Oleh Siti Nurrofiqoh
Huruf-huruf kapital merah bertuliskan jurnalisme sastrawi tertera di atas kanvas putih. Banner itu pernah menarik perjatian berpasang-pasang mata ketika buku antologi berisi karya yang ditulis dengan mendalam dan memkiat itu kali pertama diluncurkan.
Cover depan buku itu berlatang belakang hitam dan bergaris putih di setiap sisinya menyerupai list pada sebuah bingkai. Di antara kepungan nuansa hitam dari bagian kanan, atas dan bawah, delapan nama disusun berdasarkan abjad pada space warna putih yang memakan separuh lebih dari halaman itu.
Agus Sopian berada di urutan pertama, kemudian Alfian Hamzah, Andreas Harsono, Budi Setiyono, Chick Rini, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, dan Linda Christanty.
Saya mengenal secara fisik empat orang dari nama-nama itu. Terlebih Andreas Harsono yang saya penggil Mas Andreas. Kami bertemu sejak 1993. Ketika itu kami sama-sama sering terjun ke jalan. Ia sering meliput banyak peristiwa termasuk demo buruh yang saya lakukan bersama para pekerja di pabrik. Saya juga ikut berdemo menentang pemberangusan kebebasan pers oleh kekuasaan. Kami sering melakukan diskusi-diskusi tentang buruh, kehidupan, bangsa dan penguasa. Darinya, saya banyak belajar tentang sebuah integritas.
Sedangkan Budi Setiyono, Linda Christanty, dan Agus Sopian. Ketiganya saya kenal di Yayasan Pantau, ketika lima tahun lalu saya ditawari Mas Andreas bergabung di yayasan itu.
Dalam keseharian, persentuhan fisik hampir tidak memberi gambaran apa-apa pada saya tentang hal-hal yang dipikirkan orang-orang itu. Pemikiran-pemikiran pentingnya tak muncul secara runut, dan ideologinya tidak tercermin secara jelas. Dalam pertemuan-pertemuan itu saya hanya melihat wajah-wajah yang kadang terlihat letih, mata yang sembab kurang tidur, atau raut tegang dan rambut berdiri karena stres, juga kelakarnya. Kadang juga kebersamaan itu diwarnai ketaksepahaman ide, prinsip, cara pandang, bahkan percekcokan karena kebijakan yang terkadang dirasakan tidak adil di dalam tim, yang yang tak jarang melahirkan ketegangan. Prestasi mereka, justru saya jumpai di lembar yang lain, yaitu tulisan.
Saya tengah meminum kopi siang itu, ketika sekali lagi, saya pandangi judul-judul tulisan mereka. Dan saya jadi teringat ucapan Pak Daoed Joesoef, bahwa tulisan kita adalah pikiran terbaik kita. Artinya, di saat orang tersebut menulis, di saat itulah mereka sedang memberikan pikiran terbaiknya.
Dan saya merenungkan dengan apa yang saya lihat dan saya temui selama ini. Ia seperti dua lajur rel kereta api: sisi kiri dan sisi kanan; atau aliran kiri dan kanan; bisa juga seperti otak kiri dan kanan, pokoknya dua hal yang kontradiktif namun selalu ”berpasangan”. Dan saya berpikir tentang bedanya penulis dan menulis. Penulis terbaik tidak selalu karena perbuatannya baik. Sebagai menusia, kita juga memiliki keburukan, dan kadang banyak melakukan kekeliruan. Kebaikan yang kita miliki, barangkali hanyalah titik-titik kecil di antara bercak-bercak noda yang gelap dari sekian sisi buruk manusia yang kadang njelehi, munafik, dan culas. Menyadari hal itu, kita tidak perlu terlalu mengagungkan atau mengkultuskan sesama, atau terlalu mencintai suatu kelompok dengan membabi buta.
Sore itu, di sebuah kelas menulis narasi yang digelar Pantau, seorang peserta mengusulkan agar Agus Sopian dihadirkan. Ia berpendapat, kalau Pak Agus bisa datang, tentunya akan memperkaya diskusi tentang pengalaman menulisnya. Tulisan Agus memang sering dibahas di kelas narasi maupun jurnalisme sastrawi yang dibawakan oleh Janet Steele, profesor ahli media dari George Washington.
