Kamis, 26 Agustus 2010

Kisah Sedih di Tahun Baru

Oleh Fiqoh

Bulan ke delapan. Sudah ke delapan kali juga aku menyisihkan lima ratus ribu rupiah dalam setiap gajiku untuk cicilan hutang. Masih jauh dari lunas.

Sambil kupisahkan sepuluh lembar lima puluh ribuan itu, hatiku masih saja menyimpan kemarahan. Apalagi sejak dua bulan lalu harga sewa kost dinaikkan terkait naiknya Tarif Dasar Listrik dari pemerintah. Kini sewanya jadi Rp 600.000. Setiap kali aku merasa marah, saat itu juga aku sedih memikirkan keluarga itu. Dan tiba-tiba aku sangat menaruh harap pada sesuatu yang kuyakini mereka bisa menolongnya.

“Yah, andai saja, mereka bisa terbantu,” aku berucap pada diri sendiri, sambil terus berandai-andai tentang program Tolong dari SCTV.

Bayangan keluarga itu; pemuda yang melewati seluruh masa hidupnya terbaring di atas papan--mengidap penyakit jenis polio dan gangguan mental; rumah kecil dengan bilik bambu yang mulai lapuk dan berlobang di sana-sini, perempuan tua dengan bola mata tak bisa melihat, laki-laki sakit-sakitan yang rapuh, sungguh sering mengusik kalbuku.

Pertemuanku dengan keluarga ini adalah bagian dari pencarianku, terhadap anaknya yang melakukan kejahatan terhadapku dan Nur temanku pada akhir 2009 lalu. Dadi, anak mereka kabur dari kios kami dan membawa uang dagangan serta motor yang kami gadai.

Malam itu hari Sabtu. Detik-detik waktu akan segera menggenapi akhir tahun. Sebentar lagi manusia dibawa memasuki tahun baru. Namun bagi kami, justru sedang memasuki masalah baru. Banyak orang, seperti juga tetanggaku menunggu saat-saat itu--entah apa tujuan mereka merayakannya–tapi bagi diriku, aku mensyukuri tentang kesempatanku masih bisa melihat dunia. Ketika jarum jam mendekati angka duabelas, tepat tengah malam, aku keluar kamar dalam perasaan gundah, berbaur dengan para tetangga yang mulai berteriak riuh rendah. Nur temanku, berdiri membisu di dekatku. Dan tahun 2009, sejak malam itu sudah berlalu.

Dari sana-sini kembang api meluncur dan pecah di udara, saling mengungguli di ajang pentas alam terbuka. Puncak ketinggian yang terlihat dalam batas pandang, selalu memperdengarkan pekik kekaguman. Sesekali kulihat mata Nur menerawang, seperti mataku juga. Sinar yang berpendaran itu pun, sering luput dari pandanganku.

Tak selalu, perubahan nasib manusia terjadi karena waktu, kecuali waktu mengantar batas usia hidup di dunia. Kecuali upaya dan doa, hari esok hanyalah sebuah teka-teki penuh misteri tentang umur, rejeki, jodoh, dan apapun yang selalu dicita-citakan manusia. Dengan peristiwa yang baru kualami, sungguh membuatku merasakan suatu kehampaan.

“Indramayu… kita harus ke sana,” Nur temanku mengucap nama itu dalam nada yang sangat dalam dan bergetar. Suasana sudah kembali sunyi. Hingar bingar para tetangga pun tak terdengar lagi. Pesta sesaat itu telah lewat. Langit kembali terlihat dalam warna aslinya; hitam, putih, kabut, terus bergerak seperti saling berebut.

Pagi itu, tanpa buang waktu kami langsung menuju Indramayu. Kecepatan bus sesekali menyebabkan kendaraan itu oleng ke kiri dan kanan. Kulihat dua sound system jumbo bertengger di pojok kiri atas kemudi. Dan dari sana musik tarling berbunyi keras tiada henti.

Tengah hari, kami sudah tiba. Kami berhenti di pinggir jalan di depan warung-warung kecil yang menjual nasi dan indomie rebus. Perutku sudah berbunyi kemruyuk dan aku mengisi perut di salah satu warung yang menjual nasi, sayur asam, dan ikan belut sebesar lengan. Di daerah Nur di Pandeglang, belut besar itu disebut Lobang.

Cahaya putih matahari seakan membakar kulit wajah dan lenganku. Udara terasa sangat gersang. Debu-debu beterbangan, hinggap di piring nasi yang kami santap di pinggir jalan itu.

“Tegal Bedug ya?” kataku pada tukang ojek yang agaknya telah menunggu di dekat warung itu. Ia pun mengangguk.

Tak berapa lama kami telah meninggalkan jalanan aspal dan memasuki jalan tanah. Di kiri-kanan membentang hamparan sawah yang usai ditanami bibit baru. Daun-daunnya masih lemah. Sebagian menguning dan goyah diterjang angin. Berbelok ke kanan, roda kendaraan ini sesekali menabrak tumpukan lumpur setengah mengering dan hampir membuat terpeleset. Tukang ojek berkonsentrasi mengikuti jejak-jejak roda yang membelah lumpur jalanan. Kami seperti sedang menyusuri jejak ular atau tikus.

Sebuah kampung mulai terlihat. Rumah-rumah dengan kombinasi tembok dan berpagar bambu beratap daun kelapa. Ada juga rumah permanen yang jumlahnya tak seberapa dibanding rumah bambu. Jaraknya berjejer-jejer seperti membentuk blok. Perkampungan itu terasa lembab.

Ojek yang kutumpangi berhenti di dekat sumur timba. Lima laki-laki yang sedang duduk langsung berdiri menyambut.

Kami memasuki sebuah rumah semi permanen. Susunan bata setinggi satu meter itu menyembul di sana-sini tanpa polesan semen. Kami duduk membentuk lingkaran, karena ruangan sudah penuh maka dua laki-laki berada di pintu.

“Kenapa pulang nggak bilang pak?” tanyaku pada Rasmad setelah meneguk air mineral yang diberikan padaku. Haji Buloh, pemilik penggilingan padi di kampung itu yang menyuruh Rasmad membeli air itu.

“Saya mau bilang tapi nggak boleh sama Goeng,” sahut Rasmad. Goeng adalah panggilan untuk orang yang selama ini kami kenal bernama Dadi.

“Kenapa Pak Mamad tak telpon kami?”

“Nggak tahu nomornya.”

“Kok nggak tahu? Sebelumnya sudah kami kasih kan?”

Saat itu, dengan gerakan halus kakak perempuannya menekan telapak tangan Rasmad dan menimpali pembicaraan. Katanya Rasmad tidak tahu kalau Handphone bisa dihubungi lewat warnet.

“Bapak kan tahu, kami sudah banyak keluar modal buat menyewa kios, membeli etalase, membeli gerobak dan semua peralatan kan? Dan kami selalu mengajak bapak untuk diskusi bersama, termasuk rencana mencari lokasi baru, sehingga kami memesan pembuatan gerobak lagi. Terkahir, kami terima tawaran kalian untuk menggadai motor yang kata kalian untuk memudahkan transportasi. Kenapa tega membiarkan semuanya terjadi pak?”

“Saya diajak Goeng, saya dipaksa.”

Entah kenapa, aku merasakan ketidakpuasan dengan jawaban Rasmad. Rasanya tak masuk akal. Ingin hatiku mendebat dia dengan mengatakan bahwa dia memiliki kesempatan untuk memberitahu rencana Dadi karena sebelum kejadian tersebut, aku mengajaknya ke pasar untuk belanja. Dan saat kutanya perkembangan keseharian di kios dia bilang baik-baik saja.

Rasmad diam. Dia minta maaf karena telah mengecewakan. Lalu aku bertanya tentang barang-barang yang dibawa kabur Dadi di antaranya dua HP, uang dagangan, voucher fisik dan electrik, dan uang muka gerobak Rp 500.000 yang diambil secara diam-diam. Aku juga bertanya soal motor gadaian yang juga raib bersama kaburnya mereka. Ketika aku menyebut motor, Haji Buloh bilang bahwa Goeng mencuri motor Vario punya orang di kampung itu juga. Ia sudah buron sejak enam bulan lalu.

Lho, kata Dadi Vario itu punya keponakan Pak Mamad bukan?” kataku dan aku ingat dua minggu lalu mereka berdua membujukku menggadai motor Vario tersebut. Mamad adalah panggilanku pada Rasmad.

“Bukan mbak. Saya dipaksa ngakuin aja. Ya saya, ya bilang iya aja.”

“Bapak ikut ambil uang gerobak juga? Karena tukang gerobak yang bilang kalau pembuatan dibatalakan sama dua orang. Apakah itu termasuk bapak?”

“Ya iya mbak. Saya ikut.”

Berarti selama ini Pak Rasmad berbohong sama aku dan Nur. Ada sesuatu yang menyesaki tenggorokanku. Aku tercekat. Wajah Nur semakin kelam. Tangannya mengepal sambil sesekali mengatupkan bibirnya rapat.

***
Ujung bawah jembatan layang Kebayoran Lama kembali terbayang membentang. Dari bawah jembatan itu, aku dan Nur sering menempuhnya berjalan kaki di tengah malam untuk mencapai kontrakan. Hal ini karena angkot C01 yang kami tumpangi sering mencari penumpang yang bersedia membayar borongan. Kalau sepakat harga, ke manapun dilayani: Manggarai, Senin, Pulogadung dan lainnya. Dan sopir ingkar janji semula untuk menurunkan penumpang di pangkalan semestinya. Sedangkan dari tempat itu tak ada angkot, kecuali bajaj. Kami berjalan karena menghemat pengeluaran.

Usaha yang kami bangun itu bagian dari upayaku dan Nur untuk memiliki basic ekonomi, seperti yang disarankan oleh orang yang kuanggap sebagai teman, guru dan atasanku bernama Andreas Harsono. Tahun 1993 silam ketika kami berdiskusi tentang dunia pergerakan ia sering menekankan itu. Apalagi kegiatanku di serikat buruh adalah murni kegiatan sosial. Kala itu Mas Andreas mengatakan, kalau secara ekonomi kita kuat, kita akan mandiri dan independen, tak terkooptasi dalam gerakan kita, baik itu gerakan buruh, wartawan atau apapun.

Independensi dan integritas, kemudian menjadi prinsip dasar (ruh) dalam gerakanku bersama Serikat Buruh Bangkit yang kami dirikan sejak lima tahun lalu. Organisasi ini merupakan wahana bagi buruh untuk berbagi, berembug, belajar dan menumbuhkan kesadaran berjuang bersama-sama. Di Bangkit kami bekerja suka rela. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing, kami juga mencari cara masing-masing. Aku bekerja di Pantau sebagai tenaga administrasi. Nur mengelola sebuah Lembaga Konsorsium Pendidikan yang membuka kuliah untuk karyawan. Cutiku dua kali sebulan tak pernah cukup untuk membuatku bisa melakukan pendampingan kasus-kasus. Akhirnya Nur yang sering menggantikanku. Hal ini sering membuatnya harus meninggalkan pekerjaannya dan kini lembaga dia setengah mandeg.

Mengingat kata-kata Andreas, aku juga terkenang para pengusaha yang sering menawarkan uang ketika kami menangani kasus pelanggaran hak-hak karyawannya. Dan selama ini, banyak pula orang yang mengatakan dirinya pengacara dan pengurus serikat ingin mengambilalih kasus-kasus kami. Kadang mereka berceloteh seperti, “Wah, empuk tuh!” atau “Wah, pasti tebal tuh dapetnya!” Dan diam-diam mereka melakukan pendekatan di pihak buruh yang sedang berkasus. Mereka mendekati ketika buruh-buruh tersebut sedang jauh dari kami, bahkan ada juga yang didatangi ke kontrakannya dan dijanjikan hal yang manis-manis. Bagiku, setiap kali menolak tawaran suap, disitulah aku merasa berhasil mempertahankan kekayaanku. Kekayaan yang aku percaya akan abadi. Kejujuran.

***
Hujan mengguyur perkampungan itu ketika hari mulai sore. Roda gundul Atrea Star keluaran 1984 yang dikendari Mamad melindas kerikil-kerikil di jalanan tanah yang membelah kebun dan perkampungan. Sesekali hamper terpeleset oleh bebatuan dan lumpur. Dalam perjalanan menuju rumah Dadi itu, kukirim beberapa sms ke HP-nya. Dalam hatiku membayangkan adegan di film-film, dengan membuat orang tuanya bicara kurasa akan membuat anaknya luluh. Aku juga menawarkan padanya, akan diselesaikan baik-baik atau kami lapor polisi. Dari HP yang kadang aktif dan kadang tidak, Dadi mengirim pesan yang isinya mau bertanggung jawab mengembalikan barang-barang yang dibawanya termasuk motor yang gadai itu. Tapi syaratnya,dia minta bertemu langsung dan menghadirkan Rasmad. Karena Rasmad juga yang merencanakan misi ini bersamanya. Bahkan menurut smsnya, Rasmad ingin membawa semua barang-barang yang ada di kios tapi dicegah Dadi. Rasmad juga telah meminjam Bank Keliling seminggu setelah ia mulai bekerja pada kami.

Tak ada yang bisa dipercaya. Dan aku memilih menyimpan berita itu sendiri.

Rasmad menghentikan motornya di depan sebuah rumah model inpres ukuran kecil. Rumah itu berdinding bata setinggi satu meter dan pagar bambu yang telah lapuk kehitaman. Tiga kursi kumal yang bagian tengahnya amblong berhimpitan di samping kiri pintu rumahnya. Di samping kanan, sebuah bangku kayu tua yang telah boncal-bancel menyangga tubuh pemuda tanggung yang tergeletak tak berdaya. Ia terus bergerak-gerak –mengejang, dan terus menerus berteriak. Mulutnya selalu mangap.

Bau pesing bercampur kotoran menyengat paling dominan di antara aroma yang lain. Lantai tanah di rumah itu serba lembab dan apek.

Seorang perempuan yang telah melewati usia paruh baya, kedua matanya buta. Ia mengerjap-ngerjapkan bola mata yang amblas ke dalam. Tangannya meraba-raba udara, nampak kebingunan sambil memasang pendengaran. Raut mukanya mengerut dan pucat.

Aku diam sambil menimbang nimbang. Tercekat. Apakah aku harus mengungkapkan perilaku anaknya di depan perempuan ini?

Rasmad masuk. Laki-laki tua yang mulai bongkok itu juga melangkah masuk. Dua perempuan muda yang berada di bangku depan rumah langsung menghentikan percakapan. Tak lama salah satu dari perempuan itu masuk ke sepetak rumah di depannya. Kakinya menyerempet plastik lusuh penambal pintu bambu. Ia adalah menantu di rumah itu. Suaminya bekerja sebagai pengumpul dan pengangkut garam di pinggir laut.

Kami duduk mengitari meja bulat dari kayu. Setengah ragu aku duduk di kursi bolong yang lembab dan kotor. Laki laki itu nampak kebingungan. Tangannya memegang parang. Ia menatapku, Nur dan Rasmad. Nafasnya terengah-engah. Dadanya naik turun. Tubuh telanjangnya bergetar.

Rasmad membuka pembicaraan tentang maksud kedatanganku ke rumah itu. Meminta dia bicara kepada anaknya agar bertanggung jawab atas perbuatannya. Dan orang tua itu serba setuju. Dia siap mengikuti, bahkan ketika kami tawarkan untuk dibawa ke Jakarta ke tempat biasa anaknya mangkal, dia juga msiap. Tujuannya supaya temannya memberitahukan dan Dadi menemui kami.

Laki-laki serba mengangguk, dan mendengarkan penjelasanku dengan seksama. Ia juga tampak kawatir dengan kekawatiranku tentang kios yang pintunya juga tak bisa dibuka akibat kuncinya dibawa anaknya. Aku berhenti bicara. Dan ia menerawang. Matanya melirik parang dalam genggaman tangan kirinya yang mulai mengendor.

“Dia sudah enam bulan tak pulang. Saya sudah menyiapkan ini buat dia,” katanya sambil melirik ke parangnya.

“Bisa habis dia. Bisa habis. Waktu itu kalau nggak lari, dia sudah kena,” katanya dalam nada tertahan. Nafasnya kembali memburu dan membuatnya terbatuk-batuk.

Aku memandang ke ruangan itu. Korden-korden kumal menutup tiga kamar tak berpintu yang menghadap ke ruang tamu. Di ujung ruangan itu, sebuah kasur kotor tergulung sekenanya. Awut-awutan bersama kain kain usang. Istrinya masuk, meraba-raba bangku dan ikut mendengarkan percapakan kami.

“Saya ini sebenarnya sakit. Sudah sebulan. Tapi saya nggak berobat…” kata laki-laki itu dengan mata berkaca-kaca.

“Mau suntik tapi…” kalimatnya terputus. Ia seperti mengerahkan tenaga untuk menelan air ludahnya. “ Harus ada lima puluh ribu kalau mau suntik. Orang-orang yang punya hutang ke saya, setiap saya tagih hanya ngasih janji.”

“ Anak itu, tega dia. Nggak tahu diri!” Suaranya semakin terbata-bata dan lirih. Ia mengucek-ucek matanya yang memerah. Tangannya mengusap-suap lengannya sendiri. Ia salah tingkah.

Aku bertanya pekerjaan orang tua itu. Katanya ia sering menjadi perantara bagi para membeli barang-barang keperluan para dukun di desa itu. Ia kadang pergi ke Banten dan ke daerah lain untuk belanja benda-benda yang diperlukan mereka. Ada batu akik, besi kuningan, keris, dan lainnya. Kadang pelanggannya mengambil barang dulu dan membayarnya kalau sudah barangnya laku. Istrinya, hanya mengandalkan ongkos kalau ada pasien yang pijat ke tempatnya.

“Kalau dia pulang, sudah saya siapin itu,” ucapnya dan ia tersedak. Ia kembali melirik parang dan menunduk.

***
Semakin lama berada di rumah itu, aku serasa terkubur dalam kehidupan. Aku meraba-raba uang kertas yang terselip di kantong celana jeans-ku. Aku berhitung dalam hati, jumlah uang untuk kembali ke Jakarta. Aku segera pamit. Sambil menyalami perempuan itu, kusisipkan lembaran 20 ribu ke tangannya. Namun saat kaki melangkah di depan pintu, hujan kembali mengguyur. Dan kami terpaksa duduk di depan emperan rumah itu. Di depan rumah, aku memandang aneka warna tanaman. Pohon singkong, bayam, daun katuk, kacang panjang, terong, tomat dan lainnya berjejal di atas tanah yang luasnya seukuran kamar tidurku di Jakarta (2X3 meter). Dan itu satu-satunya pemandangan yang nampak segar untuk mata.

Tunas bayam yang masih lemah nyaris patah dihempas hujan. Sepertinya pohon sayuran itu tak pernah punya kesempatan bertumbuh mengembangkan daun-daunnya lebih banyak lagi. Tanaman sayuran itu pritil karena barangkali dipetik tiap hari.

Perjalanan kembali ke Jakarta kami lewatkan dalam diam. Entah apa yang Nur pikirkan. Aku sendiri putek membayangkan hutang-hutang.

Malam itu temanku datang. Dia ingin tahu perkembangan dan keadaanku. Kami ceritakan keadaan rumah itu. Temanku mengangguk-angguk sambil menatapku. Setelah merenung sebentar dia menyarankan padaku untuk membatalkan niatku melapor ke polisi.

“Wis, tak apa-apa. Jangan pikirkan hutangmu padaku. Nanti kamu bisa usaha lagi,” kata temanku itu.

Hari itu hitungan ketujuh di tahun 2010. Warung ditutup. Barang-barang di kois kami angkut. Dan kami harus melunasi pinjaman beberapa teman lagi. Ada kesedihan, kekecewaan, juga kekesalan. Semua tumpuk undung jadi satu.

Kali ini, aku menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh orang miskin. Bayangan Dadi, laki-laki jangkung itu sangat jelas di mataku. Laki-laki yang selama dua bulan kulihat hanya memakai celana Jeans biru pudar satu-satunya dan dan dua kali berganti kaos yang itu-itu saja. Entah kapan ia mencuci pakaiannya itu. Menurut Rasmad, setiap malam hari dia memakai celana kolor dan kaos singlet saja. Dan ia telah berbuat jahat padaku.

Lalu aku memikirkan tentang kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat. Berita korupsi di kantor Pajak, Jamsostek, gedung DPR, Bank Century, dan isu-isu suap di gedung-gedung pengadilan, dan masih banyak lagi.

Aku kembali merenungi kejahatan yang menimpaku. Dan aku juga menyaksikan kembali bayangan laki-laki itu. Sedu-sedan yang menyesaki kerongkongannya, pekiknya dalam keluh putus asa, juga parang tajam yang disipakan untuk anaknya. Siapa yang bersalah?

Apakah aku harus tetap menuntunya? Atau berpasrah dengan menyebutnya takdir? Hatiku tak bisa menjawab keduanya. Namun yang pasti, aku telah menyaksikan betapa keputusasaan telah membawa manusia ke ambang batas yang siap menggelincirkan akal sehatnya setiap saat.

Kelahiran dan kematian adalah bagian dari sejarah manusia. Tapi, membunuh, dibunuh, atau bunuh diri, kuyakini bukanlah takdir.

Aku ingat kata temanku. Dia bilang, kemiskinan bisa mendekatkan manusia pada kekufuran.


Jakarta 31 Desember 2009


Tidak ada komentar: