Cerpen
Oleh Siti Nurrofiqoh
Rongga ban kendaraan itu mencengkeram tanah kering di bumi Timur Indonesia. Dari dalam rumah yang dihuni para biara, seorang perempuan berkelebat keluar dan masuk ke mobil.
”Selamat datang,” ucap lelaki yang duduk di belakang kemudi. Dan perempuan itu mengulurkan tangan.
”Dia Romo yang pernah aku ceritakan,” kata Mei, seorang perempuan yang menjemput bersama dua laki-laki itu.
”Kamu percaya sama saya?” tanya lelaki yang disebut Romo. Perempuan tersebut mengangguk. Selain Mei, ia tak mengenal dua laki-laki yang berada di dalam mobil.
Mula-mula ia melirik ke lelaki yang duduk di belakang kemudi. Kemudian, ia sedikit menggeser tubuhnya dan menatap orang yang dipanggil Romo, lelaki berjenggot, agak kurus dan berpakaian serba hitam, berambut gondrong dengan topi cowboy menutup separuh lebih jidatnya. Pandangannya kembali beralih ke orang yang di belakang kemudi yang sejak ia masuk ke mobil sudah terlihat tegang. Ia berbadan tegap atau lebih tepatnya tambun dan dari mulutnya sama sekali tak ada suara. Hanya matanya yang berkilat-kilat melirik ke arah Romo sebelum kakinya menginjak pedal gas. Mei memberitahu, lelaki itu menjabat Sekretaris Jenderal pada sebuah Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta.
Mobil bergerak dalam keheningan malam yang pekat. Rimbun pepohonan menghalangi jatuhnya sinar rembulan ke bumi. Seekor tikus yang tersorot lampu berlari kebingungan sebelum masuk ke semak-semak. Sesekali sungai terlihat sepenggal-sepenggal seperti badan ular menyulam bebukitan. Dalam jarak yang tidak dibilang dekat, terlihat rumah-rumah adat berbentuk bulat dan beratap ilalang yang dari luar nampak gelap. Perempuan itu membayangkan penghuni-penghuni di dalamnya. Di bawah nyala pelita yang temaram, mereka tidur di atas rumput kering yang barangkali sudah penuh kutu-kutu babi.
Kemiskinan penduduk wilayah itu, bukan semata infrastruktur, seperti pernyataan presiden yang ia baca di media. Rencana dibukanya jalan trans Wawena-Jayapura, tidak semata-mata solusi mengentaskan kemiskinan. Di mata perempuan itu, ada banyak hal yang menyebabkan kemiskinan dan keterbelakangan di wilayahnya. Salah satunya adalah diskriminasi oleh pemerintah, korupsi dan keculasan penguasa.
Dalam bayangannya kembali bermunculan pecahan-pecahan kemelut antara aparat dan warga. Sebuah kemerdekaan, mati direnggut maut meski masih sebatas wacana. Gaung suara, lenyap diujung peluru, dan pisau sangkur aparat negara. Lalu, bak tayangan Indonesia dalam 60 detik di program televise yang pernah ia lihat, ia menyaksikan kaki-kaki aparat yang menendang, menjotos, menjambak dan menyeret. Kelompok pengunjuk rasa berjumlah 300 orang termasuk dirinya berhamburan dalam kepanikan. Dan ketika itu, nasibnya mirip seperti rusa yang tersesat di hutan rimba. Tidak ada harga manusia, apalagi HAM, yang tak pernah berhenti didengungkan oleh dunia.
Ia terus berlari menghindari peluru-peluru yang melesat dari kendaraan-kendaraan di pelataran pengadilan. Korban jatuh di pihaknya lebih dari 20 orang. Tayangan-tayangan itu kini semakin dekat. Ada derap sepatu lars aparat, serta kaki-kaki telanjang yang berlarian mencari aman. Tapi tetap saja sebagian bernasib malang. Seorang perempuan kurus berteriak histeris di ruang sidang dalam kurungan aparat. Dan hakim di ruang pengadilan yang katanya ’terhormat’ naik ke atas kursi, tubuhnya melenting dan anjlok di atas tubuh perempuan itu. Persis seperti adegan dalam film kungfu. Di luar pagar suasana lebih hingar-bingar lagi. Ia mendengar jerit yang menyayat dari seorang perempuan yang berdiri terhuyung memegangi kepala yang bagian atasnya berlobang ditancap pisau sangkur. Di ujung pagar lelaki dengan kepala bocor berteriak minta tolong, dan tak jauh dari situ, lelaki lain berlari-lari dengan muka sulit dikenali berlumur darah. Alis laki-laki itu terkelupas dan bagian tengahnya memutih. Masih di area itu, aparat sedang menyeret seorang lelaki dengan pundak jebol oleh tembusan peluru yang masih bersarang di dalamnya.
Menjelang tengah hari, sebuah truk brimob berisi tubuh-tubuh berkulit hitam yang sulit dikenali malaju menuju kantor polisi. Cairan merah segar telah mengetal di tubuh mereka.
***
Tubuh perempuan itu terguncang-guncang ketika roda kendaraan itu sedang menaklukkan medan berliku di kaki Gunung Yahukimo. Di antara semak dan lembah, ditemui juga ladang-ladang dan sawah yang membentang sunyi. Di setiap tepinya menancap kayu-kayu kasuari berjejer rapat dalam jepitan tali sejenis rotan atau bambu kecil. Penduduk daerah itu menyebutnya geler, pagar yang biasa digunakan oleh para penduduk untuk melindungi tanaman mereka dari ternak babi dan binatang lainnya. Rumput ilalang atau akar-akaran diletakkan di pucuk-pucuknya sebagai pelindung cuaca agar tak lekas lapuk.
Sebuah plang bertuliskan Wamena. Mereka telah memasuki kota yang berada di dataran tinggi wilayah itu. Keempat orang tersebut tak ada yang bersuara. Hanya sesekali mata mereka saling memandang setiap kali sebuah poster memperlihatkan wajah yang nampak jelas tersorot lampu mobil. Terlebih bagi perempuan itu, ketegangan seakan kian merasuk melalui setiap celah kendaraan. Ia sesekali melirik ke pintu mobil, seakan ia akan mudah ditarik dari luar. Atau ban yang tiba-tiba kempes karena suatu hal. Semua serba mungkin untuk terjadi. Ketakutan itu bak horor yang terus meneror dengan keberadaan yang sulit dideteksi. Dan kini horor itu hadir begitu dekat, merasuk hingga ke setiap pori-pori kulitnya yang keras dan gelap. Di jalan yang menanjak mesin kendaraan itu menderu. Dan derunya seakan menjadi sumber pengirim sinyal ke berbagai penjuru untuk memberi tanda keberadaan mereka. Keringat bercucuran di dinginnya malam.
Baliem Valley Resort. Pengemudi menginjak rem dan mematikan mesin. Mei segera menggamit lengan perempuan itu menuju sebuah kamar. Keempat orang itu segera merapat untuk berunding. Semua mendengar penjelasan Romo tentang sebuah skenario. Dan si lelaki tambun kerap memperhatikan perempuan di depannya sambil menggigit-gigit bibirnya. Lutunya terus bergoyang seperti orang terserang demam.
”Kamu percaya sama saya?” ucap Romo sekali lagi.
”Ya saya percaya,” jawab perempuan itu. Meski ia baru bertemu saat itu dan belum tahu hal ihwal tentang orang-orang yang kini bersamanya.
”Kenapa kamu percaya?”
”Saya tak bisa menjelaskan alasannya kenapa saya percaya.”
”Apa yang kamu rasakan saat ini?”
Perempuan itu tak menjawab. Butiran-butiran bening tumpah menyapu wajahnya yang gelap. Ia laksana sumber air yang tertancap mata bor dari kedalaman bumi. Dan air itu terus meluap dari telaga kerontang yang selama ini lebih sering mengobarkan bara api.
Padahal sebelumnya pantang baginya menangis. Bahkan ketika tubuhnya tersayat dan luka sekalipun ia tak menangis. Setiap aliran darah adalah bara yang terus mengeringkan air matanya. Dan setiap kali ia menyimpan kobaran itu, api dalam sekam mencapai titik puncaknya yang jika meledak bagaikan bom Bali.
Kini telinganya seperti mendengar suara-suara itu lagi. Semakin keras, dalam teriak dan pekik di bawah terik matahari. Suara-suara yang menggugat untuk melawan penguasa anti rakyat.
Meski akhirnya di antara tubuh-tubuh itu terhuyung bersimbah darah dengan luka-luka growak dan menganga. Sekarang, entah seperti apa nasib mereka.
”Terima kasih kamu mempercayai saya. Mulai malam ini namamu Vina,” kata Romo membuyarkan lemunannya.
Mei segera membuka tas berisi peralatan. Meski dari awal ia sudah yakin bahwa semuanya lengkap, tetap saja jantungnya berdebar-debar ketika mengeluarkan benda itu satu persatu. Ia memeriksanya sekali lagi dan menarik nafas lega. Kemudian matanya beralih ke perempuan yang mematung di depannya.
”Cepat maju ke mari. Aku akan mengubahmu!”
Tanpa menunggu jawaban, Mei meminta Vina melepaskan celana dan menggantinya dengan celana model stretch. Kemudian memakaikan kaos lengan panjang yang juga model stretch dan sport hem untuk menjaga kemungkinan lain.
”Sesuai,” gumamnya. Kelegaan nampak di wajah dua perempuan itu. Dan tanpa buang waktu ia membuka kotak sepatu.
”Kamu harus belajar pakai ini.”
Kaki yang biasa bersendal jepit dan sepatu kets itupun merapatkan ujung-ujung jari kakinya yang kaku untuk dibenamkan ke dalam pantofel bertumit setinggi 5 centi. Postur tubuhnya yang sudah tinggi, ditambah dengan ketinggian sepatu membuatnya seperti mengambang di udara dan kikuk.
Mei nampak sedikit cemas namun ia merasa puas dengan segala perisiapan yang hasilnya tak mengecewakan.
”Semoga semua akan berjalan lancar,” katanya seperti pada dirinya sendiri. Kini ia membuka peralatan yang lain. Satu shets kosmetik lengkap. Lalu ia mengamati profil pada wajah Vina. Hidung, mata, bibir, tulang pipi, dagu. Kini Mei memandang lebih seksama; tulang tegas pada ujung hidungnya yang mancung, mata agak bundar yang sulit dibuat sipit, bibir penuh dan sensual, dan rambut. Mei menarik nafas sambil mengangguk-anggukkan kepala.
”Lebih mendekati wajah India,” lagi-lagi Mei bergumam untuk dirinya saja.
Mei merasa sudah menemukan beberapa model untuk melakukan make over pada wajah Vina. Kini tangannya mulai menyapukan berbagai warna bedak pada wajah berkulit hitam eksotis itu. Mei bekerja lebih cermat. Terlalu medok akan membuatnya berlebihan dan aneh. Terlalu transparan akan kelihatan aslinya. Ah, memang tak ada yang bisa mengubah manusia. Untuk kesekian kali, setelah berbagai warna bedak dicobanya, akhirnya Mei menemukan satu pilihan dengan mengakali di sana-sini, untuk menyembunyikan tulang pipi, membuat kesan hidung tak terlalu mancuat dan mata, yang pada sepuan akhir, bahkan mirip seperti mata bintang film India bernama Kajol. Mata yang indah.
Rampung sudah semuanya. Lalu Mei menghempaskan tubuhnya ke tepi tempat tidur sambil membuang nafas ke udara. Ia pandangi Vina yang kini tambah jangkung di atas pantofel-nya. Sesekali ia mendengar suara geletak-geletuk yang bergema di ruangan itu. Dan kerap kali ia melihat bayangan tubuh yang nyaris terjerembab.
Lalu Mei berpaling ke wig yang terberai di atas sprei. Ia angkat wig itu, menimang-nimangnya sambil ia rapikan dengan jemarinya, lalu ia hampiri Vina yang tubuhnya berkeringat meski hawa udara terasa sejuk.
Ia menyuruh Vina untuk menunduk. Kemudian ia pasangkan rambut palsu tersebut. Mengamatinya beberapa saat dan menggelengkan kepala. Ia dekati lagi, merapikan di sana sini, menekan di sana sini, dan melangkah mundur untuk melihat dari berbagai arah.
***
Pagi telah menjelang setelah melewatkan malam yang menjahit berlembar-lembar kecemasan. Menit terakhir menggenapi hitungan dimana mereka harus angkat kaki. Semua memang harus serba pas, setidaknya menurut perhitungan mereka. Meski bisa saja hal-hal terjadi di luar perhitungan--antara pergi atau tetap tinggal? Dan Vina telah memutuskan pergi.
Namun, sekali lagi keraguan menyergap begitu hebatnya hingga melunturkan bedak yang telah dipoleskan secara berlapis oleh Mei. Ada batas antara dalam tekad dan ketakutan--antara selamat dan celaka, yang keduanya berada dalam ruang yang gelap dan serba tak pasti.
Pada situasi seperti itu, antara mutlak menjadi wilayah Tuhan, dan memberi ruang bagi manusia untuk merasa memiliki harapan terakhir—setelah upaya maksimal dan rasional yang manusia lakukan. Paling tidak, manusia tidak terjerembab pada lobang kebodohan dan menyebutnya sebagai kodrat.
Berada pada batas antara yang diyakini mengandung kekuatan yang lain, setidaknya bisa menjadi jeda untuk sejenak melambatkan detak jantung Vina yang frequensinya sangat cepat sejak sore kemarin. Dan bibirnya mengucap doa, ”Tuhan, selamatkan kami.”
Pukul 05 WIT. Masing-masing sudah siap dengan perangkatnya. Semua sudah tahu akan peran masing-masing. Romo menggegam tangan Vina. Mengajaknya tersenyum sambil memberikan beberapa lembar tisu. Mei menambahkan make up sekali lagi di bagian yang luntur. Wajahnya terus menglirkan butiran keringat seperti anak sungai menyapu rekahan-rekahan debu kemarau.
Satu, dua. Dengan rasa bergemuruh kaki-kaki itu mulai melangkah.
Dua pasang lelaki dan perempuan beriringan meninggalkan loby hotel. Mei yang berpasangan dengan Sekjen kerap melirik ke wajah Vina yang sedang melangkah canggung digandeng oleh Romo menuju mobil.
Bandara Wamena di pagi hari. Perjalanan menuju landasan pesawat terbang sederhana itu seperti sebuah pendakian penuh dengusan nafas. Dataran tinggi berpagar pegunungan, membuat siapapun yang datang ke sana berdecak kagum karena indahnya. Pagi yang jernih. Namun keringat menetes dalam rasa cemas.
Vina merasakan tubuhnya kaku seperti terpasung. Latihan semalam tetap membuatnya limbung di tengah keramaian. Apalagi ketika ia mendapati gambar dirinya yang dipasang di mana-mana. Sambil sesekali kakinya tergelicut, ia berjalan di samping Romo yang kini sudah lebih eksentrik dengan kamera Nikon D3100 digital SLR tergantung di dadanya. Lelaki itu dengan santai tampak menikmati pemandang sekitar. Dan tangannya menggamit Vina melewati Baggage and Security Check, mengulurkan tas kepada petugas yang memegang alat pengecek bagasi, dan menuju Check-in Counter. Di depan petugas, Romo sering tersenyum dan memandang Vina layaknya suami yang tengah berlibur dengan istrinya.
Check-in tujuan Cengkareng. Boarding pass dan tag telah berada di tangan masing-masing. Langkah Vina mulai goyah ketika berjalan menuju Gate dan melewati pemeriksaan dengan metal detector. Sepatu tingginya kian licin oleh keringat yang merembes tanpa henti dari telapak kaki. Dan ketika itu nalurinya merasakan bahwa langkah-langkah di belakangnya memperdengarkan derap yang memberikan firasat tak enak. Ia mencengkeram lengan Romo sambil melambatkan langkah. Dan rombongan itu menyalipnya. Seluruhnya empat orang. Dan… ia mengenal salah satu dari mereka meski kini tanpa seragam.
Rombongan kecil itu segera duduk. Ada yang di depan dan ada yang di belakang. Entah kebetulan atau disengaja, Vina memang kebagian kursi kosong di antara orang-orang itu. Kembali, dalam dirinya menjadi ajang pertempuran antara Vina yang kini sebagai pelancong, dan dirinya yang tengah dicari-cari oleh pemerintah. Dan hatinya kian muak dengan otoritas kekuasaan yang melebihi Tuhan. Aparat, bahkan ringan sekali melenyapkan nyawa makhluk ciptaan-Nya. Sungguh sebuah kebrutalan yang tak bisa dimaafkan atas nama apapun.
Ia melirik ke rombongan perwira tinggi aparat negara itu. Dan ia ingin lari sekencang-kencangnya, sambil mencopoti wig yang sejak tadi sudah membuat jidat dan sekitar telinga diserang gatal setengah mati hingga ke tengkuk. Apalagi pantofel yang membuat otot-ototnya nyeri dari betis hingga ke pinggang, perut dan punggung. Ia melihat ke pasangan Mei dan lelaki tambun. Mereka sedang bercakap dalam suara rendah, seolah ingin mengalihkan perhatian pada rombongan perwira. Namun peperangan dalam diri Vina tetap berkecamuk.
”Lari saja! Copot sendal ko yang bikin ko sengsara tu!” hati perempuan itu berontak. ”Lari?!” kata Vina menimbang-nimbang sambil membayangkan bandara yang luas, taxi yang harganya mahal. Mungkinkah naik becak? Sungguh, baru kali ini ia merasa bumi yang maha luas menjadi arena sempit dan serasa berlobang di mana-mana. Lobang yang siap menjebloskan dirinya ke jurang hukum rimba yang sunyi. Tak ada keadilan, pun pertolongan. Manusia meregang nyawa ibarat binatang saja.
Dan pada saat itu dari pengeras suara mengumumkan bahwa calon penumpang untuk masuk ke dalam pesawat. Para petugas mengambil dan menyobek boarding pass dari tangan calon penumpang dan mempersilahkan masuk. Satu per satu orang-orang mulai masuk ke dalam cangkang besi itu. Hati Vina bergetar ketika ia harus berjalan sendiri tanpa Romo. Tapi apa boleh buat, toh jika mereka tetap bergandengan bukankah malah akan terlihat aneh?
Kini ia menyaksikan rombongan itu mencari-cari kursi. Dan mereka duduk di kursi depan. Seperti tak percaya Vina melihat lagi nomor kursi dirinya. Dan tak salah lagi, ia memang berada di depan sang perwira dan istrinya yang rupanya mendampingi suaminya bertugas untuk olah TKP pasca pecah ’perang’ tak seimbang yang menelan korban di pihak Vina dan teman-temannya.
Pada saat itu Vina rasanya ingin menerobos jendela pesawat dan terbang ke langit bebas. Kendali dalam dirinya kian rapuh. Ia sama sekali lupa bahwa ia adalah Vina, perempuan yang kini telah modis, mirip bintang film India bernama Kajol dan sebagai istri fotografer yang selalu siap di sampingnya. Dan sang Romo menangkap gelagat itu. Dengan lembut ia menggamit lengan Vina, berjalan anggun melewati dua orang dari rombongan yang masih berdiri sambil tersenyum. Sambil duduk, telapa kiri Romo mengusap telapat tangan Vina yang basah dan tangan kanannya mengelus sikunya.
Pesawat mulai bergerak di landasan tanpa pagar pembatas. Dalam hitungan detik burung besi raksasa itu telah mulai melayang di udara, meninggalkan dataran tinggi sebuah kota yang dikepung bukit-bukit hijau.
“Wamena, selamat tinggal…”
”Ko harus rilek Vina. Rilek,” bisik Vina dalam hati yang duduk di dekat kaca sambil memandang langit putih. Gata-gatal di kening dan tengkuk serta sekitar kuping tetap berlngsung. Menahan rasa itu membuat perutnya seperti melilit ingin buang air. Tapi ia bertahan karna tak ingin berjalan ke balakang dan artinya melewati rombongan sang perwira. Dan kini di kepalanya malah terasa seperti ada yang berjalan krudak-kruduk. Mungkin rambut kribonya ada yang berontak ingin lepas dari penjepit-penjepit dan sedang menjuntai-juntai ingin keluar. Tangannya menarik ke bawah bagian kiri dan kanan, lalu menggaruk kening.
Sebuah pesan pendek masuk ke handphone Romo. Dua orang di belakang mengabarkan bahwa mereka menangkap kecurigaan pada orang-orang dalam rombongan perwira. Dua personal yang duduk di kursi sebelah kiri terlihat membaca koran dengan ekor mata selalu melirik ke arah Romo dan Vina. Komandan terlihat memperhatikan jam tangan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mei dan Sekjen yang duduk di belakang mereka memang sejak tadi mengamati gerak-gerik rombongan itu. Di pesawat memang diminta mematikan handphone, tapi kerap kali nada pesan terdengar di antara rombongan itu. Hal sama yang juga dilakukan oleh tim Mei yang sepakat tak mematikan alat komunikasi meski tanpa nada. Bagi Mei dan Sekjen segalanya dirasakan sebagai gelagat kurang baik. Mei merasakan perutnya mules. Namun menahan diri tak ke toilet. Segala sesuatu bisa saja terjadi dalam hitungan dekit. Dan untuk kedua kalinya, Romo mengirimkan peringatan agar mereka tetap tenang. Karena kepanikan justru memancing kecurigaan lebih besar. Mei dan sekjen berbisik-bisik. Sesekali keduanya menganggukkan kepala. Lalu Mei mengetik huruf huruf lagi.
”Kita harus mendarat di Makassar.”
”Silahkan kalian turun. Kami tetap sesuari rencana,” balas Romo.
Ketegangan Mei memuncak. Ia sering melanggar peringatan Romo untuk tidak panik dan kasak-kusuk. Dan atmosfir kepanikan sesungguhnya telah menjalar di hati keempat orang itu seperti konsleting pada kabel listrik yang menyulut cepat ke saluran kabel yang dipasang pararel.
Lembah Baliem. Dari udara bagai permadani hijau yang membentang. Sejuk dan jernih. Ia mendengar penumpang lain berdecak karena kagum. Namun mata Vina yang bening itu seakan tengah menerobos ke dalam hutan di bawah sana. Hatinya kembali bergetar. Di antara semak-semak itu sebuah gerakan dilakukan oleh orang-orang yang selalu dikalahkan. Kata ”Merdeka” kembali berkumandang di dalam hati. Merdeka yang kian tergulung kabut dan terus dibayangi maut. Beginikah kelompok manusia memperlakukan manusia lain?
***
Makassar. Pesawat yang membawanya terbang rendah di atas kota itu. Mei dan Sekjen melakukan aksi turun dari pesawat melewati kursi yang diduduki Romo dan Vina. Romo menggenggam tangan Vina erat, sambil mengedipkan mata, menahan untuk tetap duduk di kursi. Dan dua temannya akhirnya kembali lagi.
Cengkareng. Pesawat mendarat. Semua penumpang menghambur dari pesawat tanpa kecuali. Begitu juga pasangan Romo dan Vina. Romo yang cerdik, tetap terlihat jauh dari panik. Ia tersenyum, mengajak Vina berdiri menyamping. Romo menduga seandainya Vina berkulit putih, pasti sudah terlihat sepucat kapas. Bibirnya sudah terlihat lebam dibalik lipstik yang terkikis di sana sini karena Vina sering menggigit dan membasahi bibirnya.
Rombongan perwira mulai berjalan beriringan. Lagi-lagi, derap itu selalu membuat degup jantungnya meninggi. Bukan karena takut karena mereka bersenjata. Kalau takut, untuk apa ia dan teman-temannya menuntut referendum untuk kemerdekaan manusia di bumi? Tapi, Vina tidak ingin mati sia-sia. Ia telah menjejak bumi yang lain, yang serba bising dalam dialeg bahasa nasional. Namun telinganya seperti mendengar suara-suara yang datang dari jauh. Suara yang terluka dan terus dibungkam dengan senjata di tanah kelahirannya sendiri. Mereka, seperti juga dirinya, terus meneriakkan tentang ”kemerdekaan”.
Satu perjalanan telah selesai. Ia seperti menembus jalur bypass dari perjalanan panjang penuh liku yang telah ia tempuh dan akan terus ditempuh. Keempat orang itu diam dengan pikiran masing-masing. Selain juga merasakan kepenatan yang luar biasa. Dan dalam keheningan, hati Vina rindu dengan buah hatinya yang masih balita. Cinta mereka, mekar menembus sepi. Demi sebuah kecintaan terhadap kemanusiaan yang lebih luas lagi. Vina harus meniti jalan-jalan sunyi dari luasnya dunia.
Jakarta, 8 Agustus 2010
2 komentar:
mbak fiqoh, aku kangen :) cerita-ceritamu belakangan semakin memikat, ya. aku kagum sekali *pelukpeluk*
Kamu itu ya...? Wong tulisanmu juga bagus. Dan menginspirasi. Aku sedang belajar Hanny :)
Makasih ya..
Posting Komentar