Minggu, 29 Agustus 2010

Puasaku Hari Ini

Pagi tadi aku melihat temanku sedang sarapan. Nasi putih, sayur asem, ikan asin gabus dan sambal tomat. Menu yang sama, yang kusantap menjelang fajar ketika sahur. Bersama rasa kantuk yang memberati pelupuk mataku, hidangan itu tak terlalu menggugah selera. Tapi melihat dia makan, kok rasanya aku tergoda.

Aku mengingat sepenggal ceramah Pak Ustad di televisi. Katanya, puasa hanya akan menghasilkan perut lapar dan rasa haus kalau di hati kita tetap membayangkan makanan karena berarti kita tidak ikhlas. Terlebih kalau kita tidak bisa menjaga mata dan hati kita.

Aku berusaha menghapuskan sama sekali tentang ikan asin gabus, sayur asem dan sambal itu. Tapi tak berhasil hilang dari pikiranku. Aku jadi bingung. Dan aku berkata pada Tuhan seperti ini: “Tuhan…Engkau maha tahu. Aku ikhlas menjalankan puasa ini, tapi tadi aku memikirkan tentang makanan, ditambah buah naga yang molek menggelimpang di bawah rak warna merah jambu.”

Tentang ikhlas dan belajar untuk ikhlas

Aku mengingat ketika di Pondok Pesantren dulu. Sejak membuka mata di pagi buta, hanya huruf-huruf Arab yang menjadi pemandangan pertama. Pun ketika menjelang tidur di malam yang sudah mendekati ujungnya, mataku sampai sepet karena bertadarus. Di pondok itu wanita bercampur hanya dengan wanita. Begitu juga sebaliknya. Tapi, meski mata tak melihat pemuda idamanku, tetap saja di hatiku tak pernah absen setiap hari memikirkannya. Barangkali, kalau ia ada di dekatku, mataku akan sesekali meliriknya. Apakah artinya aku berzina mata? Kembali ceramah Pak Ustad terasa berdengung di telinga.

Pondok pesantren itu suci. Hanya ada hamparan permadani, rak-rak tempat penyimpanan Al-Quran, Kitab, juga mukena-mukena. Jangan bertanya tentang buku novel, apalagi VCD Porno. Kesemuanya itu barangkali hanya ada di pikiranku, yang tumbuh secara alami, secara naluri. Saat itu aku bertanya-tanya dalam hati, apakah para santri-santri itu juga punya pikiran sepertiku?

Entahlah. Hanya orang-orang itu dan Tuhan yang tahu. Tapi, ketika aku merantau, atasanku yang konon juga mondok selama lima tahun, kini ia selingkuh dari istrinya. Dan bergenit-genit ria di antara anak buahnya yang semuanya wanita. Odah, keponakannya itu bercerita padaku kalau ia sering gonta-ganti perempuan.

Aku kembali berpikir tentang apa yang terjadi di dalam hatiku--makanan, dan laki-laki pujaanku. Tak mungkin aku tak memikirkannya. Dosakah aku dan batalkah puasaku? Wallahu ‘alam Bissawab.

Nafas dan nafsu, adalah pemberian-Nya. Cinta, juga anugerah agung dari yang Maha Kuasa. Menghapuskannya, bagiku dan bagi siapa saja, kukira menjadi sebuah derita.

Hari ini, di antara puasaku, aku selalu melihat berbagai hidangan makan siang di kafe tempatku rapat dengan kolegaku. Setiap hari aku juga berhimpitan dengan pria-pria tampan dan wanita-wanita cantik yang turut berjubel memenuhi bus menuju tempat kerja. Jelas mataku tak bisa menafikan pemandangan-pemandangan itu. Di dunia yang kian berkembang, di Jakarta ini, aku tak memiliki ruang sunyi. Keadaan ini sama sekali berbeda dengan suasana pesantrenku dulu.

Jika dulu mataku bisa menjaga kesucian, logikaku berkata, karena memang tempatnya yang suci. Jika hatiku tak berpikir tentang ikan gabus, itu sudah pasti karena kami makan kadang hanya dengan garam saja. Zina mata? Kurasa, hatiku sudah jauh melampaui sebatas apa yang kulihat dengan memikirkan pemuda pujaanku dan berangan-angan tentangnya.

Semakin ke sini, terlalu banyak warna yang aku jumpai dalam hidupku. Pemisahan gender antara lelaki dan perempuan, terasa seperti kelambu partisi yang terlalu tipis untuk ditembus. Kelambu yang hitam dan putih, dan dibaliknya terserak beragam hati manusia yang siapapun tak bisa mengira-ngira. Apakah kita tahu bahwa di antara mereka tidak ada yang menyukai sesama laki-laki atau perempuan?

Kalau mengingat ceramah Pak Ustad itu, barangkali sudah tak terhitung bentuk zina yang aku lalukan. Termasuk puasaku hari ini, yang masih juga tak bisa menepis berbagai aneka rupa makanan dan perasaan tentang seseorang. Tapi dari sini aku belajar tentang kapan aku ikhlas dan kapan belajar ikhlas. Dan ketika kuhitung-hitung, ternyata aku masih harus lebih banyak lagi belajar tentang ikhlas.

Sebagai contoh: jika menuruti keinginan, aku merindukan di hari Sabtu dan Mingguku beristirahat di rumah, atau mengunjungi salon, atau jalan-jalan ke mall, atau tiduran dan menonton televise. Tapi aku harus memaksa diri untuk berdesakan di bus ekonomi, berpanas-panasan jalan kaki memasuki gang pemukiman, dan bicara berbusa-busa membantu memecahkan berbagai masalah. Ada pemecatan buruh, pemotongan upah mereka, dan berbagai sikap-sikap yang tidak manusiawi yang menimpa mereka. Jika menuruti keinginan, rasanya tak akan aku berikan tempat dudukku di bus atau kereta demi seorang ibu yang menggendong anaknya. Tapi, demi kasihan maka aku tawarkan tempatku pada si Ibu yang tentu lebih membutuhkan dibanding aku. Dan setelah kuhitung, banyak hal yang aku lakukan tanpa harus menunggu kata ikhlas di hati. Jika menunggu ikhlas, aku juga tak akan bersedia tidur larut malam demi memeriksa kronologi atau surat-surat pengaduan.

Dalam hidup, ada sebuah kewajiban yang mengharuskan kita berbuat sesuatu tidak hanya sekedarnya, atau seikhlasnya. Hidup, tidak hanya melakukan apa yang dinginkan, tapi juga melakukan apa yang harus dilakukan.

Seperti puasa yang tetap kujalankan meski barangkali masih jauh dari khusuk. Aku juga beribadah walaupun masih compang-camping. Dan, bertanggung jawab pada diri sendiri untuk tidak berzina beneran, meskipun video Aril dan Luna Maya berseliweran. Aku juga menjaga perbuatan untuk tidak mengkhianati orang yang aku cintai.

Semua itu kusadari baru sebatas upaya—bertanggung jawab dan menuju ikhlas. Dan sebagian kulakukan karena rasa bertanggung jawab terhadap kewajiban dan kesetiaan. Dan keindahan rasaku, justru dalam proses pergulatan itu—pergulatan mengendalikan diri dan melatih diri. Pergulatan tergoda untuk makan, tapi tidak makan. Pergulatan tergoda selingkuh, tapi tidak selingkuh, apalagi berzina dan bermunafik ria sambil menyalahkan pasangan Ariel dan Luna Maya. Termasuk pergulatan mengalahkan ego, dan belajar melatih diri berbuat untuk sesama yang sedang membutuhkan.

Indahnya Ramadhan, indahnya pergulatan rasa dalam hidup. Dan dengan kasih sayang-Nya yang Maha Luas, Tuhan kian membuatku takjub: suatu niat buruk manusia tidak akan dicatat sebagai dosa selama keburukan itu belum dikerjakan. Sebaliknya, jika kita berniat melakukan kebaikan, meski masih dalam niat, ia telah dicatat sebagai suatu pahala. Hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah.

Jakarta, 26 Agustus 2010 (Fiqoh)




Tidak ada komentar: