Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh
Di sebuah terminal pemberangkatan menuju ibu kota. Gundukan bukit-bukit terlihat setengah telanjang dalam saputan kabut sore yang gersang. Tak ada hijau yang asri, juga rekahan bunga-bunga jati. Di sana-sini hanya nampak tonjolan-tonjolan bebatuan kering dan ranggas pepohonan, seperti sebuah wajah yang telah kehilangan pesona.
Kemarau panjang selalu disertai musim paceklik. Ladang-ladang tandus dan sawah-sawah mengering. Tanah lendut yang biasanya harum dan lembut, terbelah di sana-sini seperti ranjau mata pedang yang bisa mengiris telapak kaki.
Mesin bus telah dihidupkan sejak tadi. Pintu ditutup dan kendaraan melaju. Tak ada lagi penumpang yang ditunggu. Semuanya sudah naik setengah jam yang lalu.
Kemarin, aku melangkah pasti meninggalkan sesuatu yang tak kupahami. Hari itu aku juga melangkah pasti menuju sesuatu yang aku belum tahu. Manusia sepertiku ini, memang seperti sebuah wayang yang hanya menjalani irama lakon sang ”dalang”. Berjalan, bernafas, hidup, mati, tidak ditentukan oleh diri sendiri.
Bus sudah membawaku melewati perbatasan kabupaten, sebuah wilayah yang masuk dalam catatan buku nikahku. Satu persatu terasa ada yang tanggal dari dalam jiwa. Kupandangi jemariku yang kurus dan keriput, rambutku yang tergerai kusut, sekusut jiwaku.
Sawah-sawah dan ladang petani tampak seperti barisan panjang yang datang menyongsong dan pergi menghilang. Rumah-rumah penduduk dan warung-warung kecil pinggir jalan satu persatu lenyap tertinggal dalam sekejap. Aku memejamkan mata. Membaringkan jiwa.
Gelap mulai merayap. Gunung-gunung berselimut hitam. Dari jauh hanya menampakkan bayangan kukuh yang sunyi. Di depan sana jalan panjang berkelok-kelok. Kadang menanjak kadang menurun. Aku pasrah dalam kendalinya. Saat ini, mati hidupku berada di tangan si pengemudi. Dan aku tak peduli. Semua kujalani dalam kepasrahan. Seperti benda hanyut dan terbawa arusnya. Tapi kehidupan harus menjejak bumi, memerlukan tempat bersinggah. Dan aku menentang arus itu.
Semua bermula ketika sebuah keluarga mendatangi keluargaku. Dan keluargaku menyerahkanku pada seorang laki-laki untuk mengambilku sebagai istri. Serah terima mas kawin menjadi symbol pertukaran atas hak keluargaku dan diriku, menjadi hak laki-laki yang kemudian disebut sebagai suami.
“Wong wedok kuwi kudu manut. Istri adalah konco wingking bagi sang suami. Ojo wani adu ucap karo bojo. Tugas istri adalah melayani suami yang baik. Melahirkan anak dan merawat dengan baik. Wanito, artine kudu gelem lan wani ditoto,” demikian Pek Lek-nya memberi wejangan.
Enam bulan berjalan. Dari rahimku belum juga melahirkan keturunan. Keluarga lelaki itu marah dan menganggapku tidak becus melayani suami. Aku memang tak melayani. Aku hanya menjalankan kewajiban. Aku menjalankan tugas sepenuh hati, bersama rasa yang sudah pergi entah ke mana.
Mungkin mereka juga menyesal telah meminangku dengan paksa. Tapi mereka marah kalau aku meminta berpisah. Laki-laki digugat cerai perempuan bisa menjatuhkan wibawa keluarga, apalagi kakak sepupunya sebagai Kepala Desa.
Alam telah berselimut kegelapan penuh. Diriku sudah terseret kian jauh dari kampung halaman. Orang-orang sibuk bercakap. Aku dengar mereka membicarakan tempat usaha, masalah di tempat kerja, dan tentang si anu dan si itu. Aku sendiri? Entahlah. Aku seperti pendatang dari negeri antah berantah.
Pikiranku terus berputar. Seperti pusaran air yang tak menemukan jalan keluar. Dan bermuara pada sudut yang gelap. Malam pertama yang mengandaskan impianku tentang teman-teman sekolah, tentang guru-guru yang mengajar di depan kelas, tentang kegairahan bangun di pagi hari dan mengenakan seragam biru putih, tentang cinta monyet yang melambungkan jiwa lewat senyuman kecil malu-malu, tentang percakapan sebuah cita-cita, dan tentang banyak hal yang belum aku ketahui dan ingin kuketahui di dalam dunia. Tapi malam itu aku mendapati tubuhku sudah tertindih di bawah laki-laki yang lekuk tengkuknya pun belum kukenali. Laki-laki yang terus berpacu di atas tubuhku, terus mengejar, mendesak, menerjang, layaknya pemerkosa yang takut kehilangan kesempatan. Sebuah mahkota pun terkoyak. Darah mengalir dari sebuah luka. Bukan suka cita.
Jiwaku seperti melayang pergi. Dunia yang kusinggahi seperti membawaku di alam nyata dan mimpi. Dan aku memang sudah kehilangan diriku sejak lama. Ia lenyap dan terpecah dalam sebuah iring-iringan panjang ketika ragaku di arak menuju sebuah bahtera.