Di kesempatan yang lain, seorang peserta yang lain mengusulkan agar di kelas itu bisa berdiskusi dengan Alfian Hamzah, tentang tulisannya yang lucu dan menarik. Juga karya Chik Rini yang kaya akan deskripsi menegangkan. Permintaan peserta belum terpenuhi. Hingga suatu sore, beberapa bulan kemudian setelah itu, saya menerima kabar, Agus Sopian pergi untuk selamanya.
Karya dan Kematian
Seorang teman mengatakan Kang Agus masih online. Candaan itu membuat jari saya mengetik namanya di kolom pencarian facebook. Dan saya melihat wajahnya yang segar tersenyum mengenakan baju putih. Ucapan selamat jalan berderet panjang dari rekan dan kerabat di dinding pesan meski ia tak akan membalasnya. Di mata beberapa temannya, ia disebut sebagai guru dan sahabat. Dan di mata teman yang lain, bisa jadi ia sebagai lawan.
Para peserta kursus bertanya kepada saya, ”Agus Sopian itu yang mana?” Mereka tidak memiliki gambaran tentang sosok Agus secara fisik, meski mereka mengenal dan mengambil pembelajaran dari karyanya.
Saya jadi teringat ketika orang ramai mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer yang sangat populer: menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan belakangan, orang mulai mencari kata-kata yang bisa merepresentasikan atas apa yang mereka pikirkan dan lakukan hingga membuatnya merasa eksis. Seperti ungkapan seorang teman, ”Saya ada karena saya menulis”.
Banner itu kini berada di pojok ruang. Setengahnya tertutup oleh meja dan tumpukan koran. Pegawai kantor Pantau sering memindah-mindahkan posisinya supaya tak mengganggu lalu lintas kegiatan sehari-hari. Mungkin sebentar lagi ia akan dilipat. Karena buku-buku itu kini telah berada di ribuan tangan pembaca.
Mata saya masih tertuju pada urutan nama-nama. Agus Sopian di urutan pertama, dan telah pergi. Kok ya pas, gitu. Dan hati saya berkata, siapa lagi yang akan menyusul setelah dia? Apakah Alfian Hamzah? Atau Andreas Harsono?
.....Kemudian saya berkata pada diri sendiri, akankah saya masih akan menjadi pihak yang menerima kabar tentang kepergian mereka? Atau justru mereka yang menerima kabar kepergian saya?
Delapan nama calon jenazah. Hanyalah susunan terpendek dari barisan panjang nama-nama lain di dunia termasuk kita. Siapapun bisa pergi hanya berselang menit bahkan detik dari sebuah komunikasi yang baru saja dijalin. Setiap detik adalah momen penuh misteri dan teka-teki.
Menyadari hal ini, betapa pentingnya untuk terus menghargai setiap detik dalam hidup. Tidak ada jalan lain, selain menuliskannya segala sesuatu yang terbaik, yang pernah kita lakukan. Biarlah kebaikan yang setitik itu turut memberi ilham, yang akan disambut oleh yang lain, dan terus dikembangkan serta dilengkapi. Kehidupan terus bersisian dengan maut. Dan sejarah manusia, tidak hanya ditandai dengan kelahiran dan kematian.
Manusia hanya terlahir sekali ke dunia. Tapi manusia bisa terlahir berkali-kali melalui karya-karyanya. Manusia akan mati satu kali secara ragawi. Tapi ia bisa terus hidup melalui pemikiran-pemikiran dan perbuatan baik yang ditulisnya.
Di dunia ini, betapa tak terhitung jumlahnya, orang-orang yang banyak berbuat tetapi tidak menulis. Jika penulis bisa menuliskan perbuatan banyak orang, setidaknya kita bisa menuliskan apa yang kita pikirkan dan kita perbuat.
Jakarta, 29 Juli 2010
1 komentar:
Ingat masa lalu, ingat PR Duta Busana Danastri, Komnas HAM, Levi's Strauss serta ... pertama kali mengenal self-censorship di harian Jakarta Post. Ingat ketika Siti Nurrofiqoh muncul sebagai spokesperson para buruh Duta Busana. Dia dipecat. Dia menggugat. Lalu diperkerjakan kembali. Juga ingat mau disuap. Kenangan masa lalu.
Posting Komentar