Selasa, 31 Agustus 2010

Amanah

Aku sedang mau beranjak mengambil wudhu, ketika sebuah pesan masuk ke HP-ku dari seorang sahabat. Ia memberitahu kalau ia baru saja mentransfer uang ke rekeningku.

“Aku baru saja melakukan transfer ke rekeningmu. Semoga membantu, maaf telat…”

“Nggak masalah. Terima kasih untuk bantuanmu. Besok akan aku sampaikan pada yang bersangkutan,” jawabku.

Kamudian aku laporkan perkembangan terakhir pada lima sahabatku, yang sebelumnya juga turut memberikan bantuan untuk seseorang yang menjadi tokoh dari tulisanku. Dan, aku meminta ijin pada mereka untuk membagikan bantuan itu pada Diar dan Katmi. Diar adalah anak yang hampir putus sekolah dasar karena ibunya, buruh pabrik yang bekerja dengan sistem borongan kewalahan membeli buku-buku. Diar hanya hidup dengan ibunya, karena bapaknya menikah lagi sejak ia masih kecil. Katmi juga buruh pabrik yang menderita liver dan tak bisa berobat hingga ulu hatinya membengkak dan membuat perutnya besar. Ketika Mbak Karsih, teman sekerjanya menjenguknya minggu lalu, lengan perempuan itu sudah mengecil dan bicaranya sudah cadel. Selama ini, meski dalam keadaan sakit ia tetap bekerja. Dan mandor yang jadi atasan dia sering menjadikan dia sebagai contoh pekerja yang rajin. “Contoh itu Katmi, biar sakit juga tetap kerja!” begitu kata mandor itu ketika ada buruh lain yang meminta ijin karena sakit.

Selepas mahgrib, satu lagi dari kelima sahabat itu mengirimkan sms padaku, “Aku kirim lagi meski tidak banyak. Moga bisa membantu Katmi dan dia tetap tabah.”

Aku kabarkan berita baik ini ke Mbak Karsih di Tangerang, dan memintanya nalangin dulu dengan uangnya. Supaya bantuan cepat bisa diberikan.

“Oke, terima kasih byk. O iya, bgmn klu sebagaian kita bagi buat Mbak Puji. Kamu tau kan? Itu lho, yang kerja di bagian kebersihan, yang waktu itu mau diPHK dan kita bantu kasusnya itu. Kemarin ketabrak mobil pas mau berangkat kerja. Parah, kepalanya ada sepuluh jahitan.” Jawab Mbak Karsih.

Aku merenung sejenak. Bantuan yang mereka berikan, sejatinya untuk seorang perempuan yang ada dalam tulisanku. Aku telah meminta ijin membagikan sebagian kecil ke Katmi dan Diar. Haruskah aku meminta ijin lagi untuk Puji? Rasanya, aku menjadi seperti kemaruk mentang-mentang ada yang membantu, atau aku malah menjadi seperti “agen” orang-orang malang yang merekayasa kemalangan? Kok begitu banyak manusia yang kurang beruntung ini mendapat kemalangan? Dan terlalu cepat, terlalu beruntun jumlah yang membutuhkan bantuan itu. Dan aku merasa tidak enak hati untuk meminta ijin mereka lagi. Maka, cukuplah aku mengemukakan ijin itu pada salah seorang saja.

Dan dia bilang, “Nggak usah bagi dua, biar aku kirimkan lagi untuk Puji. Sudahlah, jangan ditolak. Sama sepertimu, hatiku juga kelabu dan ngenes mendengar orang-orang tertimpa kemalangan. Kita masih beruntung, dan biarlah aku berbagi dengan mereka.”

Detik berikutnya--dan untung tak orang sehingga cairan mataku bisa terjun bebas di ruang kost itu. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang terhingga dan doa sepenuh hati pada Tuhan, agar Ia melimpahi berkah dan kasih sayang pada orang-orang yang telah berbuat baik tersebut.

Maka dengan suka cita kukabarkan berita gembira itu ke Mbak Karsih lagi. Dan tak perlu menunggu lama, ia membalas smsku. Dia bilang, “Iqoh bila diijinkan gmn kalau kita kurangi 50 ribu dari jatah Katmi dan Puji buat dikasihkan nenek yang jatuh di kamar mandi dan kakinya patah,”

Perasaanku kembali bergulat. Antara mengijinkan (yang artinya aku harus meminta ijin pada para sahabatku?) atau berkeputusan sendiri dan tak memegang amanah mereka. jika meminta ijin, aku takut dianggap aku menaruh beban lagi pada mereka, setidaknya itu menurutku. Aku sudah tidak enak, khusunya pada orang yang barusan mengirimkan bantuan itu. Dia sudah sering memberikan ini dan itu untuk serikatku dan orang-orang yang berada di komunitasku yang tertimpa kemalangan. Tapi bayangan tentang nenek yang jatuh dan kakinya patah, entah kenapa mengusik rasaku.

“Siapa nenek-nenek yang kakinya patah itu?”

“Itu yang ngontrak di depanku tapi 3 bulan nunggak. Nggak ada yang jahitin baju kali, sepi. Mereka disuruh pindah di Pak Arga. Belum 1 minggu dia jatuh di kamar mandi, licin kali.”

“Nenek itu tinggal siapa? Memang nggak ada anaknya?” tanyaku sambil mengingat bahwa aku pernah melihat mereka ketika aku main Ke Mbak Karsih meski sekilas.

“Tinggal sama anaknya. Anaknya janda, sudah tua juga. Umurnya sekitar 56 an tahun, buka jahitan sambil ngurus cucunya yang cacat. Kalau nenek itu sudah 84 th, sering dipanggil uyut. Tapi dia malah kelihatan lebih sehat dibanding anaknya. Mereka orang Bima.”

“Cacat kenapa? Memang orang tua anak itu ke mana?”

“Anak itu umur 7 th, tapi spt 3 th, masih ngompol dan ngiler. Ibu anak itu galak, dan aq juga tak tau knp ibunya tak mau ngurus. Dia tinggalnya jauh, misah dari mertuanya itu.”

Aku mengetik huruf terakhirku untuk menyudahi bersms karena tak ingin menghabiskan pulsa Mbak Karsih. Maka kuputuskan untuk berkata, “Silahkah mbak. Berikan saja,” yang langsung disambut nada pesan balasan.

“Aq antar malam ini ya, di belakang rumah. Biar tidak utang berasa lagi.”

“Utang berasa sama siapa?” tanyaku ingin tahu.

“Ibu depan yang ngewarung itu. Sama aq juga prnh ngutang, dan tidak aq suruh ganti, aq bilang, biar aja nek, gitu. Stlh itu gak prnh pinjam beras lagi, malu kali.”

Tak sampai sepuluh menit Mbak Karsih mengabariku kalau dia sudah kembali dari rumah si Nenek. Katanya ia tak tahan berlama-lama di sana. Kontrakan petakan itu baunya pesing sekali. Mungkin pipis dari cucu yang diasuhnya. Dan kini ditambah si Uyut yang biasanya tragal ikut mengurus anak itu justru hanya bisa berbaring dengan kaki mengsol karena jatuh.

Kubayangkan, malam tadi pastinya keluarga itu bisa menelan nasi tanpa harus lebih dulu menelan gemuruh perasaan. Perasaan malu dan cemas, membuat bibir keriputnya gemetar dan tak mampu bersitatap dengan mata Mbak Karsih ketika ia harus mengucap, “Neng…Nenek pinjam berasnya dulu satu liter.” Ketika itu ia belum bisa membayar pinjaman di warung sehingga ia meminjam ke Mbak Karsih. Setelah menerima sekantung kresek kecil hitam, ia berjalan cepat-cepat, tersaruk-saruk seakan ingin segera membenamkan punggungnya ke balik pintu.

Sahabat, maafkan aku. Kali ini aku tak menepati janji memegang amanat kalian. Bantuan yang kalian berikan untuk seseorang, sebagian aku berikan ke beberapa orang, termasuk Nenek itu. Dalam sekejap, terlalu banyak jumlah yang membutuhkan pertolongan kita, karena itu aku tak memberitahu kalian karena aku jadi tidak enak hati. Ini memang belum apa-apa dibandingkan dengan nasib pengungsi ataupun korban peperangan. Mereka, adalah warga negara biasa, yang tertinggal oleh laju perkembangan jaman dan kalah oleh keadaan. Mereka adalah orang-orang yang gigih bekerja dan terus berjuang dalam hidup yang semakin kehilangan peluang. Jelas, orang lebih memilih belanja di mall atau pasar, daripada menjahit baju ke tempat Nenek. Apalagi dengan adanya pasar bebas, semua produk bebas masuk tanpa proteksi dari pemerintah dan menjanjikan harga murah. Dan ditambah ulah koruptor, pemakan uang rakyat puluhan miliar yang baru-baru ini diberi grasi oleh SBY. Yang miskin semakin miskin. Nasib manusia, nasib bangsa, seakan berada di bawah panggung kehidupan yang dikendalikan para pemimpin negara. Panggung penuh glamor dengan kontras teramat memilukan.

Memang terlalu banyak orang di sekeliling kita yang jauh kurang beruntung. Seperti kata sahabtku, “Buatku, mereka adalah simbol manusia yang wajib dibantu, supaya mereka juga tetap merasa sebagai manusia”.

Semoga apa yang telah teman-teman bagikan, bisa membuat Nenek tersenyum hari ini. Aku membayangkan Nenek akan menyantap nasi di piringnya bukan dengan mata buram. Melainkan berbinar-binar. Bagimana dengan sewa kontrakan? Entahlah. Yang penting hari ini ia tak mengutang beras lagi.


Jakarta, 30 Agustus 2010 (Fiqoh)

Tidak ada komentar: