Oleh Siti Nurrofiqoh
Genangan merah mengalir dari kamar pas yang terkunci.
Di antara deru mesin dan bunyi klak-klek ratusan dinamo yang diinjak berpasang-pasang kaki. Seorang perempuan tengah baya melangkah gemetar menuju sudut sempit di antara mesin itu. Di sana ia mencoba berjongkok meski tampak tak sempurna.
Bunyi sirene meraung-raung menandai jam istirahat tengah hari. Ratusan orang segera berhamburan menuju pintu. Namun ia justru mencari sudut-sudut untuk menyendiri. Sejak pagi ia telah kepayahan bekerja dengan keringat membanjir tak seperti biasanya.
Masih di sudut ruangan yang seluruhnya penuh dengan mesin-mesin, keranjang-keranjang plastik berisi pakaian setengah jadi, ketika teman-temannya datang untuk bekerja lagi. Ia tetap diam , seakan tubuhnya menjadi patung yang tak bisa bergerak. Mukanya kian pias. Dan seorang perempuan memberinya minum dan menyuapkan sepotong roti. Perempuan yang sejak tadi sudah memperhatikan dan mencemaskannya.
Tak lama ia berjalan ke arah sudut bangunan gedung itu, menuju sebuah pintu. Dan perempuan yang satunya kembali ke mesinnya, menjahit dan menjahit.
Menit demi menit berjalan. Si penghitung target berteriak. Dan tangan-tangan dengan kepala menunduk bergerak semakin cepat untuk memenuhi target. Satu sama lain saling melemparkan dan menyambut proses pekerjaan mereka secara estafet. Dari belakang nampak seperti deretan benda yang bergerak-gerak, menyerupai punggung-punggung sapi menarik pedati.
Hampir lima menit. Ditandai dengan penghitung target yang berteriak lagi. Dan setiap pelaku produksi memacu kecepatan lebih tinggi. Perempuan yang tadi menyuapkan roti, rasanya ingin berlari tapi dari belakang mesin rekannya terus menghujani buntelan-buntelan kain untuk dipermak. Dan jika ia tetap pergi, akibatnya deretan mesin di line itu akan berhenti. Di setiap line, sistem proses kerja seperti mata rantai. Kemacetan satu orang bisa menghentikan proses berikutnya. Dan itu berarti petaka.
Menuju menit ke sepuluh. Hati perempuan itu kian gundah. Ia melirik ke samping kiri dan kanan sebelum mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan keberadaan mandor. Berbagai praduga memenuhi pikirannya. Jangan-jangan...Duh Gusti...mohon perlindungan.
Kini, detik demi detik terasa seperti menghadirkan bayangan telur di ujung mejanya. Meja yang terus bergetar oleh hentakan dinamo yang ia injak. Dan semakin lama seakan telur itu kian cepat menggelinding menuju tepi. Tangannya tetap sibuk menggeser bahan tebal yang sedang dipermaknya. Sesekali digeser, lalu diangkat, sambil dengkulnya bergerak ke samping mengangkat sepatu mesin. Tapi hasil kerjanya tetap tak sempurna. Pikirannya ke mana-mana, denyut jantungnya kian tak teratur, mulutnya terasa kering, tubuhnya berembun oleh keringat dingin. Dan praduga-praduga seakan kian mengental, kian pekat, dan mendekati kebenaran. Jiwanya sangat gelisah, bubrah, seperti bahan yang kena permak berkali-kali di tangannya.
***
Sementara, seorang pekerja yang lain saat itu sedang berdiri di depan sebuah WC yang sering mereka sebut kamar pas (pressed body). Karena WC tersebut memang hanya pas untuk satu tubuh saja. Ia sudah lama menunggu dan mulai gelisah. Sudah lebih dari lima menit.
Kemudian datang seseorang yang lain. Dan mereka kemudian saling bercakap. Yang satu memutuksan mengetuknya. Tak ada jawaban. Lalu mengetuknya lebih keras. Sunyi. Kemudian mereka menggedornya tetapi tak ada respon dari dalam. Mereka saling memandang, lalu tanpa komando keduanya berteriak agar orang yang ada di dalam keluar. Tapi tak ada suara apapun dari balik pintu itu. akhirnya dua perempuan itu langsung mendorong paksa pintu WC yang dikunci dari dalam.
Brak! Pintu terbuka. Darah telah menggenang di sana. Tubuh perempuan dalam posisi menekuk setengah duduk dengan celana jeans yang diperosotkan sebatas lutut. Wajahnya pucat seputih kapas. Dan di depannya, tergeletak bayi merah dengan muka membiru. Sebagian tubuhnya terendam genangan darah.
Perempuan yang satu segera menyambar bayi itu. Perempuan yang satunya berteriak-teriak memanggil yang lainnya. Menyadari hal itu perempuan yang berjongkok dengan gerakan cepat segera menutup pintu. Bruk!
Satu dari dari perempuan itu tersentak. Ia baru menyadari kebodohannya membiarkan pintu ditarik dari dalam. Tanpa buang waktu ia segera mendorong pintu agar dibuka.
”Buka!” kata perempuan yang di luar.
”Buka! Buka! Buka!” kini orang mulai berdatangan dan ikut berteriak. Dan perempuan di dalam terkulai. Pintu terbuka. Semua ternganga.
”Angkat!” kata salah seorang di antara suara yang riuh.”Berdiri, buka levisnya! Buka celananya!” kata yang lainnya, ”Ikat-ikat!” teriak yang lain lagi, ”Tekan bagian bawah ulu hatinya, biar tak naik ke jantung!” kata seseroang yang baru datang. Ari-ari bayi masih tertinggal di dalam perut.
Di antara orang-orang yang berduyun-duyun datang. Perempuan yang tadi menyuapkan roti berlari menyongsong arah. Ia tak tahan melihat darah. Mukanya pucat. Badannya yang besar gemetaran dan hampir terpelanting. Ia merasa tubuhnya limbung. Perempuan itu bernama Ipung.
Di pojok gudang, seseroang menarik kain puring yang biasa digunakan sebagai lapisan jaket. Kemudian ia berlari menerobos kerumunan dan membalutkan ke bagian atas pinggang perempuan di dalam WC yang telah telanjang.
Darah segar mengucur deras mengubah warna kain. Dan ia berjalan, tertatih, di antara orang-orang yang masih terus menjerit dan memekik. Di atas lantai, jejak kakinya terukir dalam cairan merah.
”Ditangkupin...!”Ditangkupin...!!” kata perempuan bernama Arni, sambil menggerak-gerakkan tangannya yang tretangkup di dada. Dan perempuan yang tertatih itu berhenti, menarik ke atas ujung bagian bawah kain.
”Oiii...! Oii...! Gimana sih kok disuruh jalan?! Suruh yang laki-laki mengangkat!” kata Arni lagi. Ia histeris sambil mengepal-ngepalkan kedua tangan di depan dadanya. Sesuatu nampak tergenggam di tangan kanannya. Teriakannya membuat seseorang yang sedang berlari menoleh ke arahnya. Menyadari apa yang dipegang Arni, mendadak air muka orang itu berubah kelam. Matanya melotot. Hal itu tentu membuat Arni heran.
”Kenapa lu melotot ke gue?!” kata Arni.
”Itu, itu tuh!” kata temannya sambil menengok ke arah satpam yang tak jauh dari tempat mereka.
”Itu apa?!” kata Arni makin aneh melihat sikap temannya.
Setengah melompat temannya mendekati Arni dan memekik, ”Hei, nyadar enggak apa yang kamu pegang?? Kamu tuh masih memegang roti! Cepat kantongin, ntar dimarahi satpam kalau ketahuan membawa makanan ke dalam pabrik!”
Kini giliran Arni yang kaget. Ia segera memasukkan sepotong roti yang sebagian telah ia makan ketika istirahat tadi. Dan ia segera berlari menyalip rombongan yang menggotong tubuh lemah itu. Ia terus berteriak mencari sopir-sopir perusahaan untuk menghidupkan mesin mobil.
***
Di sebuah klinik bersalin terdekat. Perempuan itu menjadi salah satu pasien yang menempati kamar Paviliun Rubby-Pojok Asi.
Ada empat perempuan yang sedang terbaring di sana. Masing-masing sedang dikerumuni oleh orang-orang yang memberinya selamat dalam nuansa suka cita. Mungkin ia dari keluarga laki-laki. Juga keluarga prempuan. Juga kerabat dan para sahabat.Ada juga yang ditunggui suaminya yang dalam keadaan seperti itu terlihat menjadi sangat gagah dan dewasa. Dengan lengannya yang kekar dan kikuk, lelaki itu mengangkat sang buah hati sambil sesekali memandang penuh cinta, dan mengelus bahu si perempuan. Ada juga yang lelakinya belum kelihatan, dan barangkali sebentar lagi akan ada drama pertemuan yang penuh haru dan pekik kebahagiaan, sebagai rasa syukur menyambut lahirnya kehidupan.
Dan perempuan di pojok berkain puring dalam kesendirian. Sesekali matanya melirik ke bayi di sebelahnya. Dan ia tidak nampak sedih.
Arni dan teman-temannya segera menggalang saweran. Bersama Ipung ia mengumpulkan dana. Lembar dua ribuan, seribu, hingga lima ribu rupiah diulurkan oleh mereka yang belum gajian. Semuanya terkumpul Rp 85.500.
Kedua orang itu sedikit bernafas lega. Ia kembali menyambangi bayi dan ibunya yang berada di klinik. Dalam rasa yang lebih rileks, ia baru menyadari di lengan perempuan itu masih belepotan darah.
”Kok kamu belum ganti baju sih?” tanya Arni.
”Nggk ada baju. Masih di kontrakan,” jawab perempuan itu.
”Kok anakmu juga nggak pakai baju? Mana kunci kontrakanmu?”
”Kuncinya di dalam tas, ketinggal di pabrik, sama handphone juga.”
”Kamu harus ganti baju tidur dan memakai kain. Biar nanti diambilkan,” kata Arni.
Arni segera menghubungi teman-teman yang lain untuk mengantarkan tas perempuan itu. Sebgaian ke kontrakan mengambil baju. Tak lama dua orang yang disuruh mengambil baju sudah kembali. Mereka bercerita bahwa di kontrakan itu tidak ada baju tidur, baju bayi maupun kain. Semuanya hanya celana-celana jeans dan kaos model stretch. Di kamar sepetak itu mereka sudah membuka-buka lipatan dan onggokan kain. Dan hanya menemukan satu T. Sirt bertuliskan Serikat Buruh Bangkit, serta baju hem seragam dari pabrik. Arni menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan kedua orang tersebut.
”Kenapa kamu tadi bilang punya? Kalau bilang nggak punya, kan nggak harus ke kontrakanmu. Aku bisa minta baju bayi bekas dan kain dari teman-teman kita,” kata Arni dengan nafas yang terasa sesak menahan sedih dan kesal. ”Kamu kan tahu, kalau kamu akan melahirkan dan harusnya punya persiapan baju bayi.”
”Aku kan nggak tahu. Ini kan bayi titipan. Tahu-tahu perutku melendung. Kadang aku yang melendung, kadang saudara kembarku. Tahunya aku masih empat bulan. Kok tiba-tiba sudah keluar,” jawab perempuan itu.
Arni memandang perempuan di depannya. Ia tahu bahwa perempuan itu sedang berbohong. Arni dan Ipung sebenarnya sudah lama curiga tentang kehamilannya. Karena mereka sering memperhatikan wajah dan gerak-gerik perempuan itu. Ia sering Nampak pucat, lemah, dan kadang tak nafsu makan. Biasanya, mereka bertiga sering sarapan dan makan siang bersama di bawah pohon di belakang pabrik yang masuk dalam kawasan Jatiuwung Tangerang itu. Sekitar tiga bulan lalu perempuan itu mengeluh sakit dan Ipung mengeriknya. Dan pada saat itu Ipung melihat kaki perempuan itu bengkak.
”Kenapa kakimu bengkak...?”
”Iya, kaki saya bengkak karena kerjanya kan berdiri terus,” jawabnya.
”Iya, saya juga bengkak, karna berdiri terus,” jawab Ipung yang kakinya memang sering bengkak kalau ia mendapat tugas yang mengharuskan berdiri seharian. Saat itu Ipung ingin bertanya tentang kecurigaannya namun ia mengurungkan niatnya.
”Tapi kamu harus makan.”
”Sedang males. Kalau mau mens suka males dan lemes, Mamake,” kata perempuan yang sering memanggil Ipung dengan sebutan Mamake.
Di klinik beberapa orang mulai berdatangan. Ada yang penasaran, iba, juga kesal. Salah satu teman akrabnya, mengulurkan pakaian bekas bayi sambil membuang muka. Dengan air mata bercucuran dia berbisik tertahan pada Arni, kalau ia kecewa, sedih dan marah melihat sahabatnya. Badan perempuan itu sampai bergetar menahan rasa yang menyesaki hatinya. Salah seorang yang lain mengaku kesal. Di matanya, perempuan itu tampak ringan seperti tak ada beban. Bahkan rasa simpatinya mendadak hilang ketika ia melihatnya sedang memakan pisang molen sambil menekan-nekan handphone di tangannya.