Memasuki sebuah rumah yang dihias hingga ke pelataran, harapanku menemui titik penghabisan. Aku didudukkan di depan penghulu. Dan mulutku diminta mengucap sumpah. Wajahku terasa membeku dibalik bedak tebal kuning langsat. Kerongkonganku tercekat dan mulutku tak bisa bersuara. Orang-orang memandangku gusar. Muka laki-laki dihadapanku memucat dan muka laki-laki yang dipanggil Pak Lek merah padam. Agaknya jarang, ada mempelai melamun di hadapan sebuah upacara ”sakral” sepertiku ini.
Pernikahan adalah tujuan akhir dalam hidup, begitu orang-orang di kampungku memaknainya. Dan untuk tujuan akhir itu, sebagian perempuan telah menempuhnya sejak dini, ketika seragam merah putih harusnya masih dikenakan.
Hampir setahun aku hidup bersama laki-laki itu. Dan di rahimku belum ada tanda-tanda benih kehidupan. Di suatu sore Bu Lek-nya memintaku harus bersolek untuk menyambut kedatangan suami malam itu. Katanya aku harus mengerahkan segala pesona yang kumiliki. Belum adanya keturunan bagi mereka bagai musibah, tapi bagiku seperti anugerah. Barangkali sang pemberi hidup lebih memahami kapan Ia harus menitipkan sebuah kehidupan. Dibantu Bu Leknya, kusaputkan bedak di wajahku. Kumerahi bibirku dengan gincu. Dan aku hanya mengenakan be-ha dibalik pinjungan kain. Sepulang perempuan itu, aku berdiri di depan cermin. Menatap wajahku. Dan mendapati diriku yang lain.
Aku meneguhkan diri mengingat perkataan guru mengajiku bahwa istri harus selalu menjaga penampilan untuk suaminya, dan selalu melayaninya. Menolak permintaan suami akan membuat istri masuk neraka. Istri itu ibarat, neroko nunut suwargo kathut. Dan kata guruku, di surga nanti perempuan akan dilayani oleh widodoro, yang laki-laki dengan widadari. Dalam hatiku bertanya, apakah artinya sebuah hubungan laki-laki dan perempuan seperti yang kujalani kini? Entah kenapa, aku semakin tidak menginginkannya. Membayangkan itu kewnitaanku menjadi ngilu.
Malam itu aku bertekad menolak kemauan suamiku. Ingin segera aku hapus riasan di wajahku, namun laki-laki itu sudah sangat bernafsu. Ia terus memburu dan menerjangku, layaknya lelaki hidung belang yang mabuk kepayang pada pesona wanita penggoda.
Kemarau panjang dinginnya mencucuk tulang. Di dalam bilik, udara seperti bercampur bara. Tubuhku dibanjiri keringat lelaki itu. Kaki dipan bergemeretak. Kayu penyangganya patah. Berkali-kali aku tarik kain selimut untuk menutupi tubuhku. Berkali-kali tangannya yang kuat selalu berhasil merampasnya, sambil terus menerjang, memberi rasa nyeri yang tak terperi.
Menjelang subuh, ketika ayam berkokok tiga kali, tubuhnya menggelimpang di sampingku. Aku tinggalkan dipan yang miring, melangkah tertatih menuju sumur, membersihkan cairan yang berlapis-lapis seperti lumpur. Sesekali aku melompat-lompat, untuk memastikan bahwa cairan di dalam rahimku keluar tuntas seluruhnya. Aku kembali ke dalam bilik, mimiringkan badan membelakanginya. Mataku tak bisa terpejam. Seperti matanya yang tidur setengah membuka. Mata yang mengingatkanku pada penjahat tetangga desa yang mati dikeroyok massa. Rambutnya tegak berdiri, tengkuknya yang pendek berlekuk kaku. Baru malam ini aku bisa mengenalinya.
Semburat fajar pagi menembus celah-celah atap genting. Pagi itu kepalaku sangat pening. Di kepalaku seperti ada ribuan serbuk tahi gergaji bercampur dalam otak. Sangat sakit dan nyeri membuat tubuhku limbung. Aku mencoba menarik kain, tapi tanganku lemas tak berdaya.
Subuh tadi, ketika dia mengingatkanku untuk mandi dan sholat subuh aku hanya menggelengkan kepala. Tubuhku benar-benar tak berdaya seperti pelacur yang kelelahan melayani pelanggan. Bulir-bulir bening mengucur deras tanpa bisa dibendung. Dan hari itu, aku akan seperti kaum hawa yang mungkin akan dikeluarkan dari surga karena melakukan dosa.
Sepanjang hari, aku mencoba mengejawantahkan perkataan guru mengajiku. Tentang alam surgawi, tentang widodoro dan widadari. Dan aku tak juga mengerti. Yang kurasakan, hatiku justru semakin gelisah bersama rasa nyeri akibat perlakuan suami. Beginikah jalan menuju surga?
Menjelang sore aku berkemas. Kubungkus baju-bajuku secukupnya. Tengah malam tubuhku sudah menyatu dalam pekatnya. Dalam gelap langkahku telah meninggalkan kota kecamatan itu. Kuketuk sebuah pintu yang lain, untuk menumpang singgah malam itu.
Ada sesak kesedihan. Juga tangis. Tetapi semua menandakan adanya kehidupan. Aku telah memutuskan tak akan kembali. Untuk menjalani hidup dan menemukan diri. Meski harus kehilangan aroma ‘surgawi’.
Akan aku cari, jalan lain menuju surga yang sejati.
Jakarta, 6 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar