oleh fiqoh
Melek, melihat menggunakan mata
Buta, melihat menggunakan rasa
Pernah kucoba berdiri di sebuah ruang
Yang sangat kukenal bertahun-tahun lamanya
Ruang yang dengan tanganku seluruhnya kutata
Radius 2,5 meter tanganku meraba mencari sesuatu
Tapi, penglihatanku tak mampu merekam sesuatu itu
Tidak satupun!
Meski mataku baru memejam semenit yang lalu
Kecuali…
Lemari plastik yang kutabrak dan bergoyang
Botol-botol kosmetik yang tumpah berantakan
Rasa tidak datang dari penglihatan mata
Pemandangan yang mengenaskan belum tentu mampu “menggerakkan”
Alangkah hebatnya orang-orang yang tuna netra
Melalui setiap detik dalam hidupnya
Dalam kegelapan cahaya
Tapi jiwa-jiwa itu tetap terang karena rasa yang hidup
Jakarta, 29 Sept 2011
Kamis, 29 September 2011
Rabu, 28 September 2011
Independen Anti Klimaks
oleh fiqoh
Andreas Harsono: independen terkadang membuat kita menggigit jari tangan orang yang memberi kita makan. Dan aku melihat, betapa orang lebih memilih hengkang meninggalkan lingkungan kerja atau organisasi karena tak tahan dengan ketidakadilan.
Di mana sikap independen itu?
Menurut pendapat kebanyakan rekanku, lebih baik pergi kalau sudah tak bisa dibenahi. Dan tindakan kebanyakan, mereka memilih mundur, keluar kerja – memecat diri sendiri.
Lho, menzalimi diri sendiri saja berani. Tapi kenapa mencoba mengargumenkan dan mempertahankan prinsip yang benar kok takut? Memperjuangkan hak-hak keadilan takut?
Tindakan-tindakan di atas, gentle atau pengecut?
Entahlah. Tapi bahwa pola terbalik sudah terlanjur lekat dan memakan korban yang begitu banyak. Makanya, kalau pimpiman sudah nggak suka, segala kesalahan bisa dicari dan diada-ada. Bila perlu, intimidasi saja. Pasti pekerja akan keluar dengan sendirinya.
Mengingat perkataan Mas Andreas, ingat juga akan pepatah Inggris ini -- birds of the same feather flock together (burung yang sama bulunya akan hinggap bersama).
Bagaimana jika beda?
Independen itu tetap berdiri teguh, memegang prinsip, tetap jernih, meski di dalam air yang keruh.
Independen itu tak takut berbeda, meski segalanya menjadi tak leluasa.
Independen itu menjadi burung dengan bulunya sendiri, meski ia bertengger di antara burung yang berbeda bulu
Independen itu tidak menjadi ofortunis, meski lingkungan sudah berubah bengis
Independen…
Memang kadang menggigit jari tangan yang “memberi” makan
Karena isi kepala, batin, jiwa, tidak sama dengan isi perut!
Independen tanpa sikap, adalah independen yang antikilmaks.
Jakarta, 29 Sept 2011 pkl :07:45 (menuggu buka pintu kantor)
Andreas Harsono: independen terkadang membuat kita menggigit jari tangan orang yang memberi kita makan. Dan aku melihat, betapa orang lebih memilih hengkang meninggalkan lingkungan kerja atau organisasi karena tak tahan dengan ketidakadilan.
Di mana sikap independen itu?
Menurut pendapat kebanyakan rekanku, lebih baik pergi kalau sudah tak bisa dibenahi. Dan tindakan kebanyakan, mereka memilih mundur, keluar kerja – memecat diri sendiri.
Lho, menzalimi diri sendiri saja berani. Tapi kenapa mencoba mengargumenkan dan mempertahankan prinsip yang benar kok takut? Memperjuangkan hak-hak keadilan takut?
Tindakan-tindakan di atas, gentle atau pengecut?
Entahlah. Tapi bahwa pola terbalik sudah terlanjur lekat dan memakan korban yang begitu banyak. Makanya, kalau pimpiman sudah nggak suka, segala kesalahan bisa dicari dan diada-ada. Bila perlu, intimidasi saja. Pasti pekerja akan keluar dengan sendirinya.
Mengingat perkataan Mas Andreas, ingat juga akan pepatah Inggris ini -- birds of the same feather flock together (burung yang sama bulunya akan hinggap bersama).
Bagaimana jika beda?
Independen itu tetap berdiri teguh, memegang prinsip, tetap jernih, meski di dalam air yang keruh.
Independen itu tak takut berbeda, meski segalanya menjadi tak leluasa.
Independen itu menjadi burung dengan bulunya sendiri, meski ia bertengger di antara burung yang berbeda bulu
Independen itu tidak menjadi ofortunis, meski lingkungan sudah berubah bengis
Independen…
Memang kadang menggigit jari tangan yang “memberi” makan
Karena isi kepala, batin, jiwa, tidak sama dengan isi perut!
Independen tanpa sikap, adalah independen yang antikilmaks.
Jakarta, 29 Sept 2011 pkl :07:45 (menuggu buka pintu kantor)
Tentang Pepatah Jawa
oleh fiqoh
Adoh nggondo kembang, cedak nggondo t-a-i.
Jika ingin tahu sisi lain tokoh yang “hebat”, jangan hanya melihatnya melalui statement dan layar televisi. Atau menemuinya di ruang seminar, meja kerja, tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat formal. Di sana semuanya pasti baik.
Kita sering hanya mendongak ke atas, hanya mendengar omongan pakar dan tokoh. Padahal, kesaksian orang-orang kecil di sekitar tokoh seperti bawahan, sopir, tukang parkir, pembantu, tim kerja, dan tetangga jauh lebih berwarna. Bila perlu tanyalah sama seseorang yang sering menemaninya masuk kamar hotel… J
Ini tidak bermaksud untuk sinis, tapi hanya untuk menemukan keseimbangan informasi dari orang “hebat” atau tokoh yang mungkin selalu kita kagumi. Cover bothside bukan hanya beralih dari satu pihak ke pihak yang lain, tapi juga…dalam pribadi seseorang itu. Istilahnya, jika ia jadi tokoh masyarakat, jadilah tokoh bagi orang-orang terdekatnya juga.
Terkadang kebengisan, kekerdilan, kebijakannya yang tidak adil, justru terungkap melalui kesaksian yang diam, kesaksian orang-orang yang sekian lama kena getah dan sasaran amarah, dan membendung rasa muak menyaksikan ia punya polah tingkah.
Dalam ajaran jurnalisme – wawancara untuk menggali informasi. Tapi dalam realita, wawancara terkadang jadi peluang memanipulasi informasi. Di televisi, semua yang diberi ajang bicara, tentunya sudah pasang kuda-kuda untuk berkelit ini dan itu. Sehingga, penjahat di depan mata susah sekali ditangkapnya.
Semua tokoh berkata baik. Kebaikan kata-kata, menjadi kebalikan dari pepatah ini -- Rame ing gawe sepi ing pamrih.
Jkt, 28 Sept 2011
Adoh nggondo kembang, cedak nggondo t-a-i.
Jika ingin tahu sisi lain tokoh yang “hebat”, jangan hanya melihatnya melalui statement dan layar televisi. Atau menemuinya di ruang seminar, meja kerja, tempat-tempat ibadah dan tempat-tempat formal. Di sana semuanya pasti baik.
Kita sering hanya mendongak ke atas, hanya mendengar omongan pakar dan tokoh. Padahal, kesaksian orang-orang kecil di sekitar tokoh seperti bawahan, sopir, tukang parkir, pembantu, tim kerja, dan tetangga jauh lebih berwarna. Bila perlu tanyalah sama seseorang yang sering menemaninya masuk kamar hotel… J
Ini tidak bermaksud untuk sinis, tapi hanya untuk menemukan keseimbangan informasi dari orang “hebat” atau tokoh yang mungkin selalu kita kagumi. Cover bothside bukan hanya beralih dari satu pihak ke pihak yang lain, tapi juga…dalam pribadi seseorang itu. Istilahnya, jika ia jadi tokoh masyarakat, jadilah tokoh bagi orang-orang terdekatnya juga.
Terkadang kebengisan, kekerdilan, kebijakannya yang tidak adil, justru terungkap melalui kesaksian yang diam, kesaksian orang-orang yang sekian lama kena getah dan sasaran amarah, dan membendung rasa muak menyaksikan ia punya polah tingkah.
Dalam ajaran jurnalisme – wawancara untuk menggali informasi. Tapi dalam realita, wawancara terkadang jadi peluang memanipulasi informasi. Di televisi, semua yang diberi ajang bicara, tentunya sudah pasang kuda-kuda untuk berkelit ini dan itu. Sehingga, penjahat di depan mata susah sekali ditangkapnya.
Semua tokoh berkata baik. Kebaikan kata-kata, menjadi kebalikan dari pepatah ini -- Rame ing gawe sepi ing pamrih.
Jkt, 28 Sept 2011
Kamis, 22 September 2011
Cermin
oleh fiqoh
Ada yang berkesimpulan bahasa adalah cermin kepribadian. Hingga apa yang tertata kita anggap itulah yang terbaik.
Tapi...
”Lo”, “Gue”, “Anjrit!” terkadang lebih lugas dan jujur – apa yang dikatakan, apa yang dilakukan. Yang selalu ditata, kadang bukan apa adanya, kadang ada rekayasa (contohnya saat aku menulis ini, hehe).
Makanya, kita sering mendapati pembicaraan dan kata-kata yang terlalu banyak menjadi tanpa makna. Salah satunya ya pidato-pidato pejabat gitu lho…kerjanya saling memuji dan memuja.
Dan di sekitarku, aku sering melihat dan sering membuktikan juga. Sebuah komitmen yang bahkan bertaruh nyawa hanya dibangun melalui toast dua telapak tangan dan ucapan, “Beres coy!”
Janji esok datang, dia datang. Berkata akan pergi, dia pergi. Mereka pergi.
Kita tak perlu terjebak pada aturan main berbahasa yang baik dan benar. Hingga tanpa disadari kita bagai hakim di luar pengadilan, menguliti pribadi-pribadi hanya karena kemasan yang tak rapi.
