetap, tapi kamu punya otak. Aku bilang tak masalah asalkan terus berusaha. Kamu bilang, bahwa kamu sudah sering bekerja keras dengan menjalani macam-macam usaha tapi belum sukses. Aku menjawab, yang penting terus mengelola semangat. Dan kamu sama sekali tidak suka menjadi pegawai kantoran yang harus berkemeja dan berdasi setiap hari. Kamu ingin memgembangkan usaha sambil menekuni design-mu. Bagiku, yang penting orang harus memiliki semangat juang dalam hidup.
Ketika hidup sendiri, orang berjuang untuk hidup dirinya. Dan ketika hidup berdua, bertiga dan berempat, semangat juangnya harus ditambah pula. Maka itu, kamu sepakat kita berjuang bersama-sama demi keluarga kita kelak. Dan kita nyaris tak pernah membahas tentang status di antara kita, kecuali saat pertama kali kita bertemu. Waktu itu aku bilang ke kamu tentang pendidikanku yang rendah dan aku pernah menikah.
“Apa itu masalah? Aku juga pernah berhubungan dengan pacarku seperti suami istri. Dan kuliahku hampir DO. Besoknya mau ujian malah pada ke diskotik. Dan nyatanya, kuliah tak terlalu membawa peruntungan pekerjaan buatku. Untuk sukses, yang penting kita mau terus belajar,” bagitu katamu.
Kamu sering merasa lemah dan butuh pasangan yang bisa membimbing dan menerimamu apa adanya. Kamu tidak suka dengan cinta yang bersyarat; harus memintamu jadi orang kaya, sukses dan memberikan kemewahan pada pasanganmu kala itu. Dalam hatiku merasa lucu mendengarnya. Tapi kemudian aku mengerti karena sifat manusia berbeda-beda. Aku merasa dibutuhkan olehmu, seperti aku juga merasa begitu. Kita akan saling mengisi, mendukung, dan saling memberi pengorbanan. Aku bilang padamu, agar kamu bisa mengerti dengan organisasiku, kegiatanku, dimana aku akan selalu bersama-sama dengan ratusan, bahkan ribuan buruh di dalamnya. Dan kamu mengangguk. Aku berterima kasih atas pengertianmu. Pengertian yang tak pernah kudengar dari laki-laki sebelummu.
Seminggu berlalu. Dan sms pagimu membangunkanku. “Terima kasih untuk kesabaranmu. Aku minta maaf, setelah merenung, dan hasilnya, aku masih belum yakin dengan rencana married, maaf. Aku harap ini tidak mengganggu hubungan sebagai teman.”
Ragaku terbangun. Aku membaca pesanmu sekali lagi. Dan jiwaku pun terbangun. Jodoh, bukan hanya tentang laki-laki dengan perempuan, juga bukan tentang kita. Dan hatiku berkata, juga bukan di Tangan Tuhan.
Aku tiba-tiba ingin marah untuk satu alasan. Ternyata, ketidakjujuran lagi-lagi menjadi pemenang. Andai aku bisa sepertimu-bersetubuh tanpa ikatan pernikahan, barangkali ibumu akan merestui hubungan kita. Karena, aku seorang perawan. Tapi memikirkan itu, tiba-tiba aku merasa muak dan sedih. Bahwa dunia, selalu saja memelihara kepalsuan dan lebih memberi ruang untuk kemunafikan.
Kuhapus pesan pendekmu. Dan aku tak ingin mengenangnya lagi.
Jakarta, 23 Juli 2010
2 komentar:
ni loh gusti madewanti mneyukai tulisan ini. MOhon ijin aku quotes ya mbak Fiqoh..... membaca tulisan ini seperti melihat diri saya dalam tulisan itu.
Silahkan...ternyata kita senasib, hehe.
Posting Komentar