JURNALISME DAN FIKSI
Ada yang tidak biasa dengan suasana sore itu. Kursi-kursi ditata di depan ruang kelas yang biasa kami gunakan. “Supaya tidak bosan,” kata Rina si pencetus ide pertama. Lalu setengah berbisik ia menyampaikan alasan lainnya. Menurut Rina menu malam itu adalah nasi tumpeng, maka sengaja tempat diskusi didekatkan dengan meja hidangan, supaya peserta bisa bersantap saat diskusi berlangsung. Apalagi bagi mereka yang datang terlambat. Saya mengangguk sambil tersenyum. Tak urung, tawa kami pun pecah bersama.
Ini merupakan pertemuan terakhir dalam kelas narasi angkatan ketiga yang sudah berlangsung sejak 6 November 2007. Emmy dan Diana datang lebih awal. Tak lama, Lydia, Peni, Indarti, dan Eko menyusul. Seluruhnya ada enam orang. Para peserta lainnya hanya mengabarkan melalui sms bahwa mereka tak bisa datang dengan berbagai alasan.
“Apa yang kurang, silahkan ditanggapi. Itu penting bagi kami untuk memperbaiki kursus selanjutnya,” kata Budi Setiyono yang sering disapa Buset, membuka percakapan. Buset meminta peserta merinci berbagai kekurangan dalam pelaksanaan kursus selama empat bulan. Misalnya tentang sistem, silabus, instruktur, materi atau bahan bacaan, pembuatan tugas, serta pengerjaan proyek menulis sebagai tugas akhir yang sejauh ini belum dikerjakan para peserta.
Buset juga memberikan catatan bahwa sebenarnya kursus ini seperti kuliah. Kreatifitas peserta turut menentukan perkembangan proses pemahaman. Tapi selama ini, dari 19 peserta, hanya 8 orang yang mengerjakan tugas, itupun tidak rutin. Buset, memandangi laporan tugas peserta yang saya berikan. Ia tersenyum. Namun sesaat kemudian ia menghembuskan helaan nafas dalam.
“Untuk proses penulisan, boleh dikerjakan kapan pun. Kalau mau diskusi atau sharing, tetap bisa kita lakukan. Sampai kapanpun,” kata Buset. Ia kembali meminta peserta memberikan masukan.
“Dari awal sampai akhir, saya melihat silabusnya bersifat menstimulus. Nggak ada yang teknikal. Kami pengen tahu misalnya membedah satu tulisan, lalu dipelajari kesulitannya di mana. Sedari mencari data mentah, memilah dan mengolahnya. Adegan itu gimana ya…misalnya, apa yang membuat tulisan jadi hidup,” ungkap Peni.
Menanggapi Peni, Buset mengungkapkan kesulitannya membuat silabus yang memang tidak bisa baku. Silabus harus disesuaikan dengan latar belakang peserta. Cocok untuk angkatan sebelumnya, belum tentu pas bagi angkatan berikutnya. Buset berpikir bahwa silabus memang sebaiknya dibuat setelah tahu latar belakang peserta.
Diskusi pun berjalan terus. Berbagai ungkapan muncul dari peserta dari soal wawancara hingga ke penyediaan waktu khusus untuk membahas bahan bacaan. Sempat juga muncul usulan dari peserta agar menghadirkan penulis perempuan sebagai pembicara tamu di kelas. Beberapa peserta mempertanyakan, apakah faktor gender berpengaruh dalam penulisan, pemilihan diksi, tema, angle, atau sudut pandang? Para peserta merujuk beberapa nama untuk dimasukkan sebagai pembicara pada angkatan berikutnya. Ada Jenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Ayu Utami, juga Linda Christanty.
Saat diskusi masih berlangsung, seorang perempuan melintas dengan langkah gesit di hadapan peserta. Diana, salah satu peserta yang sudah mengenalnya, meminta saya untuk menyampaikan agar dia mau mengisi sesi sebentar.
Tak sampai dua menit, perempuan tadi sudah berada di tengah-tengah peserta.
“Apa kabar…?” sapanya kemudian. Ia adalah Linda Christanty. Seorang penulis yang pernah meraih Khatulistiwa award untuk novelnya yang berjudul Kuda Terbang Maria Pinto dan saat ini menjadi editor untuk Pantau Aceh feature service.
Linda mengambil tempat duduk di sebelah Buset. Diana langsung mengutarakan maksudnya kepada Linda.
“Minta sedikit aja, apa sih beda fiksi dengan jurnalisme yang harus fakta,” pinta Diana dengan suara pelan.
“Kalau jurnalisme itu harus fakta, semuanya fakta. Ketika kita mendeskripsikan suasana, atau pemandangan. Juga ketika menggambarkan tentang bau, warna langit, angin, itu harus kenyataan dan tidak boleh ngarang. Tapi kalau dalam fiksi kita bisa mengarang, misalnya tentang langit berwarna jingga, warna biru, atau kuning, atau… bahkan kita bisa berfantasi dengan warna yang kita suka, karena nggak terikat dengan hukum-hukum yang mengharuskan.... Kalau dalam jurnalisme ya harus fakta, fakta, dan fakta,” kata Linda seraya melihat ke beberapa peserta.
“Nah, ini jadi perdebatan menarik selama ini antara aku sama Mas Andreas. Dia mendasarkan semua penulisan itu harus dengan riset, dokumentasi, kayak misalnya A.S. Darta, itu nggak boleh ada yang melenceng, jadi kayak kehidupan A.S. Darta itu harus bener. Memang seperti itu, apa yang dialaminya, yang bener dialami, dari dia lahir sampai meninggal. Nggak ada yang dikarang,” imbuh Linda.
Linda menjelaskan bagaimana memasukkan fakta-fakta sejarah ke dalam tulisan novel atau fiksi yang hingga saat ini masih dalam perdebatan tentang persentasenya. Namun, jika kita hendak menulis novel sejarah, meski tokohnya bisa difiktifkan, tidak demikian dengan latar belakangnya. Nilai sejarahnya tetap harus benar. Artinya, tidak boleh memfiktifkan nilai sejarah.
Dalam kesempatan itu, Linda menyinggung pengalamannya ketika mengikuti sebuah acara di Hongkong yang di antaranya membahas tentang seberapa jauh penulis fiksi bisa menggunakan fakta-fakta dalam sejarah atau peristiwa dalam sejarah sebagai latar. Seberapa besar mereka boleh berkreatifitas serta berimajinasi dengan menggunakan sejarah dalam karya fiksi. Namun, Linda tidak sempat mengikuti pembahasan tentang itu karena harus segera meninggalkan Hongkong. Sehingga ia tidak bisa bercerita banyak soal ini. Linda diam sesaat, lalu menawarkan alamat email Gail Jones, pengajar sastra, budaya, dan film di University of Western Australia. Ia meminta ijin untuk ke ruang sebelah, mengambil kartu nama Jones.
Saat Linda ke ruang sebelah, Buset memaparkan tentang sebuah novel yang menceritakan Aceh. Bagi banyak sejarahwan novel itu banyak mengandung fakta-fakta keras dan dalam sejarah, karya novel itu banyak dipakai sebagai bahan acuan meskipun bukan primer melainkan sekunder. Terutama jika ada kekurangan data atau dokumen resmi, seperti yang dilakukan sejarahwan Benedict Anderson, ia selalu mengutip tulisan Pramoedya Ananta Toer.
“Meskipun begitu, harus hati-hati juga untuk menggunakan itu dalam karya non fiksi. Kalau saya, setetes pun ada fiksi di situ, itu akan jadi karya fiksi,” kata Buset.
Saat itu, Linda sudah kembali ke ruangan. Menyambung kalimat Buset, Linda menjelaskan bahwa fiksi memang bukan fakta, meski latar belakang dan kejadiannya benar. Dalam jurnalisme, meski hanya mengubah nama tokoh, atau setitik saja ada hal yang dikarang atau bukan fakta, maka ia tidak lagi menjadai karya jurnalisme. Namun, tak jarang juga bahwa fiksi bisa membentuk fakta yang lain. Bagaimana bisa terjadi?
Linda menuturkan dari tulisan yang ia baca pada artikel majalah Granta yang ia lupa edisinya, namun ia janji akan memperbanyak dan membagikannya ke peserta narasi malam itu. Artikel yang mengangkat tokoh bernama Madame Bovary (bukan nama asli). Namun, ternyata tokoh tersebut memang ada dalam dunia nyata. Melaui tulisan tersebut, tokoh aslinya menjadi terkenal, sampai-sampai orang mengenalnya bukan sebagai si A atau si B, tetapi dikenal dengan Madame Bovary. Artinya, tulisan fiksi juga bisa menarik sehingga si tokoh malah bisa terkenal bukan dalam karya jurnalistik tapi dalam karya fiksi.
Eko Rusdianto menanyakan soal pembuatan tulisan Linda yang berjudul “Kuda Terbang Maria Pinto” yang mengambil setting tempat di Timor Leste.
Linda sesungguhnya belum pernah mengunjungi tempatnya. Namun, ia ingin menceritakan perjuangan orang-orang di sana, sehingga ia memfiksikan tempatnya, meski tokoh yang ditulis benar-benar ada. Melalui fiksi, ia tidak merusak apa yang ada di sana, entah itu gunung ataupun nama-nama tumbuhan.
“Nah ini bedanya fiksi dan jurnalimse. Kalau di dalam fiksi, kita bisa menyeleksi fakta-fakta yang kita inginkan saja. Tetapi kalau dalam jurnalisme kita nggak bisa,” kata Linda.
Lebih lanjut Linda memaparkan tentang beda karya fiksi dan jurnalisme. Dalam menulis fiksi, penulis bisa menyeleksi hal-hal yang dianggap penting dan menarik. Artinya, ada sesuatu yang diniatkan, lalu bisa dieksploitasi untuk tujuan tertentu, entah itu supaya menjadi dramatis, mengharukan atau membahagiakan. Intinya ada tendensi di sana. Kejadian-kejadian nyata, bisa dijadikan sebagai inspirasi dalam membuat karya fiksi.
“Jadi kurasa, sudah cukup jelas perbedan fiksi dengan fakta. Kalau fiksi, kita juga harus memperlakukan kejadian itu sebagai fiksi. Artinya kita tidak bisa melakukan cross chek. Meski bisa jadi itu juga memang benar. Meski pada akhirnya ada pembaca yang terpengaruh. Seperti kalau kita nonton film dan orang bilang bahwa itu kok kayak kejadian nyata. Menyedihkan banget, sampai orang berpikir, mungkin tokoh yang diperankan oleh artis itu betul-betul nyata, sampai kita nangis misalnya. Bahkan sampai artisnya kadang ada yang berlibur berbulan-bulan hanya untuk bisa menghilangkan karakter tokoh yang diperankan itu... Tiba tiba ia merasa menjadi pribadi yang lain gitu,” kata Linda.
Di dalam karya sastra, harus ada yang namanya alur, karakter, setting tempat, ada klimaks atau anti klimaks, paparan, distorsi, dan lain-lain, karena ia bercerita. Beda dengan karya jurnalistik, ia berbentuk berita pendek. Di dalam jurnalisme sastrawi yang menyuguhkan gaya bertutur, maka ada unsur sastra seperti alur, struktur, karakter atau tokoh. Di dalam jurnalisme sastrawi juga perlu ada seleksi atau memilih tokoh yang artikulatif dan menarik.
“Kurasa mungkin itu. Kalau masih belum jelas juga, nanti akan saya kirim soal perdebatan fiksi dan fakta itu. Ini pertanyaan menarik,” kata Linda.
Pernyataan Linda disambung dengan ungkapan Indarti Primora, ”Tidak boleh mengarahkan opini, apa lagi mendramatisir. Harus apa adanya. Faktual. Itulah inti dari jurnalisme. Tetapi karya jurnalistik bisa dibuat menarik dan bagus seperti karya sastra, atau seperti menulis novel. Jika dalam fiksi, kita cukup menangkap esensinya. Selanjutnya penulis lebih bebas bereksplorasi, memberi bunga-bunga. Sedangkan dalam jurnalisme sastrawi, supaya lebih hidup, maka perlu banyak menuliskan detil. Bagaimana caranya?”
Mendengar pertanyaan itu, Linda seakan disadarkan akan sesuatu. Ia segera memberi penjelasan tentang detil yang relevan. Sebagai wartawan, memang harus peduli dengan detil, karena menunjukkan bahwa sebuah kejadian memang tidak dikarang-karang. Fakta. Tetapi, jika tidak digunakan secara relevan, maka detil juga bisa mengacaukan, merusak alur dan malah tidak bisa kembali kepada substansi cerita.
Tentang detil, Linda mengisahkan ketika ia membuat tulisan berjudul Hikayat Kebo. Dia harus kembali ke tempat kejadian, hanya untuk memastikan berapa watt lampu di halaman tempat si Kebo dibakar.
“Memang bisa saja pembaca dibohongi…Tapi, untuk apa kita menjadi wartawan kalau kerjanya ngarang-ngarang gitu,” tandas Linda.
Linda diam sesaat. Lalu ia mengisahkan hal lain tentang detil. Kala itu, ia menyuruh seorang wartawan untuk membuat liputan tentang humasnya Oxfam. Karena harus detil, si wartawan sudah banyak mencatat semua hal sejak keberangkatan dari rumah. Ia menceritakan ketika melintasi sebuah jalan, nama jalan, hingga sejarah jalan tersebut. Akhirnya, si wartawan tidak bisa kembali ke tujuan awalnya yaitu meliput humasnya Oxfam.
Linda menjelaskan satu contoh lagi tentang detil yang jika tak relevan akan mengundang persoalan yang sensitif. Misalnya kita mau menulis soal seorang pemerkosa yang anggap saja bernama Sukarno, lalu ditulis: Sukarno yang beretnis Tionghoa itu pemerkosa. Detil yang tidak sesuai akan membuat pembaca berpikir yang negatif terhadap suatu suku, etnis atau penganut kepercayaan tertentu.
“Kalau menurut mbak, selama ini gender itu menjadi faktor pengaruh tulisan apa enggak. Sama-sama junalisme, sama-sama faktual. Mbak kan bilang bahwa dalam jurnlisme, fakta juga bisa kita pilah, artinya yang relefan. Asal kita jangan mengadakan yang tiada dan meniadakan yang ada. Tapi ada nggak perbedaan penulis laki dan perempuan yang mempengaruhi pada angle yang diambil? Mempengaruhi cara kita memilih dan memilah misalnya?” tanya Mora.
“Itu ada pasti ada. Kami dikursuskan dalam waktu dua hari tentang bagaimana menulis dengan kesadaran gender, karena penulis ada lelaki dan perempuan. Dan kalau laki-laki misalnya menulisnya ada kata-kata: Dasar perempuan! Lu kan harusnya memasak aja di rumah, nggak usah ikut-ikut kayak gini. Ternyata itu tidak boleh meskipun hanya bercanda. Itu bias gender,” tegas Linda.
Begitu juga dengan penulis perempuan yang kadang tidak sadar menuliskan hal-hal yang menimbulkan bias misalnya: Sebagai perempuan kodrat kita adalah di rumah menjaga anak, kita harus patuh kepada suami, jadi kalau kita disuruh harus nurut, karena setelah kita kawin surga itu tidak lagi di bawah telapak kaki ibu lagi tapi di suami. Ternyata, dialog seperti itu tidak boleh dilakukan, karena itu bisa menginspirasi orang menjadi tidak menghargai perempuan.
“Dalam pemilihan fakta, emosi kita kadang terbawa juga gitu ya..? Jadi sulit untuk menulis netral gitu lho. Saya pernah baca bahwa seorang penulis harus melupakan semua identitas dia. Triknya gimana untuk mengatasi identitas kita supaya tak kebawa?” tanya Mora.
“Kurasa, kita harus memahami dulu prisnsip dalam jurnalisme. Bagaimana cara melakukan liputan, bagaimana kita bekerja berdasarkan fakta. Lalu seleksi fakta seperti contoh detil itu, artinya yang relevan. Dari latar belakang apapun kita, yang tepenting harus fair, harus balance di dalam melakukan wawancara. Menggunakan prinsip Sembilan Elemen Jurnalisme. Semua pihak yang terlibat harus diwawancarai, karena esensi jurnlisme adalah verifikasi,” tandas Linda.
“Nah, selama ini orang berpikir karena aku ini perempuan otomatis orang berpikir aku ini menulis berkesadaran gender kan? Ternyata tidak. Ternyata aku nulis ada bias gendernya juga. Emosi kita terbawa. Kurasa itu betul. Dan itu bukan hanya menjadi masalah temen-temen, tapi masalahku juga. Sebenarnya, ketika kita menulis, kita tidak hanya berjuang apa yang kita pikirkan menjadi tulisan, tapi kita juga berjuang agar kita tidak bias agama, gender, dan itu perjuangan kita bukan hanya sebagai penulis tapi juga sebagai manusia,” papar Linda sambil menatap berkeliling.
“Dengan kita selalu mempertanyakan hal itu kepada diri kita, kita akan menjadi penulis yang baik. Pertanyaan yang baik, kan tidak membuat kita dengan sok tahu mencari jawabannya, tapi membuat kita berpikir bahwa saya juga punya pertanyaan yang sama…” sambungnya, seraya pamit meninggalkan ruangan.
*****