Sampai kapanpun, cermin hanya bisa memantulkan benda. Bukan pribadi, bukan jiwa. Cermin kepribadian bukan bahasa, tapi perbuatan.
Terlalu dangkal dan sembrono mengukur pribadi dari kata-kata. Karena banyak indikasi-indikasi yang lainnya. Dan bahasa bukan satu-satunya. Tentu ini terkait dengan apa yang kita sebut sebagai "kepribadian" yang identik dengan kebaikan. Untuk konteks ksuksesan, itu soal lain, dimana kiat-kiat dan berbabagai kecapakan sangat kita perlukan.
Makanya, belajar itu wajib... :)
(Tulisan ini terinspriasi oleh orang-orang yang selama ini kita anggap urakan, atau kita sebut preman -- freeman).
Jakarta, 22 Sept 2011
Ada yang berkesimpulan bahasa adalah cermin kepribadian. Hingga apa yang tertata kita anggap itulah yang terbaik.
Tapi...
”Lo”, “Gue”, “Anjrit!” terkadang lebih lugas dan jujur – apa yang dikatakan, apa yang dilakukan. Yang selalu ditata, kadang bukan apa adanya, kadang ada rekayasa (contohnya saat aku menulis ini, hehe).
Makanya, kita sering mendapati pembicaraan dan kata-kata yang terlalu banyak menjadi tanpa makna. Salah satunya ya pidato-pidato pejabat gitu lho…kerjanya saling memuji dan memuja.
Dan di sekitarku, aku sering melihat dan sering membuktikan juga. Sebuah komitmen yang bahkan bertaruh nyawa hanya dibangun melalui toast dua telapak tangan dan ucapan, “Beres coy!”
Janji esok datang, dia datang. Berkata akan pergi, dia pergi. Mereka pergi.
Kita tak perlu terjebak pada aturan main berbahasa yang baik dan benar. Hingga tanpa disadari kita bagai hakim di luar pengadilan, menguliti pribadi-pribadi hanya karena kemasan yang tak rapi.
Sampai kapanpun, cermin hanya bisa memantulkan benda. Bukan pribadi, bukan jiwa. Cermin kepribadian bukan bahasa, tapi perbuatan.
Terlalu dangkal dan sembrono mengukur pribadi dari kata-kata. Karena banyak indikasi-indikasi yang lainnya. Dan bahasa bukan satu-satunya. Tentu ini terkait dengan apa yang kita sebut sebagai "kepribadian" yang identik dengan kebaikan. Untuk konteks ksuksesan, itu soal lain, dimana kiat-kiat dan berbabagai kecapakan sangat kita perlukan.
Makanya, belajar itu wajib... :)
(Tulisan ini terinspriasi oleh orang-orang yang selama ini kita anggap urakan, atau kita sebut preman -- freeman).
Jakarta, 22 Sept 2011
Selasa, 20 September 2011
Huhhh...!
Jalan Raya Bitung, Tangerang menjelang 00:00
Hampir tengah malam,sopir angkot hanya mengankut dua penumpang. Bertiga kami menyusuri jalan raya Cimone - Balaraja. Sopir nampak lelah fisik dan mencemaskan setoran. Aku melihatnya ia sering menghitung-hitung uang lembaran lusuh, menggelang, menerawang, dan menggumam.
Angkot tua rawan ngadat dan rem yang tak pakem.
Di depan, di bawah jembatan layang, sepeda motor melenggang di tengah jalan raya lintas cepat. Pengendaranya seorang bapak membawa anak kecil dan perempuan.
Motor hanya berjarak sekitar satu meter di depan angkot, di posisi tengah, di antara laju cepat kendaraan lain yang menyalip kagok dari kiri dan kanan. Supir angkot mengira motor akan menambah laju begitu mendengar klakson dan suara rem. Tapi berondongan klakson dari sopir angkot yang panik, injakan rem yang menimbulkan suara berdecit-decit, tak membuat motor itu menambah laju atau bergeser menepi.
Pengendara motor tetap bergeming – hanya menoleh, tetap di tengah, dan kembali melenggang santai dengan kaki lebih mengangkang.
Sopir angkot hanya diam. Tapi tenaga dikerahkan habis-habisan untuk mengerem dan menginjak kopling hingga mata cekungnya mendelik. Seluruh energi bagai tersedot dalam perjuangan menahan laju. Semua dilakukan dalam diam – mungkin sudah kehabisan energy untuk marah, atau memang dia bukan tipe gampang marah. Dan mulutku yang reflek mendamprat “nggak pake otak itu orang! Kalau mau jalan santai, di pinggir dong!!!”
Ahhh! Dalam kemangkelan, hatiku terus berbicara, bahkan berpidato di antara kesunyian tanpa pendengar.
Biinatang lebih peka terhadap suara atau bunyi-bunyian seperti dor, dug, atau gesrek dari langkah yang tertahan atau bayangan samar sosok yang mendendap-endap. Kenapa manusia malah tuli dan buta dari bunyi klakson yang memekakkan telinga dan bisa mencelakakannya???
Andai aku jadi istri yang nyemplak di boncengan itu, pasti nafsuku akan hilang di tempat tidur. Aku tak akan nyaman bercinta dengan lelaki yang telah bersifat sembrono dan arogan.Cinta itu bersyarat -- baik dibalas baik. lembut dibalas lembut, hormat dibalas hormat, dan tak setia disuruh ke LAUT.
Bukan artinya kita jadi tanpa prinsip, tapi ini bagian dari sangsi sosial antarmanusia dan bagaimana kecerdasan emosi berfungsi. Kita perlu punya sikap terhadap sesuatu, agar ajaran, hukum dan peraturan memang berjalan. Anggap saja kita berlatih mencicil proses "hari pembalasan" bahwa manusia tak bisa mengelak untuk menerima akibat atau imbalan sesuai amal perbuatan.
Banyak manusia celaka lebih karena ulahnya atau sering kita sebut human error. Tapi binatang tidak, kecuali dilukai oleh manusia. Karena binatang memiliki kejernihan untuk memelihara ketajaman instingnya, dengan menjaga karunia dan anugerah dari-Nya (berupa insting), tanpa menghalanginya dengan sifat keegoan atau sifat BE-LA-GU.
Intuisi, anugerah, wisik,feeling hingga ilham sejatinya bagai atmosfir yang berseliweran di sekeliling kita dalam udara yang kita hirup. Tapi semua bisa sirna karena kitalah yang menutupnya dengan berbagai kesombongan, keegoisan, KE-A-KU-AN.
Hingga anugerah itu sirna, bagai udara bersih yang dicemari polusi.
Tangerang, 19 September 2011
Hampir tengah malam,sopir angkot hanya mengankut dua penumpang. Bertiga kami menyusuri jalan raya Cimone - Balaraja. Sopir nampak lelah fisik dan mencemaskan setoran. Aku melihatnya ia sering menghitung-hitung uang lembaran lusuh, menggelang, menerawang, dan menggumam.
Angkot tua rawan ngadat dan rem yang tak pakem.
Di depan, di bawah jembatan layang, sepeda motor melenggang di tengah jalan raya lintas cepat. Pengendaranya seorang bapak membawa anak kecil dan perempuan.
Motor hanya berjarak sekitar satu meter di depan angkot, di posisi tengah, di antara laju cepat kendaraan lain yang menyalip kagok dari kiri dan kanan. Supir angkot mengira motor akan menambah laju begitu mendengar klakson dan suara rem. Tapi berondongan klakson dari sopir angkot yang panik, injakan rem yang menimbulkan suara berdecit-decit, tak membuat motor itu menambah laju atau bergeser menepi.
Pengendara motor tetap bergeming – hanya menoleh, tetap di tengah, dan kembali melenggang santai dengan kaki lebih mengangkang.
Sopir angkot hanya diam. Tapi tenaga dikerahkan habis-habisan untuk mengerem dan menginjak kopling hingga mata cekungnya mendelik. Seluruh energi bagai tersedot dalam perjuangan menahan laju. Semua dilakukan dalam diam – mungkin sudah kehabisan energy untuk marah, atau memang dia bukan tipe gampang marah. Dan mulutku yang reflek mendamprat “nggak pake otak itu orang! Kalau mau jalan santai, di pinggir dong!!!”
Ahhh! Dalam kemangkelan, hatiku terus berbicara, bahkan berpidato di antara kesunyian tanpa pendengar.
Biinatang lebih peka terhadap suara atau bunyi-bunyian seperti dor, dug, atau gesrek dari langkah yang tertahan atau bayangan samar sosok yang mendendap-endap. Kenapa manusia malah tuli dan buta dari bunyi klakson yang memekakkan telinga dan bisa mencelakakannya???
Andai aku jadi istri yang nyemplak di boncengan itu, pasti nafsuku akan hilang di tempat tidur. Aku tak akan nyaman bercinta dengan lelaki yang telah bersifat sembrono dan arogan.Cinta itu bersyarat -- baik dibalas baik. lembut dibalas lembut, hormat dibalas hormat, dan tak setia disuruh ke LAUT.
Bukan artinya kita jadi tanpa prinsip, tapi ini bagian dari sangsi sosial antarmanusia dan bagaimana kecerdasan emosi berfungsi. Kita perlu punya sikap terhadap sesuatu, agar ajaran, hukum dan peraturan memang berjalan. Anggap saja kita berlatih mencicil proses "hari pembalasan" bahwa manusia tak bisa mengelak untuk menerima akibat atau imbalan sesuai amal perbuatan.
Banyak manusia celaka lebih karena ulahnya atau sering kita sebut human error. Tapi binatang tidak, kecuali dilukai oleh manusia. Karena binatang memiliki kejernihan untuk memelihara ketajaman instingnya, dengan menjaga karunia dan anugerah dari-Nya (berupa insting), tanpa menghalanginya dengan sifat keegoan atau sifat BE-LA-GU.
Intuisi, anugerah, wisik,feeling hingga ilham sejatinya bagai atmosfir yang berseliweran di sekeliling kita dalam udara yang kita hirup. Tapi semua bisa sirna karena kitalah yang menutupnya dengan berbagai kesombongan, keegoisan, KE-A-KU-AN.
Hingga anugerah itu sirna, bagai udara bersih yang dicemari polusi.
Tangerang, 19 September 2011
Selasa, 13 September 2011
Kebinatangan
oleh fiqoh
Manusia disebut makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Ah, masak?
Karena binatang lebih sering kita maknai sebagai makhluk yang dalam hidupnya hanya berorientasi pada keserakahan berburu makan, makhluk yang tak menggunakan akal budi, tak punya perasaan dan hanya dihinggapi syahwat.
Binatang tidak mengenal apa yang sering kita sebut kemanusiaan atau humanisme. Sedangkan manusia sangat lekat dengan istilah-istilah itu. Banyak dari kita rindu dijuluki sebagai orang yang humanis dan pemerhati kemanusiaan. Karena itu, untuk perilaku keji yang kita lakukan, kita enggan menggunakan istilah manusia.
Bahkan untuk kelalaian dan kesengajaan yang merugikan hidup khalayak, kita masih menyebutnya manusiawi untuk mewajarkan. Dan untuk kemuliaan perbuatan, kita akan memberi julukan humanis.
Apa bedanya humanis dan kemanusiaan?
Adalah manusiawi bila kita lalai dan berbuat keliru, meski kekeliruan itu terkadang sebuah kesalahan besar dan fatal. Adalah manusiawi jika kita berhak atas kebendaaan, berhak hidup mewah, meski untuk itu kita melakukan perburuan melampauai batas-batas norma. Perburuan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya mengambil yang nampak dari alam, tapi juga menggali hingga ke dalam, menebang, mengeruk, mengeksplorasi dan mengekploitasi bumi. Perburuan manusia bahkan tidak sebatas untuk makan keluarga kecilnya hari itu, tapi juga mendepositkannya di bank-bank, dan menumpuknya di gudang-gudang untuk bekal tujuh turunan kadang lebih. Sedangkan binatang tidak.
Lebih dari itu, manusia juga berburu harta dan tahta. Manusia mengenal intrik, kepentingan komplotan dan berkonspirasi. Sedangkan binatang tidak.
Bagaimana nafsu syahwatnya?
Binatang bersenggama hanya pada periode tertentu untuk melakukan pembuahan. Contohnya ikan-ikan, kucing, gajah, kambing, burung, dan lainnya. Persenggamaan untuk beregenerasi, tidak untuk membuang-buang sperma di sembarang tempat. Maka tak asing lagi kita mengenal istilah musim kawin bagi binatang di sekitar kita – saat purnama penuh musimnya kucing kawin misalnya. Tapi manusia, kawin tak mengenal musim.
Gerombolan burung-burung camar menarik perhatian temanku minggu-minggu belakangan ini. Lebih dari 50 sarang mereka bergerandulan di pelapah-pelapah pohon palem yang menaungi kran air yang biasa kami ambil untuk keperluan memasak.
Tiap pagi saat aku dan temanku mengambil air, burung-burung itu sudah bercericit, terbang jauh dan kembali ke sarang membawa makanan. Mereka bangun lebih awal dariku, sekitar pukul 5:30.
Pohon palem yang menjulang di pelataran masjid di perumahan Taman Adiyasa Tangerang itu hampir didominasi oleh sarang mereka. Sekilas segalanya nampak biasa.
***
Dua minggu sudah kulalui sebagai warga baru di dalam masyarakat itu. Dua minggu tanpa absen mengantri air bersama para ibu-ibu dan bapak-bapak, juga pemuda-pemuda tanggung. Mareka datang dari berbagai blok perumahan itu. Dua minggu baru kusadari kertas-kertas yang menempel di berbagai tempat, berisi pengumuman dan himbauan, bahwa bagi warga yang ingin mengambil air untuk kepentingan pribadi agar mengambil sebelum dan sesudah jam-jam sholat -- subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya. Maksudnya agar kepentingan masyarakat yang ingin beribadah tetap terpenuhi. Dua minggu itu juga aku menyaksikan ada warga yang tak mengindahkan himbauan itu, termasuk diriku.
Di pagi yang masih petang, aku dan temanku Nur menjadi pengambil air yang datang paling awal. Selanjutnya dua bapak dan tiga anak menyusul ditambah ibu-ibu. Sambil mengantri Nur memandang sarang-sarang burung camar yang menjuntai-juntai di setiap pelapah pohon. Aku menghitungnya, satu pelapah ada 12 sarang. Dan pelapah lainnya dihuni rata-rata tiga sampai sembilan sarang..
“Kenapa burung-burung itu lebih suka membuat sarang di pelapah yang itu?” tanyakau pada Nur.
Nur memperhatikan sarang-sarang itu beberapa saat.
“Sepertinya, mereka lebih merasa nyaman dan aman di pelapah itu,” jawabnya tanpa melepaskan pandangannya ke atas.
“Alasannya?”
“Coba perhatikan. Pelapah itu tepat di atas pintu masjid. Otomatis, orang tidak akan mengusik karena di pintu utama ini orang sering lalu-lalang. Mungkin pikir burung, orang-orang juga akan menegur si pengusik sarang dengan berbagai alasan -- karena akan bikin kotor halaman dan mungkin yang lain akan melarang karena empati terhadap binatang-bintang itu.”
Kini aku lebih cermat mengamati pelapah yang menghadap ke luar pagar di atas jalanan lepas. Di sana hanya ada tiga sarang menempati puncak paling atas dan tertutup daun yang menekuk. Kuamati sarang-sarang lain, di pelapah yang lain, dan kecenderungannya hampir sama. Benar-benar perhitungan yang cantik dan cerdik. Sebuah naluri yang hidup dan peka.
Pada saat itu, tiba-tiba aku teringat berbagai kasus kecelakaan di jalan raya yang sering kusaksikan sendiri. Di suatu malam, seorang bapak dengan istri dan dua anaknya tergeletak mandi darah di dekat pembatas jalan di Tangerang. Di tempat terpisah seorang bapak dengan istri dan anaknya yang masih kecil meninggal di tempat dalam kecelakaan di perempatan lampu merah, karena motor yang dikemudikan oleh bapak-bapak itu tancap gas saat lampu rambu-rambu sedang menyelesaikan hitungan detik keenam puluh dari merah berganti hijau.
Kembali kulihat sarang burung camar. Kejelian binatang membidik pelapah yang aman untuk bersembunyi, saya yakini bukan sebuah kebetulan. Mereka menggunakan intuisi dan nalurinya. Naluri yang penuh perasaan, dan kasih. Peletakan sarang, rumput pilihan, pembuatan lobang pintu yang diatur sedemikian rupa, semua bertujuan agar keluarga kecilnya hidup nyaman dan aman. Tapi, kenapa manusia sering ceroboh saat membawa nyawa orang-orang yang katanya ia cintai?
Saat aku memikirkan itu, Nur bilang, manusia kalah dengan burung.
“Kenapa?” begitu tanyaku untuk iseng-iseng menyelidik.
“Burung-burung itu lebih tertib dan disiplin,” katanya sambil memandangku dengan tatapan mengejekku.
“Mereka pagi-pagi sudah bangun untuk mencari makan buat anak-anaknya. Mencari rumput-rumput pilihan untuk sarang. Tidak seperti...,” Nur tak melanjutkan kalimatnya dan lagi-lagi menatapku dengan penuh kemenangan saat aku merasa tersindir. Tawa kami pun berderai.
“Aku mengerti arah pembicaraanmu, kamu akan bilang tidak seperiku yang suka bangun kesiangan kan? Puasss…?” Jawabku berkelakar.
“Selain itu, banyak nilai-nilai pada binatang itu yang tak dimiliki kebanyakan manusia. Sebelum punya anak, burung-burung berpikir mempunyai rumah. Sedang manusia, sudah punya anak banyak tapi tak berpikir bikin rumah. Ada yang keenakan numpang di tempat mertua, dan bahkan malas bekerja.”
“Betul,” kataku.
“Manusia tidak konsisten terhadap kemanusiaannya. Betapa banyak dari kita yang terus melemparkan perilaku buruknya dengan menggunakan istilah “kebinatangan”? Tapi Binatang tetap konsisten akan kebinatangannya. Tidak ada binatang yang memakai istilah “kemanusiaan” untuk menghindar dari perilakunya bukan?”
“Betul juga.”
Berantem tetangga kost di Jakarta kembali terngiang. Suara gaduh karena percekcokan, benturan tubuh ke dinding disertai jeritan yang menyayat, gemerincing pecahan cermin dan piring yang dilempar, juga makian satu sama lain yang bersahutan-sahuatan.
Sang suami selingkuh dan lama tak pulang. Menelantarkan istri dan anak-anak. Si istri dan anaknya berhari-hari dirundung kesengsaraan, makan dari pemberian tetangga, kadang juga makan dari hasil menjual jasa mencuci dan menyetrika. Suaminya kasar dan suka memukul, menonjok, menendang. Sang istri yang depresi sering melampiaskan kemarahan pada anaknya.
Untuk semua perilaku keji yang tak terperi, perilaku yang melukai hati dan perasaan, penganiayaan itu, para tetangga menyebut sifat suaminya benar-benar seperti binatang!
Tadinya aku turut membenarkan ungkapan itu. Tapi burung-burung dan percakapanku dengan Nur membuatku harus berpikir ulang. Kenapa di saat manusia berbuat kesalahan mereka akan menyebut itu manusiawi. Dan jika manusia berbuat kebaikan kita akan menyematkan predikat humanis – sangat mulia, luhur, agung.
Apa sejatinya hakekat kemanusiaan dan kebinatangan? Ketika, manusia gagal menjadi humanis kita timpakan perilaku buruk itu pada binatang?
Beranikah kita menciptakan sebuah ungkapan yang berasal dari kata dasar manusia, untuk menggambarkan titik balik dari apa yang kita sebut mulia?
Semakin nampak betapa manusia memang licik. Meminjam istilah kebinatangan, agar manusia tetap bisa menyandang makhluk paling sempurna dan mulia dari makhluk lainnya. Padahal mulia dan sempurna adalah soal akhlak, bukan soal bentuk tubuh dan rupa kita dari binatang-binatang itu.
Jakarta, 13 September 2011 pkl 05:30
Manusia disebut makhluk ciptaan Allah yang paling mulia. Ah, masak?
Karena binatang lebih sering kita maknai sebagai makhluk yang dalam hidupnya hanya berorientasi pada keserakahan berburu makan, makhluk yang tak menggunakan akal budi, tak punya perasaan dan hanya dihinggapi syahwat.
Binatang tidak mengenal apa yang sering kita sebut kemanusiaan atau humanisme. Sedangkan manusia sangat lekat dengan istilah-istilah itu. Banyak dari kita rindu dijuluki sebagai orang yang humanis dan pemerhati kemanusiaan. Karena itu, untuk perilaku keji yang kita lakukan, kita enggan menggunakan istilah manusia.
Bahkan untuk kelalaian dan kesengajaan yang merugikan hidup khalayak, kita masih menyebutnya manusiawi untuk mewajarkan. Dan untuk kemuliaan perbuatan, kita akan memberi julukan humanis.
Apa bedanya humanis dan kemanusiaan?
Adalah manusiawi bila kita lalai dan berbuat keliru, meski kekeliruan itu terkadang sebuah kesalahan besar dan fatal. Adalah manusiawi jika kita berhak atas kebendaaan, berhak hidup mewah, meski untuk itu kita melakukan perburuan melampauai batas-batas norma. Perburuan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya mengambil yang nampak dari alam, tapi juga menggali hingga ke dalam, menebang, mengeruk, mengeksplorasi dan mengekploitasi bumi. Perburuan manusia bahkan tidak sebatas untuk makan keluarga kecilnya hari itu, tapi juga mendepositkannya di bank-bank, dan menumpuknya di gudang-gudang untuk bekal tujuh turunan kadang lebih. Sedangkan binatang tidak.
Lebih dari itu, manusia juga berburu harta dan tahta. Manusia mengenal intrik, kepentingan komplotan dan berkonspirasi. Sedangkan binatang tidak.
Bagaimana nafsu syahwatnya?
Binatang bersenggama hanya pada periode tertentu untuk melakukan pembuahan. Contohnya ikan-ikan, kucing, gajah, kambing, burung, dan lainnya. Persenggamaan untuk beregenerasi, tidak untuk membuang-buang sperma di sembarang tempat. Maka tak asing lagi kita mengenal istilah musim kawin bagi binatang di sekitar kita – saat purnama penuh musimnya kucing kawin misalnya. Tapi manusia, kawin tak mengenal musim.
Gerombolan burung-burung camar menarik perhatian temanku minggu-minggu belakangan ini. Lebih dari 50 sarang mereka bergerandulan di pelapah-pelapah pohon palem yang menaungi kran air yang biasa kami ambil untuk keperluan memasak.
Tiap pagi saat aku dan temanku mengambil air, burung-burung itu sudah bercericit, terbang jauh dan kembali ke sarang membawa makanan. Mereka bangun lebih awal dariku, sekitar pukul 5:30.
Pohon palem yang menjulang di pelataran masjid di perumahan Taman Adiyasa Tangerang itu hampir didominasi oleh sarang mereka. Sekilas segalanya nampak biasa.
***
Dua minggu sudah kulalui sebagai warga baru di dalam masyarakat itu. Dua minggu tanpa absen mengantri air bersama para ibu-ibu dan bapak-bapak, juga pemuda-pemuda tanggung. Mareka datang dari berbagai blok perumahan itu. Dua minggu baru kusadari kertas-kertas yang menempel di berbagai tempat, berisi pengumuman dan himbauan, bahwa bagi warga yang ingin mengambil air untuk kepentingan pribadi agar mengambil sebelum dan sesudah jam-jam sholat -- subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya. Maksudnya agar kepentingan masyarakat yang ingin beribadah tetap terpenuhi. Dua minggu itu juga aku menyaksikan ada warga yang tak mengindahkan himbauan itu, termasuk diriku.
Di pagi yang masih petang, aku dan temanku Nur menjadi pengambil air yang datang paling awal. Selanjutnya dua bapak dan tiga anak menyusul ditambah ibu-ibu. Sambil mengantri Nur memandang sarang-sarang burung camar yang menjuntai-juntai di setiap pelapah pohon. Aku menghitungnya, satu pelapah ada 12 sarang. Dan pelapah lainnya dihuni rata-rata tiga sampai sembilan sarang..
“Kenapa burung-burung itu lebih suka membuat sarang di pelapah yang itu?” tanyakau pada Nur.
Nur memperhatikan sarang-sarang itu beberapa saat.
“Sepertinya, mereka lebih merasa nyaman dan aman di pelapah itu,” jawabnya tanpa melepaskan pandangannya ke atas.
“Alasannya?”
“Coba perhatikan. Pelapah itu tepat di atas pintu masjid. Otomatis, orang tidak akan mengusik karena di pintu utama ini orang sering lalu-lalang. Mungkin pikir burung, orang-orang juga akan menegur si pengusik sarang dengan berbagai alasan -- karena akan bikin kotor halaman dan mungkin yang lain akan melarang karena empati terhadap binatang-bintang itu.”
Kini aku lebih cermat mengamati pelapah yang menghadap ke luar pagar di atas jalanan lepas. Di sana hanya ada tiga sarang menempati puncak paling atas dan tertutup daun yang menekuk. Kuamati sarang-sarang lain, di pelapah yang lain, dan kecenderungannya hampir sama. Benar-benar perhitungan yang cantik dan cerdik. Sebuah naluri yang hidup dan peka.
Pada saat itu, tiba-tiba aku teringat berbagai kasus kecelakaan di jalan raya yang sering kusaksikan sendiri. Di suatu malam, seorang bapak dengan istri dan dua anaknya tergeletak mandi darah di dekat pembatas jalan di Tangerang. Di tempat terpisah seorang bapak dengan istri dan anaknya yang masih kecil meninggal di tempat dalam kecelakaan di perempatan lampu merah, karena motor yang dikemudikan oleh bapak-bapak itu tancap gas saat lampu rambu-rambu sedang menyelesaikan hitungan detik keenam puluh dari merah berganti hijau.
Kembali kulihat sarang burung camar. Kejelian binatang membidik pelapah yang aman untuk bersembunyi, saya yakini bukan sebuah kebetulan. Mereka menggunakan intuisi dan nalurinya. Naluri yang penuh perasaan, dan kasih. Peletakan sarang, rumput pilihan, pembuatan lobang pintu yang diatur sedemikian rupa, semua bertujuan agar keluarga kecilnya hidup nyaman dan aman. Tapi, kenapa manusia sering ceroboh saat membawa nyawa orang-orang yang katanya ia cintai?
Saat aku memikirkan itu, Nur bilang, manusia kalah dengan burung.
“Kenapa?” begitu tanyaku untuk iseng-iseng menyelidik.
“Burung-burung itu lebih tertib dan disiplin,” katanya sambil memandangku dengan tatapan mengejekku.
“Mereka pagi-pagi sudah bangun untuk mencari makan buat anak-anaknya. Mencari rumput-rumput pilihan untuk sarang. Tidak seperti...,” Nur tak melanjutkan kalimatnya dan lagi-lagi menatapku dengan penuh kemenangan saat aku merasa tersindir. Tawa kami pun berderai.
“Aku mengerti arah pembicaraanmu, kamu akan bilang tidak seperiku yang suka bangun kesiangan kan? Puasss…?” Jawabku berkelakar.
“Selain itu, banyak nilai-nilai pada binatang itu yang tak dimiliki kebanyakan manusia. Sebelum punya anak, burung-burung berpikir mempunyai rumah. Sedang manusia, sudah punya anak banyak tapi tak berpikir bikin rumah. Ada yang keenakan numpang di tempat mertua, dan bahkan malas bekerja.”
“Betul,” kataku.
“Manusia tidak konsisten terhadap kemanusiaannya. Betapa banyak dari kita yang terus melemparkan perilaku buruknya dengan menggunakan istilah “kebinatangan”? Tapi Binatang tetap konsisten akan kebinatangannya. Tidak ada binatang yang memakai istilah “kemanusiaan” untuk menghindar dari perilakunya bukan?”
“Betul juga.”
Berantem tetangga kost di Jakarta kembali terngiang. Suara gaduh karena percekcokan, benturan tubuh ke dinding disertai jeritan yang menyayat, gemerincing pecahan cermin dan piring yang dilempar, juga makian satu sama lain yang bersahutan-sahuatan.
Sang suami selingkuh dan lama tak pulang. Menelantarkan istri dan anak-anak. Si istri dan anaknya berhari-hari dirundung kesengsaraan, makan dari pemberian tetangga, kadang juga makan dari hasil menjual jasa mencuci dan menyetrika. Suaminya kasar dan suka memukul, menonjok, menendang. Sang istri yang depresi sering melampiaskan kemarahan pada anaknya.
Untuk semua perilaku keji yang tak terperi, perilaku yang melukai hati dan perasaan, penganiayaan itu, para tetangga menyebut sifat suaminya benar-benar seperti binatang!
Tadinya aku turut membenarkan ungkapan itu. Tapi burung-burung dan percakapanku dengan Nur membuatku harus berpikir ulang. Kenapa di saat manusia berbuat kesalahan mereka akan menyebut itu manusiawi. Dan jika manusia berbuat kebaikan kita akan menyematkan predikat humanis – sangat mulia, luhur, agung.
Apa sejatinya hakekat kemanusiaan dan kebinatangan? Ketika, manusia gagal menjadi humanis kita timpakan perilaku buruk itu pada binatang?
Beranikah kita menciptakan sebuah ungkapan yang berasal dari kata dasar manusia, untuk menggambarkan titik balik dari apa yang kita sebut mulia?
Semakin nampak betapa manusia memang licik. Meminjam istilah kebinatangan, agar manusia tetap bisa menyandang makhluk paling sempurna dan mulia dari makhluk lainnya. Padahal mulia dan sempurna adalah soal akhlak, bukan soal bentuk tubuh dan rupa kita dari binatang-binatang itu.
Jakarta, 13 September 2011 pkl 05:30
Langganan:
Postingan (Atom)