Sepulang dari klinik orang yang kesal itu bercerita tentang rasa herannya kepada teman-temannya. Dan seorang laki-laki menjawab, ”Kalau dia punya suami, kan bisa bermanja-manja dengan suaminya. Karena dia nggak ada tempat bermanja, ya meski sakit dikuat-kuatin! Dia makan pisang karena lapar kali.”
Saat itu Arni telah kembali dari klinik. Dengan rasa letih ia membuka pintu rumah petakan. Dan pikirannya menerawang ke perempuan yang ia tinggalkan di klinik. Ia membayangkan masa-masa sembilan bulan lalu ketika dari bulan ke bulan perempuan itu harus menyembunyikan perutnya yang kian membesar. Dan entah bagaimana ia tetap bisa mengenakan kaos stretch dan bercelana jeans. Meski kadang diselingi baju seragam, kadang kaos serikat pekerja, juga kaos bola. Arni tak bisa membayangkan pergulatan psikologi yang luar biasa ketika seorang perempuan hamil dan justru ditinggalkan si lelaki. Sedih, kecewa, amarah, juga putus asa. Dan dalam kehamilan yang kian membesar, setiap hari minimal tiga kali perempuan itu harus mengempiskan perutnya di pintu pemeriskaan (ceck body) yang dilakukan satpam. Semua pekerja diperiksa, diraba-raba di sekitar pinggang dan perutnya untuk memastikan kalau pekerja tak membawa makanan masuk.
Di klinik tadi dia bilang telat mens baru empat bulan. Tapi suster di klinik itu bilang kelahiran itu sudah dalam usia kandungan normal, sekitar 9 bulan lebih dua mingguan. Bayinya berbobot 2,7 kg. Sejak lima bulan lalu, Arni dan Ipung sering memperhatikannya. Ia sering sering nungging, berdiri tak sempurna, apalagi jongkok. Dalam menjalankan tugas sebagai Quality Control ia sering menggunakan lutunya untuk berdiri menghadap meja, tempat memeriksa kualitas jahitan.
Banyak orang manyayangkan dan menyalahkan perempuan itu. Tapi perempuan itu seperti tak peduli. Celana jeans masih nglumpurk di kolong dipan dengan darah mengering. Seseorang melirik ke ember itu dan menggelengkan kepala sinis. Itu celana yang dipakai ketika proses persalinan di WC pabrik siang tadi.
Arni berpikir, siapa yang mau mencucinya? Tak ada siapa-siapa selain dirinya, yang mungkin perlu menunggu tenaganya pulih kembali.
Esoknya klinik sudah memperbolehkan perempuan itu pulang. Tapi bayinya belum. Karena bayi kecil itu menderita Hepatitis B dan memerlukan suntikan. Untuk menebus obat itu memerlukan uang sekitar 2 jutaan. Perempuan itu berkemas. Dan sebelum pergi ia melangkah ke tempat bayinya ditidurkan. Ia mengangkat dan menimang anaknya, mengajaknya tertawa sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Bahasa khas antara ibu dan anak. Ipung menyaksikannya dari kajauhan sambil menahan tangis dan tawa.
“Kenapa perempuan itu seperti tak merasa bersalah dan sedih ya?” kata salah seorang, “Untung dia lahiran di pabrik, kalau di kontrakan mungkin bayinya dicekik ya?” timpal yang lain, “Kok bisa-bisanya mengatakan kalau itu bayi titipan segala, emang nggak kerasa kalau dia perutnya membesar?” Pergunijngan masih terus bergaung melalui sudut-sudut bibir orang-orang sekelilingnya.
Semua jawabnya, hanya Tuhan dan perempuan itu yang tahu. Ini ketiga kalinya seorang anak lahir dari rahimnya. Anak pertama lahir dari sebuah pernikahan dengan lelaki satu kampung di Pandeglang sana. Dan rumah tangganya ambruk di tengah jalan. Ia hidup dengan anaknya yang kini sudah SMP. Kemudian ia menikah lagi dengan laki-laki dari Jawa Tengah, dan lahirlah seorang anak, yang sebentar lagi akan memasuki Sekolah Dasar. Tapi ayah anak itu telah kabur kabur bersama adik kandung perempuan itu yang telah dihamilinya. Kala itu adiknya diminta menjaga anaknya ketika pasangan itu bekerja. Dua kali laki-laki datang menawarkan kebahagiaan dan memberi janji. Dan semuanya pergi menumpukkan beban di pundaknya. Seorang diri ia bekerja sebagai buruh pabrik untuk menghidupi kedua anak diasuh oleh neneknya. Bahu membahu bersama orang tuanya di kampung sana, ia menyekolahkan dan memberinya makan kedua anak itu.
”Kenapa masih nggak kapok ya? Sudah dua kali dikhianati tapi kok tak hati-hati juga sama laki-laki?” salah seorang masih berkomentar penuh heran. ”Kenapa nggak KB aja biar tidak hamil ya?” timpal yang lain. ”Sayang ya, cantik-cantik nasibnya kok buruk.” Sebagaimana hidup yang terus berjalan, pergunjingan pun seakan tak pernah berhenti.
Andai ia seorang pelacur, mungkin ia lebih berpengalaman soal alat kontrasepsi dibanding teman-temannya itu. Andai ia seorang pelacur, mungkin tak perlu bekerja keras dan menghabiskan waktu di pabrik, demi mengumpulkan rupiah yang ia kirim ke kampung setiap akhir bulan. Dan kalau ia seorang pembohong, mungkin ia tak akan mengarang cerita murahan yang menimbulkan kontradiksi di telinga pendengarnya; katanya titipan, katanya tidak tahu kalau hamil, tapi juga mengakui telat mens empat bulan.
Ia perempuan berkulit putih. Lumayan cantik dengan wajah oval, mata agak bundar, dan berambut ikal. Tidak pendek dan tidak terlalu tinggi. Betubuh ramping. Stahun lalu, ia sering bercerita pada teman-temannya kalau ia sedang dekat dengan seorang lelaki yang mengajarinya ngaji, dan selalu memberinya bimbingan. Kadang orang itu bertamu hingga larut malam. Dan menurut teman yang lain, ia juga sering bercerita kalau ia sedang dekat dengan laki-laki yang sangat baik, sangat menyayanginya dan sangat perhatian.
Tapi teman-temannya tak ada yang tahu tentang kedua lelaki itu. Dan hingga anak tak berdosa itu terlahir ke dunia, ia hanya bersentuhan dengan jemari ibunya yang lemah. Jemari sang ibu yang hatinya telah meradang.
Di klinik itu, pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa ibu dan anak sama-sama positif mengidap Hebatitis B. Dan ketika klinik merujuk ke rumah sakit yang lain, ia memilih membawa anaknya pulang, karena tak bisa membayar perawatan 300 ribu setiap hari dan harga obat yang nilainya sangat tinggi.
Sendirian ia harus menanggung semua itu. Termasuk secepatnya mencari kontrakan baru karena pemilik kontrakan yang lama tak mengijinkan lagi rumahnya ditempati. Dalam keletihannya di antara dera dan cela, ia teguh bersikukuh: bahwa anak itu memang titipan. Benar atau salah pernyataan itu tak ada yang tahu. Kata titipan yang seakan-akan bahwa kehamilannya adalah proses gaib, memang terdengar sebagai sandiwara murahan.
Barangkali, ia sendiri yang bisa memaknai, bahwa argumentasinya yang tak masuk akal pada orang lain, merupakan puncak rasionya yang tertinggi untuk menghadapi realita. Dan ia yang lebih tahu bahwa ia tidak perlu memaksa siapapun untuk memahami dan memberinya cinta. Termasuk lelaki yang telah berbuat jahat dan meninggalkannya.
Sebuah pesan pendek masuk ke HP Ipung. Perempua itu mengatakan, terserah orang bilang apa, dia sudah siap menanggungnya.
Dan perempuan itu telah menguatkan hati untuk menjaganya sepenuh yang ia bisa.
Titipan. Sebuah ketakrasionalan yang manusiawi dari seorang perempuan yang disergap keputusasaan dan kebingungan, di tengah-tengah lingkungan yang sering mengatasnamakan rasio dan moral, meski terkadang tidak berperikemanusiaan.
Jakarta, 26 Juli 2010
1 komentar:
bagus.! gaya bahasanya mengalir cerdas. aku suka itu.
Posting Komentar