Rabu, 23 Mei 2012

Pohon Mangga Dilema

Dalam kurun waktu seminggu, korbannya mencapai delapan pekerja.

Kisah di balik aksi pekerja PT. Universal Footwear Utama Indonesia (UFU). Pelanggaran hak-hak normatif selama bertahun-tahun, yang pada akhirnya menggerakkan pekerja berunjuk rasa pada Kamis 10 Mei 2012 lalu.

Di balik aksi itu, berbagai tekanan, ancaman dan penawaran gencara dilakukan. Selain melibatkan ormas-ormas bersenjata, PT. UFU menghukum pekerja secara sewenang-wenang.Pohon mangga yang bertengger di halaman area perusahaan dengan lima gedung itu, sebagai saksi penganiayaan psikis yang keji dan sangat tak manusiawi.


Akar persoalan ini, lagi-lagi karena abainya pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum. Perusahaan yang beralamat di Jl. Industri II Blok G. No I Desa Pasir Jaya Kec. Jati Uwung Tangerang itu, dimiliki seorang warga Negara Korea bernama Seok Tae Lee dan Ms. Kwak. Mereka telah melakukan pelanggaran hukum di Negara ini. Mereka memanipulasi iuran Jamsostek pekerja sepanjang tahun 2003 hingga sekarang, tidak memberikan cuti, mengeksploitasi pekerja yang jumlahanya 5000 lebih dengan menambah jam kerja tanpa membayar upahnya, melanggar aturan kontrak selama hampir 8 tahun, dan mengurangi upah pekerja.

Pelanggaran itu dilakukan sejak perusahaan berdiri pada tahun 1999. Melalui Serikat Buruh Bangkit yang dibentuk di sana, pelanggaran dilaporkan ke Disnaker Kota Tangerang. Namun herannya, sampai sekarang tidak ada tindakan terhadap pengsuaha. Petugas-petugas di sana justru lebih sering bersikap bak konsultan pengusaha. Mereka selalu mengatakan tentang perusahaan yang pailit, atau menggunakan alasan karena jumlah pekerja yang menuntut tidak banyak. Anggota Serikat Buruh Bangkit (SBB) di PT. UFU memang bukan mayoritas karena pengusaha melakukan intimidasi terhadap para pengurus maupun anggotanya.

Dan intimidasi itu kian menjadi-jadi, puncaknya pada Kamis 10 Mei 2012 ketika pekerja tersebut menggelar aksi. Mereka dihadang oleh ormas-ormas bersenjata yang bebas mengancam dan membubarkan paksa, disaksikan di hadapan aparat Kepolisan Kapolsek Jatiuwung Tangerang.
***
Bagi pekerja, berserikat merupakan hak paling dasar sebelum hak-hak lainnya. Karena hak-hak lainnya itu, baru bisa diraih pekerja melalui perjuangan mereka, bukan karena jaminan hukum semata. Maka, memberangus serikat pekerja, sama dengan menggulung seluruh hak-hak pekerja.

Dan ini yang tengah dialami oleh anggota dan pengurus SBB di sana. Mereka mulai dipanggil satu persatu oleh Kepala Bagian maupun Kepala Regu. Layaknya pesakitan mereka diserahkan ke personalia, lalu mulai menjalani introgasi tentang keikutsertaannya aksi, keanggotaannya, sumbangannya, perannya, serta kegiatan-kegitannya.

Lalu mereka dikembalikan ke ruang produksi. Dan mulai dipindah-pindah ke bagain yang sama sekali tidak memertimbangkan norma-norma kerja sesuai skill dan efektifitas. Juga azas keselamatan.

Salah satunya adalah Mas’amah (Amah) pekerja yang semula di bagian Outsole dipindah ke UV, penyelupan pailon ke larutan kimia yang baunya menyengat tajam ke paru-paru. Ia dipindah karena tidak ikut tanda tangan penolakan aksi yang diedarkan oleh perusahaan.

Sehari setelah aksi, Amah yang sedang bekerja diminta menghadap Kepala Regu bernama Parmin yang langsung menanyai, ”Kamu bernama masamah?”

”Iya pak,” jawab Amah,

”Kamu satu-satunya yag tidak tanda tangan di departeman ini. Kamu sudah tidak lagi dipekerjakan di PT UFU.”

”Ngak bisa begitu Pak, kalau memecat karyawan bukan begini.”

Jamsiah, pekerja lainnya juga mengalami perlakuan tak jauh beda. Ketika itu ia sedang melakukan penggalangan dana begitu jam istirahat tiba. Mendadak lampu di ruang itu menyala. Kepala Regu serta Mandor sudah berdiri di sana dan mengumpulkan anak buahnya lne 1 sampai line 5.

“Ada provokator yang sedang menggalang tanda tangan, dan tidak jelas untuk apa,” kata Sueji mengawali meetingnya.

Jamsiah menghampiri Sueji dan menjawab, ”Saya bukan provokator, karena saya sudah memberitahu ke perusahaan sejak tanggal 2 Mei mengenai rencana aksi yang akan diadakan pada 10 sampai 12 Mei 2012, melalui surat resmi.” Setelah dijelaskan oleh Jamsiah mandor tersebut meminta maaf.

Tapi, apalah arti maaf dan prosedur di perusahaan itu? Jika hukum pun dilanggar?

Sejak itu Amah tetap dipaksa pindah ke bagian UV. Amah menolak karena ia masih menyusui bayinya. Ia takut bahan kimia yang ia hirup akan berpengaruh pada ASI-nya. Aliyurman, salah satu pekerja juga menceritakan setiap ia melewati ruangan itu, paru-parunya sesak, perih, dan ada rasa pahit di tenggorokannya. Amah sudah menjelaskan keberatannya, tapi Parmin maupun Kepala Bagian yang bernama Wawan Suhanda tak mau tahu.

Bersama Jamsiah, Murwani dan Sulisna, mereka diserahkan ke personalia bernama Yoyok Setio Widodo. Lalu Yoyok menyodorkan BAP untuk ditandatangani mereka. Masing-masing dijerat melanggar Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atas kegiatan mereka terkait aksi. Masing-masing dari mereka yang sebagain pengurus memang melakukan penggalangan dana dan tanda tangan dukungan. Padahal, PKB yang dimaksud sebut-sebut oleh Yoyok tidak pernah mereka ketahui. Murwani yang sudah bekerja sejak 1999 silam hingga sekarang ia tak pernah melihat bentuk PKB dimaksud. Bahkan dalam sebuah sidang kasus salah satu pekerja di PT. UFU, PKB tesebut sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Agung.

Dalam waktu tiga hari mereka bolak-balik dipanggil personalia untuk mau tanda tangan BAP. Karena tidak mereka menolak, akhirnya personalia mengatakan,”Hari ini kamu masih bisa makan di sini, tapi kalau tidak mau dimutasi mulai besok kamu sudah tidak dipekerjakan lagi. Dan silahkan sekarang tunggu di posko, di bawah pohon mangga.” kata Yoyok pada Amah dan sejak itu Amah berada di pohon mangga, lintasan utama bagai 5.200 pekerja perusahaan itu.

Berikutnya, menyusul satu persatu. Mereka Asnita Komalasari, Romsah, Nurdin, Dwi Wahyuni, M. Soleh, dan Susiowati.

Diana, bagian Assembling plan I, pekerja yang ikut aksi dipanggil oleh kepala Regu bernama Sukari ke ruangannya. Pada saat itu, Suhaedi (Kepala line 6) menanyakan kenapa ia tidak masuk 5 hari kerja tanpa keterangan. Diana menjawab bahwa ia melakukan aksi.

Tapi pada pukul 14.15 Diana dipanggil menghadap Yoyok. Lalu Yoyok mengatakan meminjam peneng Diana, mengambilnya, sambil berkata, ”Ndo, tau akibat dari demo? Ndo siap?” Kenapa ikut aksi begini?”
”Sudah tau akibatnya?”

Diana diam.

Di bagian lain, pada hari itu juga, manajemen juga memutus kontrak karyawan benama Sri karena turut memberi uang solidaritas. Padahal masa kontrak Sri harusnya baru berakhir 27 Juli 2012. Sri disuruh membuat surat pernyataan pulang kampung dan Juhendrik memberi uang senilai Rp. 1.500.000. Juhendrik bilang bahwa uang tersebut atas dasar kemanusiaan. Sedangkan mengenai hak-hak Sri, Juhendrik menyuruh Sri untuk menuntut pertanggungjawaban Joko (Ketua Serikat Buruh Bangkit) di PT. UFU karena menurut Juhendrik Sri telah jadi korban akibat diperalat Joko.

Hari ketiga, personalia menawarkan masing-masing sejumlah uang. Minimalnya, Rp. 30.000.000, dan kalau masih kurang mereka diminta menyebutkan jumlah.

Namun ketiganya menolak. ”Maaf, saya tidak tergiur,” jawab Sulisna.

”Saya juga tidak, berapapa pun yang bapak tawarkan,” jawab Jamsiah.

”Sudahlah Pak, jangan tawarkan uang. Saya tetap komitmen menuntut hak bersama teman-teman,” kata Murwani.

Sejak itu Yoyok melarang ketiganya masuk kerja lagi. Mulai hari itu juga. Keputusan itu diberikan secara lisan.

Dan sejak itu, nasib mereka tergantung di bawah pohon mangga—sampai barangkali mengundurkan diri sendiri karena malu, sedih, dan nelangsa. Rasa ittu yang dirasakan mereka rata-rata.

Pemerintah, dalam hal ini Direktorat jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan yang telah menangani kasusnya, kegigihannya harus melebihi pekerja-pekerja itu.

Mereka adalah orang-orang yang layak diapresiasi dalam hal kejujuran, serta kesetiaannya memegang teguh kebenaran di tengah hempasan sulitnya ekonomi, dan tekanan-tekanan.

Keadilan harus segera diwujudkan, karena melalui mereka, berbagai pelanggaran di PT. UFU itu terungkap jelas. Jangan biarkan pengusaha PT. UFU terus bertindak arogan. Ini sudah terlalu lama.

Tangerang, 23 Mei 2012

Tidak ada komentar: