Kamis, 05 Agustus 2010

Rasa Bahasa

Oleh Fiqoh

Kata adalah satuan bahasa terkecil yang bermakna. Ia disebut kata ketika bunyi bertemu dengan konsep atau makna. Maka itu, pekikan (jeritan), sendawa, musik, bukanlah kata.

Bahasa atau kata adalah sebuah kesepakatan konsep. Misalnya ketika kita menyebut kursi, tentu orang akan membayangkan bahwa kursi adalah alat untuk duduk.

Dalam berbahasa, secara umum yang terpenting adalah logika. Untuk kepentingan percakapan, barangkali logika saja sudah cukup, begitu menurut Sitok Srengenge, ketika mengisi sesi kelas menulis yang diadakan Pantau, pada 29 Juli 2010, di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Tapi bagi orang-orang kreatif seperti penulis misalnya, tidak cukup hanya dengan konsep. Karena bentuk, warna, ukuran, semuanya menjadi penting. Kursi plastik, mebel, kursi Jepara yang berukir, secara tak langsung menggambarkan sebuah kemewahan dan kelas sosial pemiliknya.

Nuansa, emosi, dan ekspresi itulah yang digambarkan penulis dengan kata-kata. Dan di sinilah pentingnya rasa bahasa, dimana pilihan kata bisa mewakili suasana atau perasaan seseorang. Pelacur, lonte, atau PSK, ketiganya memilki makna yang sama. Tapi ketika suami mendapati istrinya selingkuh dengan lelaki lain, rasanya, ia tak akan menyebut, “Dasar PSK!” bukan?

Begitu juga dengan konsep jatuh untuk daun. Ia ada jatuh, luruh, rontok, dan gugur. Tapi, untuk menggambarkan suasana, kita tak bisa hanya menggunakan konsep jatuh.

“Bayangkan kalau suasananya terang bulan, tenang, angin berhenti, kemudian…daun rontok! Ya kacau!” kata Sitok.

Di situlah suasana menjadi lengkap karena diksi. Bukan hanya faktor konsep bahasa yang sama. Meski demikian, tetap saja kesalahkaprahan sering dilakukan oleh berbagai media. Misalnya, seorang lelaki menghajar istirnya sampai mati.

“Siapa yang mati?” tanya Sitok.

“Kebanyakan dari kita akan menganggap istrinya yang mati. Padahal itu tidak beda dengan orang berlari sampai lelah, atau orang makan sampai kenyang. Kan yang lelah adalah orang yang berlari itu bukan? Tapi kita sering membiarkan kekeliruan tersebut karena kita merasa tahu maksudnya.”

Faktor kelisanan seringkali digunakan ke dalam tulisan. Padahal ia akan menimbulkan kesimpang-siuran. Kata-kata yang bisa dimengerti dalam bahasa lisan, belum tentu dipahami dan bermakna sama dalam sebuah tulisan. Apakah kita akan membiarkan hal itu?

Menurut Sitok, sangat ironis jika sebagai penulis kita tak peduli dengan cara berbahasa yang keliru. Karena cara kita berbahasa, mencerminkan cara kita berpikir.


Unsur personalitas dalam menulis
“Kenapa kematian Sukardal menjadi mengharukan ketika ditulis oleh Goenawan Mohamad? Sementara ketika kita baca di koran rasanya biasa-biasa saja?” tanya Sitok.

Berita lebih sering hanya menyajikan peristiwanya. Tidak ada narasi, tidak memberi ruang bagi tokoh yang diceritakan. Itu sebabnya, Sukardal, tukang becak yang menggantung diri menjadi berita yang mengharukan dan menyentak perasaan kita. Hal itu dikarenakan sentuhan personalitas si penulis terhadap si tokoh. Tokoh menjadi penting karena tokoh itu akan mengungkapkan sendiri tentang setting sosialnya, tempat, dari mana ia berasal, dan bagaiamna ia punya suara dalam menyikapi ketidakadilan. Dalam tulisan itu terbukti bahwa sentuhan personalitas, mampu menghadirkan sisi kedalaman yang membedakan antara satu penulis dan penulis lainnya.

Karena cara kita melihat peristiwa akan berbeda dengan cara orang lain. Ketika kita sama-sama menyaksikan sebuah tabrakan, masing-masing orang akan memiliki perhatian yang berbeda-beda. Penulisan yang dangkal bisa saja hanya memberitakan tentang dua bus yang hancur karena saling membentur dan menewaskan sekian manusia atau korban yang luka. Seakan semua hanya soal benda. Tidak masuk ke tokohnya (orangnya seperti apa, keluarganya, asalnya, perilaku keseharian, dan apa yang dikerjakan sebelum kecelakaan itu terjadi). Kita tidak tahu kalau si sopir yang mengemudikannya semalaman tidak tidur karena mengurusi istrinya yang melahirkan, atau anaknya yang sakit, atau habis bertengkar misalnya.

Narasi, mengubah berita menjadi cerita. Dengan bercerita, kita menggali informasi lebih dalam dan menghidupkan tokohnya. Karena, dibalik ribuan peristiwa, ada manusia-manusia di dalamnya, yang tidak bisa hanya dicantumkan sebagai data dan angka.

Seorang penulis yang baik, ia akan memulai dari sebuah pertanyaan yang ia ketahui dan terus mengembangkan. Tema-tema yang intim dengan dirinya akan menghasilkan karya-karya yang unik. Karena, apa yang kita ketahui, belum tentu diketahui oleh orang lain. Begitu juga dengan apa yang kita pikirkan. Setiap orang mempunyai perbedaan-perbedaan. Dan perbedaan itulah yang menyuguhkan keunikan serta menentukan kekhasan masing-masing penulis.

Sitok mengulas sedikit tentang fungsi jurnalisme. Ia dibutuhkan, agar khalayak tahu tentang sesutau. Dan dari pengetahuan itu kemudian masyarakat berpikir melakukan tindakan. Misalnya hidup sehat dengan tempe, siapa tahu ada yang merasa tidak sehat dan memakannya sehingga menjadi sehat. Atau tentang pejabat yang korupsi, supaya masyarakat tahu dan melakukan sesuatu karena ada hal yang tidak beres.

Sebuah informasi yang sampai ke masyarakat bisa melekat di hati pembaca, tapi juga bisa segera hilang jika tidak menyentuh perasaan dan tidak mengesankan. Tujuan kita menulis, agar pesan yang kita sampaikan bisa dimengerti dan berkesan. Kalau dimengerti tapi tidak mengesan, untuk apa?

"Sentuhlah perasaannya, dan sentuhlah daya ingatnya," kata Sitok.


Jakarta, 5 Agustus 2010






Tidak ada komentar: