Minggu 6 Mei 2012 di Tambun Bekasi. Saya ketakutan. Sekelompok orang melakukan blockade di jalan yang akan dilalui jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) menuju Gereja Filadelfia, Desa Jejayen, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi.
Saya berjalan setengah mengendap dan kadang agak berlari. Di antara puluhan anak remaja dan anak-anak di bawah umur yang berbaur dengan para orang tua laki-laki dan perempuan. Di sana saya menyaksikan anak-anak itu menjadi hakim untuk sebuah nilai yang bahkan belum tentu dipahami orang yang dewasa dan tua. Ia bernama agama, sebuah nilai yang bersifat universal, namun sering ditaklukkan oleh penafsiran individual.
Ingin rasanya segera berlari untuk secepatnya meninggalkan lokasi. Tapi saya tahu itu bodoh dan justru akan memancing perhatian dan bisa mendatangkan malapetaka.
Dan teman-teman saya memang nyaris jadi obyek pengroyokan. Mereka adalah Rhesya, Aldo, Site, Seli, Stela. Beberapa orang dari kelompok massa tersebut mulai melakukan sweeping meminta KTP pada Rheysa dan Site. Sementara satu dua orang menanyai, yang lainnya langsung mengerubuti. Dari mereka segera berteriak-teriak ingin memperkosa, menelanjangi, dan mulai ada yang melempar aqua gelas ke arah Rhesya. Seli diusir, Stela segera diminta pergi oleh salah satu warga yang tidak terlibat dalam kerumunan itu. sedangkan Aldo mulai dituduh mata-mata.
“Ini Batak..! Gue Habisi Lu..” kata salah seorang temanku menirukan masih sambil gemetar ketika kami akhirnya bertemu di sebuh kedai mie ayam, jauh dari lokasi.
“Kamu batak atau muslim?” kata teman saya lain menceritakan pengalaman. Ternyata, kemudian tidak lagi soal agama. Endang yang langsung berbalik arah setelah menyelamatkan Rhesya ke mobilnya, melihat tidak ada lagi nilai ajaran agama di sana. Tapi bergeser ke soal warga tempat itu atau bukan, rapi atau seperti bangun tidur. Vera, mahasiswi keturunan China juga mulai diteriaki untuk digeledah.
Mereka semua, peserta kursus menulis yang sedang melakukan sesi praktek liputan. Tapi dalam keadaan seperti itu, penjelasan tidak lagi penting dan azas praduga tak bersalah pun tidak berlaku. Akhirnya, kami semua meninggalkan tempat dengan tergesa-tegesa – kabur lebih tepatnya. Kengerian terus membayangi hingga hari-hari berikutnya.
Bayangan itu belum hilang ketika di hari Kamis, 10 Mei 2012, saya mendapat laporan untuk segera terjun ke lokasi PT. Universal Footwear Utama Indonesia yang sering disingkat PT. UFU. Di sana, para pekerja anggota Serikat Buruh Bangkit (SBB) yang sedang melakukan mogok kerja menuntut pelanggaran dihadang oleh pasukan ormas BPPKB dan Pemuda Panca Marga. Mereka bersenjata bambu runcing dan alat strum.
Pasukan itu nyaris menabrak mobil bak berisi sound system yang digunakan pihak pekerja, dan mulai menendangi. Mereka adalah kelompok “karyawan” PT. UFU yang menamakan diri tergabung di serikat SPTSK SPSI. Bersama ratusan anggota kedua ormas, jajaran kepala regu dan para mandor, mereka membubarkan barisan pekerja yang sedang melakukan mogok. Pekerja yang mayoritas perempuan kalang-kabut ketakutan. Dan mereka meninggalkan lokasi hingga sekitar 1 kilo meter dari perusahaan.
Siang itu, menunggu perundingan tak seimbang yang berlangsung di Rumah Makan Remaja Kuring, saya bersama anggota kembali mendatangi perusahaan. Tujuannya untuk melakukan sosialisasi hak-hak yang sedang diperjuangkan. Namun, belum sampai ke lokasi, kami disambut oleh “karyawan-karyawan” tersebut. Awalnya puluhan, namun makin lama jumlahnya semakin bertambah dan terus bertambah. Mereka bersama para kelapa regu dan mandor, juga ormas yang kali ini berada di belakang. Sebagian dari “karyawan-karyawan” ini menutup mukanya seperti ninja.
Mereka kasar dan ngotot, mulai mengerubuti saya dan membubarkan kelompok pekerja yang menuntut hak-haknya. Kami menjelaskan bahwa kita sama-sama pekerja, sama-sama menjadi buruh yang hak-haknya dilanggar. Dan saya katakana bahwa mereka harus menghargai pekerja yang menuntut hak-hak itu, karena urusan kami adalah dengan pengusaha, bukan dengan sesama pekerja. Tapi mereka tetap negotot, bahkan mulai teriak-teriak dan merangsek sambil mengatakan bahwa sebelum berurusan dengan pengusaha harus berhadapan dengan mereka.
Kelompok “karyawan” yang menamakan Serikat SPTSK SPSI itu diketuai Walijo. Sudah 4 tahun lalu mereka selalu menghalangi perjuangan SBB menuntut hak-hak pekerja. Pelaporan yang kami adukan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang pun mentah, karena Walijo dan tim menyerahkan tanda tangan anggota mayoritas di perusahaan itu, yang berisi pelepasan hak – pekerja bersedia dibayar murah dan tidak akan menuntut.
Hal itu yang kemudian digunakan oleh Disnaker Kota Tangerang sebagai bentuk pelepasan hak sehingga siapapun tidak bisa mengusiknya. Bahkan hukum.
Sungguhkan demikian? Dan kenapa hampir 90 persen dari sekitar 5000 pekerja PT. UFU melakukan pelepasan hak? Pertanyaan ini sejak lama hinggap dalam pikiran saya. Tapi sebagai serikat buruh yang taat pada segala ketentuan perundang-undangan di negeri ini, kami tidak memaksakan kehendak pada pekerja-pekerja itu untuk tidak menuntut hak mereka sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Tiga hari sebelumnya, Walijo dan tim, bersama HRD Personalia, dan ormas Pemuda Panca Marga juga menekan pengurus Serikat Buruh Bangkit di dalam sebuah meeting dengan manajemen yang dihadiri Manager Personalia bernama Juhendrik. Intinya manajemen tidak mau membayar hak-hak pekerja dengan alasan perusahaan merugi, tapi juga melarang untuk tidak mogok. Tapi karena menemui jalan buntu, Hasirin sebagai Ketua Pengurus SBB di perusahaan itu mengatakan akan mogok.
Mendengar pernyataan mogok, mereka langsung berang. “Jika Serikat Buruh Bangkit tetap akan melakukan aksi, saya akan menutup PT UFU,” kata Juhendrik, disambung oleh Syarif Abdullah Komandan Pemuda Panca Marga (PPM), “Jika SBB tetap akan melakukan aksi, saya akan mengerahkan anggota PPM sebanyak banyaknya, dan apabila PT. UFU sampai tutup gara-gara aksi, PPM akan mencari dan menuntut balik ke SBB.”
Ketika itu, Walijo langsung memukul meja sambil meneriakkan penolakan aksi mogok. Walijo dan anggotanya juga akan menuntut SBB.
Penyakit apakah yang menjangkiti bangsa ini? Ketika perbedaan keyakinan tidak lagi mendapat ruang, dan penghakiman diserahkan pada massa yang tidak tahu apa-apa. Begitu juga dengan gerakan buruh. Ribuan suara harus patuh di bawah satu komando anti perjuangan dan melangsungkan penindasan.
Menurut informasi dari para pekerja di PT. UFU, anggota SPTSK SPSI di sana menjadi mayoritas, karena melalui manajemen para pekerja yang baru bergabung di perusahaan itu, baik berstatus kontrak maupun training langsung dimasukkan anggota SPTSK SPSI. Sementara, pekerja kontrak yang ketahuan menjadi anggota SBB tidak diperpanjang kontraknya.
Hari itu, untuk kesekian kali demokrasi mati, melalui kekuatan suatu kelompok di masyarakat. Bahkan aparat membiarkan kelompok kekerasan membawa-bawa senjata di muka umum untuk mengancam kelompok lain.
Keberadaan aparat yang tidak netral dan hilang kesan melindungi, saya mulai disergap rasa takut. Akhirnya saya meminta pekerja-pekerja anggota SBB mundur, menjauhi lokasi. Baru selang sekitar lima menit, salah seorang menyalip dengan sepeda motor, menyerukan agar kami berjalan lebih cepat.
“Segera mbak! Cepet mbak! Ajak anggotanya lari, di belakang sana mau nyerang!”
Gema kemerdekaan sudah lama sekali lewat. Harusnya bangsa ini sudah bebas dari penindasan dan ancaman-ancaman. Tapi hari itu, para pekerja PT. UFU belum bebas dari penindasan warga asing asal Korea yang memiliki kaki tangan bangsa Indonesia.
Di sinilah kepentingan bermain, dan melahirkan intoleransi, yang mengalahkan segala aturan, bahkan Negara.
Sambil mengiringi pekerja-pekerja itu ke bawah pohon pinggir jalan, hati ini bertanya, di mana Negara? Di mana hak asasi manusia, yang sangat dijunjung tinggi melalui TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM?
Bagaimana pun, saya dan teman dari Lembaga Pendampingan Hukum dan Keadilan (PPBH-FAS) meragukan. Seragu kepercayaan kami pada aparat Negara yang membiarkan semua ini terjadi di depan mata.
Tangerang, 10 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar