oleh fiqoh
Serpihan surga dan neraka baru saya rapikan dari keterserakan, sejak kedatangan Musdah Mulia beberapa waktu lalu, dimana pandangannya soal agama dan surga berbeda dari yang selama ini saya dengar dan hayati dari guru-guru ngaji.
Kemarin pagi, Andreas Harsono berkirim sms, mengusulkan Luthfi Assyaukanie untuk berbicara di Pantau, tentang buku “Ideologi Islam dan Utopia” bermutu. Menurutnya, dia bisa banyak memperkaya diskusi. Andreas menyarankan sebaiknya buku dibaca lebih dulu. Maka siang ini saya mencari tentangnya di internet.
Dari sekian banyak artikel yang ditulis olehnya, saya baru sempat mengambil satu, tentang shalat, fikih dan tasawuf.
Disiplin fikih menurut Luthfi, banyak membantu kita memahami kegiatan-kegiatan dan urusan-urusan keagamaan yang kompleks. Berbagai peristiwa keagamaan yang memiliki intensitas dan sifat berbeda-beda dikelompokkan menjadi katagori-katagori tertentu. Ada yang wajib, ada yang sunnah, ada yang haram, ada yang halal, dan seterusnya. Sebagai sebuah upaya penyederhanaan, fikih sangat berguna.
Sedangkan shalat, bukanlah urusan fikih semata. Sebagai sebuah aktivitas ubudiyah, shalat tak ada kaitannya dengan fikih. Ia lebih dekat dengan tasawuf yang lebih menekankan dimensi spiritual atau dimensi esoteric manusia. Inti daripada shalat adalah bukan bilangan (menjadi dua, tiga, atau empat rakaat), dan bukan pula waktu (menjadi subuh, zuhur, asar, dan seterusnya). Shalat seseorang yang selalu memperhitungkan bilangan, seperti dikatakan Nabi, adalah shalatnya seorang pedagang.
Terkahir, dalam artikelnya yang ditulis pada 4 Juli 2004 itu, Luthfi mengutip Muhammad Iqbal -- sufi yang juga seorang penyair, pernah menulis sebuah artikel berjudul "Konsep tentang Tuhan dan Makna Shalat" (The Conception of God and the Meaning of Prayer). Artikel yang kemudian menjadi salah satu bab karya agungnya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, merupakan penjelasan paling genuine terhadap fungsi dan makna shalat.
Bagi Iqbal, shalat pada dasarnya merupakan "alat bantu" (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Sebagai sebuah alat bantu, shalat memiliki keterbatasan- keterbatasan. Setiap orang, kata Iqbal, mendapatkan efek kesadaran yang berbeda-beda dari shalat yang dijalankannya. Yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.
Kali ini, saya tercerahkan. Rasanya jadi tak ingin mengikatkan diri pada yang rutin, yang serba dihitung dan dijumlah. Apalagi ditambah pertanyaan dari seseorang yang dikutip dalam tulisan itu – sebenarnya shalat itu wajib nggak sih? Boleh nggak saya menjamak shalat sesuka hati saya, maksudnya tanpa ada alasan bepergian (safar) atau hujan (mathar)?
Wow, ringan sekali. Ternyata Islam itu sungguh meringankan!
***
“…. Lho, memangnya shalatmu kau jadikan beban?” kata suara dari dalam hati bagai mengejek.
“Oh, bukan itu maksudnya,” ruang hati saya yang lain menjawab tergagap, karena ternyata interpretasi saya yang terburu-buru itu justru menimbulkan perang batin. Ada benturan yang rasional dan yang tak rasional.
Yang tak rasional itu, cukup lama kehilangan suara, tapi ia terus bergema.
Kemudian, dalam peperangan itu, yang tak rasional kok malah lebih dominan. Saya mengingat tentang buku The Secret pemberian seorang teman. Ia menggambarkan bagaimana sebuah kedahsyatan terjadi hanya dengan kekuatan pikiran dan meyakininya. Kedahsyatan itu tak mengenal dimensi ruang dan waktu, dan saya menyebutnya wahyu. Setiap orang berhak mendapatakannya, tergantung kadar kepercayaan yang dimiliki. Dalam buku yang ditulis orang barat itu, kekuatan yang Maha Dahsyat bisa disebut angel, jin, dan apapun. Dan dalam Islam ia disebut Iman, iman kepada Allah, seperti kata guru mengaji saya dulu: Gusti Allah itu tergantung prasangka manusia.
The Secret dan Shalat Berjamaah
Tulisan Luthfi tentang makna shalat kemudian saya renungkan. Dan memang benar, bahwa ibadah itu tak perlu berhitung. Karena ilmu menghitung dan mengukur adalah ilmu yang biasa digunakan manusia, untuk berhubungan dengan manusia juga. Berkomunikasi dengan Tuhan hal itu harus ditanggalkan, agar konsentrasi kita tidak untuk menjumlah tapi ya berkomunikasi. Lagian, jangankan sama Tuhan, berkomunikasi dengan manusia pun, kita harus menunjukkan sikap yang santun dan sungguh-sungguh -- dengan hati, pikiran, tatapan, gestur (alias tidak sambil terima telpon, sms-an, membaca majalah,dll).
Tapi hitungan itu tentu bukan soal rakaat atau mengganti hitungan (dua, tiga, atau empat rakaat dalam shalat) menjadi sesuka masing-masing orang hingga keserasian rukuk dan sujud di sebuah masjid kehilangan harmonisasi dalam kebersamaan. Dan tidak mengubah waktu (subuh, dhuhur, asar, dan seterusnya) menjadi waktu yang membuat kita tak mengenal disiplin, lalu masuk dalam ranah individualis.
Jika shalat merupakan alat bantu merefleksikan kesadaran tentang keberadaan Tuhan, maka sebuah hitungan menjadi ukuran setidak-tidaknya, atau menjadi standar paling minimal. Dengan yang minimal itu, saya merasa belum mendapatkan efek kesadaran tentang keilahian dari shalat yang saya jalankan. Karena dengan yang minimal itupun, kadang saya merasa berat. Bagaimana kalau standar itu dihilangkan sama sekali alias tidak diwajibkan?
Orang tua, sangat paham bahwa anak-anak belum berkesadaran untuk belajar sendiri tanpa diperintah, diingatkan, dan merasa diawasi. Maka orang tua selalu mematok jam belajar untuk melatih disiplin itu. Bagi anak itu terasa sebuah siksaan dan memberatkan. Yang wajib memang selalu terasa berat, meski hasilnya untuk kita juga. Dan nyatanya, kita banyak melihat bahwa keberhasilan, keahlian, kepiawaian, semua berawal dari pelajaran-pelajaran yang baku, aturan-aturan, dan disilpin yang diwajibkan. Seperti pepatah, bahwa keahlian adalah sebuah pekerjaan yang dibiasakan. Ia bisa soal menyetir, menulis, berpidato, dll.
Dalam shalat memang tidak bisa disamakan sebagai kata kerja di atas. Saya setuju dengan tulisan Luthfi maupun Muhammad Iqbal itu -- shalat memang lebih menekankan dimensi spiritual hubungan manusia dengan Tuhannya; shalat pada dasarnya merupakan "alat bantu" (agency) bagi manusia untuk merefleksikan kesadarannya akan keberadaan Tuhan. Dan yang paling bagus adalah orang yang mampu menciptakan alat bantu itu pada dirinya sendiri, sehingga ia selalu berada dalam ruang kesadaran di mana Tuhan tak perlu lagi dipancing untuk selalu hadir.
Tapi, buat saya tetap perlu dibedakan tentang yang wajib, yang sunah, termasuk kenapa kita disarankan untuk berjamaah. Yang wajib membuat kita terbiasa meski ala dipaksa, seperti kedisiplinan menyetir, menulis, yang awalnya berangkat dari seperangkat teori, melihat kiri dan kanan, melihat sekitar, hingga semua teori itu tanggal karena ia sudah menyatu dengan diri kita, hati kita. Begitu juga, dalam menjalani dan menghayati perjalanan keilahian kita.
Kenapa ada shalat wajib dan kenapa ada aturan berjamaah?
Mungkin, supaya shalat kita tidak menjadikan kita sebagai makhluk individualis demi Tuhan kita. Ketuhanan selalu ada dan bersemayam bersama kita di saat kita mampu mengelola hubungan ukhuwah dengan sesama, membaur, tanpa membeda-bedakan status sosial, salah satunya lewat kebersamaan dalam shalat berjamaah itu. Dalam hidup, dalam pekerjaan, profesi, jabatan, kelas pergaulan, semuanya sudah menjadi sekat untuk tidak bisa saling menghargai. Berjamaah, menjadi pengingat untuk melatih kepekaan kemanusiaan kita. Kita mungkin tak bisa selalu bersama-sama di meja makan, di satu ruang yang berjarak, atau di meja transaksi bisnis yang bukan jadi dunia kita. Tapi pada waktu dan jam tertentu kita bisa melebur bersama di mushola-mushola atau masjid-masjid. Di sana tidak ada istilah siapa anak buah dan siapa atasan, siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Kita disadarkan untuk kembali menjadi manusia, yang di mata Allah adalah sama, kecuali amal perbuatan yang menjadi pembeda. Berkesadaran tentang Tuhan, harus dimulai dari berkesadaran tentang hal itu.
Saya kira itulah kenapa orang Islam wajib menjalankan Isya, Subuh, Lohor (dhuhur), Ashar, Maghrib: I-S-L-A-M. Jika di dalam buku The The Secret yang banyak digandrungi khalayak itu mengisyaratkan, bahwa satu keyakinan yang diimani oleh seseorang mampu menggerakan hukum semesta bekerja untuk mewujudkannya, sekarang bayangkan, bagaimana dengan satu keyakinan, satu keimanan, satu kesamaan doa, dan satu pengharapan yang dipanjatkan oleh ribuan, bahkan jutaan manusia di saat yang sama di seluruh dunia?
Saya semakin mengagumi bahwa yang disebut wajib adalah bukan untuk-Nya, tapi untuk-nya – hambanya. Yaitu kita.
Seperti kata-kata bijak Mahatma Ghandi, sendirian, tak akan bisa menemukan Tuhan. Dan seperti penggambaran guru mengaji saya, shalat punya nilai satu, sedangkan ibadah yang lain nilainya nol. Untuk menjadi bernilai dan bermakna, kita harus menggabungkan keduanya.
Jakarta, 22 Agustus 2011
Senin, 22 Agustus 2011
Jumat, 19 Agustus 2011
Agama dan Keberadaban
oleh fiqoh
Selalu menarik untuk mengulas pernyataan-pernyataan Musdah Mulia. Misalnya tentang ini --untuk apa beragama kalau tidak beradab?
Karena baginya, seharusnya agama membuat orang menjadi lebih manusiawai dan beradab. Saya setuju dengan ini. Juga setuju dengan kegelisahan Musdah, yang menyayangkan bahwa agama tidak menyelesaikan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tapi bagaimana jika yang terjadi sebaliknya – ada orang yang sangat beradab tapi tidak beragama? Tidak berketuhanan (atheis) misalnya? Apakah kita yang beragama harus mempersoalkan juga dan menganggapnya tak berguna?
Buat saya, segala sesuatu yang menyangkut Iman atau keyakinan seseorang dengan tuhannya atau dengan apapun, biarlah menjadi ranah setiap individu itu untuk meyakininya, menghayatinya, menjalankannya. Karena pada akhirnya, baik nanti atau sekarang, setiap orang harus mempertanggungjawabkan amal dan perbuatannya.
Kita tidak bisa memberi pilihan hitam putih, agar orang membuat keputusan memilih beradab saja, atau beragama saja, atau harus melakukan keduanya. Hidup adalah sebuah proses pergulatan banyak hal dan dimensi, pertarungan batin dan kepentingan-kepentingan. Karenanya, kita perlu terus belajar, baik dari ajaran agama, peraturan, hukum, pengetahuan umum dan lain-lain. Dan itu bukan hanya tanggungjawab agama atau orang yang beragama, tapi juga negara dan seluruh masyarakat.
Untuk mengatur agar manusia lebih beradab, selain dari agama, juga dari pancasila dan undang-undang dasar 1945 sebagai dasar, falsafah dan ideology berbangsa bernegara. Lalu masih ada pendidikan moral pancasila, ada peraturan pemerintah, hukum perdata, pidana, KDRT dan sebagainya.
Tapi lagi-lagi…jangankan mendalami ajaran Al-quran yang berbahasa arab, sedangkan pancasila yang ditulis dalam bahasa Indonesia pun kita tidak memahami maknanya bukan? Dalam hubungan sosial, sikap yang beradab menjadi kesepakatan umum.
Musdah bilang bahwa agama adalah interpretasi. Dan semakin banyak interpretasi membuat wawasan orang makin luas, tidak terombang-ambing karena mengetahui banyak pendapat, dan orang bisa memilih pendapat mana saja sepanjang tak merugikan orang lain.
Menurut saya, jika agama adalah interpretasi, lalu apa gunanya Al-quran sebagai tuntunan?
Lembaga, serikat, dan kantor-kantor pun punya peraturan organisasi dan SOP untuk mengatur tata-tertib, kedisiplinan dan tanggungjawab setiap pegawai.Bagimana jika semua pegawai melakukan pekerjaan dengan pendapatnya masing-masing? Mungkin akan kacau, meski pendapat tetap diperlukan dalam ranah yang berbeda. Masih soal agama adalah interpretasi, bagaimana, jika Indonesia yang dihuni dengan berbagai latar belakang pendidikan dan status sosial ini, menggunakan berbagai pendapatnya dalam beragama? Barangkali, soal arah kiblat pun sudah akan menghasilkan benturan horisontal justru.
Menurut Musdah, persoalan mendasar yang dihadapi dalam kehidupan orang beragama di Indonesia adalah menegakkan pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Ini saya sepakat. Dan solusi harus dicari bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa, terutama para pemimpin untuk tidak korup mementingkan diri sendiri dan inkonsistensi dari cita-cita kemerdekaan. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya selalu bicara surga dan neraka dengan definisi maskulinitas – surga itu penuh bidadari dan kolam susu, memang sungguh disayangkan. Kok bisa?
Sedangkan orang-orang di kampung yang lugu, dan mereka yang berpendidikan rendah pun (setidaknya di kampung saya), tidak pernah saya dengar dari ucapan mereka memaknainya begitu. Surga dan neraka sama sekali tidak dimaknai sebagai suasana yang bernuansa gairah badaniah. Karena begitu kita mati, lepas sudah segala kebutuhan bioligis kita. Surga dan neraka adalah imbalan atau sangsi atas amal perbuatan.
Setidaknya, surga dan neraka telah mengilhami orang-orang yang lugu itu, untuk memiliki roso kamanungsan dan tepo seliro. Apa salahnya kalau mereka tidak berbuat jahat karena takut kualat dan takut neraka? Dan berlaku baik karena mengharap pahala atau biar masuk surga?
Bagaimana dengan kita, yang mungkin berbuat baik karena demi program, proyek, sponsor? Atau, karena pamrih agar dipuji, disayang mertua, pacar, atasan, dll? Begitu juga dengan alasan untuk takut -- koruptor sembunyi-sembunyi karena takut KPK, takut polisi, aktivis anti korupsi, wartawan, dll?
Kita tahu bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan selalu multi motivasi. Tapi kebaikan tetaplah bermanfaat sebagai kebaikan. Termasuk, kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang lugu yang takut neraka itu. Mereka berpikir surga dan neraka dengan keimanannya. Dan tanpa banyak bicara, mereka terapkan dalam hidup keseharian. Salahkah?
Musdah bisa bilang agar kita berhenti berbicara sorga dan neraka meski itu ada dalam kitab-kitab suci. Kitab yang menurutnya dibangun atau diturunkan ketika masyarakat belum semodern seperti sekarang. Jika ia sekarang menganggap itu tidak penting, mungkin benar baginya.
Tapi, belum tentu bagi orang-orang lugu itu. Karena kadar keimanan tidak selalu sama, meski satu agama sekalipun.
Jakarta, 19 Agustus 2011 (tanggapan untuk artikel tentang Musdah Mulia: Agama Itu Bukan Candu)
Selalu menarik untuk mengulas pernyataan-pernyataan Musdah Mulia. Misalnya tentang ini --untuk apa beragama kalau tidak beradab?
Karena baginya, seharusnya agama membuat orang menjadi lebih manusiawai dan beradab. Saya setuju dengan ini. Juga setuju dengan kegelisahan Musdah, yang menyayangkan bahwa agama tidak menyelesaikan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tapi bagaimana jika yang terjadi sebaliknya – ada orang yang sangat beradab tapi tidak beragama? Tidak berketuhanan (atheis) misalnya? Apakah kita yang beragama harus mempersoalkan juga dan menganggapnya tak berguna?
Buat saya, segala sesuatu yang menyangkut Iman atau keyakinan seseorang dengan tuhannya atau dengan apapun, biarlah menjadi ranah setiap individu itu untuk meyakininya, menghayatinya, menjalankannya. Karena pada akhirnya, baik nanti atau sekarang, setiap orang harus mempertanggungjawabkan amal dan perbuatannya.
Kita tidak bisa memberi pilihan hitam putih, agar orang membuat keputusan memilih beradab saja, atau beragama saja, atau harus melakukan keduanya. Hidup adalah sebuah proses pergulatan banyak hal dan dimensi, pertarungan batin dan kepentingan-kepentingan. Karenanya, kita perlu terus belajar, baik dari ajaran agama, peraturan, hukum, pengetahuan umum dan lain-lain. Dan itu bukan hanya tanggungjawab agama atau orang yang beragama, tapi juga negara dan seluruh masyarakat.
Untuk mengatur agar manusia lebih beradab, selain dari agama, juga dari pancasila dan undang-undang dasar 1945 sebagai dasar, falsafah dan ideology berbangsa bernegara. Lalu masih ada pendidikan moral pancasila, ada peraturan pemerintah, hukum perdata, pidana, KDRT dan sebagainya.
Tapi lagi-lagi…jangankan mendalami ajaran Al-quran yang berbahasa arab, sedangkan pancasila yang ditulis dalam bahasa Indonesia pun kita tidak memahami maknanya bukan? Dalam hubungan sosial, sikap yang beradab menjadi kesepakatan umum.
Musdah bilang bahwa agama adalah interpretasi. Dan semakin banyak interpretasi membuat wawasan orang makin luas, tidak terombang-ambing karena mengetahui banyak pendapat, dan orang bisa memilih pendapat mana saja sepanjang tak merugikan orang lain.
Menurut saya, jika agama adalah interpretasi, lalu apa gunanya Al-quran sebagai tuntunan?
Lembaga, serikat, dan kantor-kantor pun punya peraturan organisasi dan SOP untuk mengatur tata-tertib, kedisiplinan dan tanggungjawab setiap pegawai.Bagimana jika semua pegawai melakukan pekerjaan dengan pendapatnya masing-masing? Mungkin akan kacau, meski pendapat tetap diperlukan dalam ranah yang berbeda. Masih soal agama adalah interpretasi, bagaimana, jika Indonesia yang dihuni dengan berbagai latar belakang pendidikan dan status sosial ini, menggunakan berbagai pendapatnya dalam beragama? Barangkali, soal arah kiblat pun sudah akan menghasilkan benturan horisontal justru.
Menurut Musdah, persoalan mendasar yang dihadapi dalam kehidupan orang beragama di Indonesia adalah menegakkan pluralisme, demokrasi, dan humanisme. Ini saya sepakat. Dan solusi harus dicari bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa, terutama para pemimpin untuk tidak korup mementingkan diri sendiri dan inkonsistensi dari cita-cita kemerdekaan. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya selalu bicara surga dan neraka dengan definisi maskulinitas – surga itu penuh bidadari dan kolam susu, memang sungguh disayangkan. Kok bisa?
Sedangkan orang-orang di kampung yang lugu, dan mereka yang berpendidikan rendah pun (setidaknya di kampung saya), tidak pernah saya dengar dari ucapan mereka memaknainya begitu. Surga dan neraka sama sekali tidak dimaknai sebagai suasana yang bernuansa gairah badaniah. Karena begitu kita mati, lepas sudah segala kebutuhan bioligis kita. Surga dan neraka adalah imbalan atau sangsi atas amal perbuatan.
Setidaknya, surga dan neraka telah mengilhami orang-orang yang lugu itu, untuk memiliki roso kamanungsan dan tepo seliro. Apa salahnya kalau mereka tidak berbuat jahat karena takut kualat dan takut neraka? Dan berlaku baik karena mengharap pahala atau biar masuk surga?
Bagaimana dengan kita, yang mungkin berbuat baik karena demi program, proyek, sponsor? Atau, karena pamrih agar dipuji, disayang mertua, pacar, atasan, dll? Begitu juga dengan alasan untuk takut -- koruptor sembunyi-sembunyi karena takut KPK, takut polisi, aktivis anti korupsi, wartawan, dll?
Kita tahu bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan selalu multi motivasi. Tapi kebaikan tetaplah bermanfaat sebagai kebaikan. Termasuk, kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang lugu yang takut neraka itu. Mereka berpikir surga dan neraka dengan keimanannya. Dan tanpa banyak bicara, mereka terapkan dalam hidup keseharian. Salahkah?
Musdah bisa bilang agar kita berhenti berbicara sorga dan neraka meski itu ada dalam kitab-kitab suci. Kitab yang menurutnya dibangun atau diturunkan ketika masyarakat belum semodern seperti sekarang. Jika ia sekarang menganggap itu tidak penting, mungkin benar baginya.
Tapi, belum tentu bagi orang-orang lugu itu. Karena kadar keimanan tidak selalu sama, meski satu agama sekalipun.
Jakarta, 19 Agustus 2011 (tanggapan untuk artikel tentang Musdah Mulia: Agama Itu Bukan Candu)
Selasa, 16 Agustus 2011
Senyum dan Rasa Kemanusiaan
oleh fiqoh
Ini buka sinikal, tapi sungguh Anda perlu tahu bahwa senyum menjadi perenggut rasa kemanusiaan yang keji.
Dua perempuan muda dan cantik, dengan rambut tergerai dan nampak sangat terurus. Yang satu membisikkan sesuatu di telinga yang lain. Mungkin tentang sesuatu yang lucu, mungkin juga menggelikan, dan keduanya tersenyum – lebih tepat menahan tawa.
Dalam suasana glamour, di tempat mewah dan santai, dilengkapi menu kesukaan, siapa yang takkan tersenyum?
Saya kutip paragraf pertama artikel VIVAnews berjudul Tujuh Alasan untuk Selalu Tersenyum -- Menebar senyum pada orang di sekeliling Anda jangan dianggap remeh. Meskipun sederhana namun memberi manfaat kesehatan luar biasa. Bagaimana pun suasana hati Anda, tersenyum bisa memberikan rasa bahagia luar biasa.
Gambar yang ditampilkan ini memukau (mungkin lebih karena mereka keren) dengan segala hal yang menggiurkan. Tapi lihatlah, senyumkah yang membuat mereka bahagia luar biasa, atau kebahagiaan atas eksistensinya yang membuat mereka tersenyum?
Ada pepatatah berakit ke hulu, berenang ke tepian – bersakit dahulu bersenang kemudian. Kebahagiaan atau kesedihan lahir dari sebuah proses. Ia bisa pergumulan rasa atau pergulatan batin. Ia bisa berupa manisnya kesuksesan atau tentang pahitnya perjuangan hidup. semuanya – kondisi dan situasi (secara lahiriah atau batin) dengan sendirinya akan menghasilkan suatu refleksi, apakah kita akan tersenyum, tertawa, menangis, marah atau sedih.
Jika dalam keadaan berkabung dan kita tertawa, justru kita perlu waspada. Sebaliknya, jika dalam keadaan tertekan, teraniaya, tapi kita harus tetap tersenyum, kita pantas untuk sedih.
Masih soal hasil survey Kelompok Perempuan Untuk Keadilan Buruh (KPKB), beberapa pekerja yang menjadi pelayan hotel mengatakan bahwa energi untuk senyum jauh lebih menyiksa di saat mereka dibentak-bentak, dihardik, dan mendapat tatapan yang melecehkan dirinya dari para customer.
“Saya tetap harus tersenyum, meski sebenarnya saya sangat ingin mengangis,” ungkap salah seorang responden itu.
Senyum bagai mengiris dan menjadi sebuah sinisme pada dirinya atas hilangnya sesuatu yang alamiah – sesuatu yang manusiawi ketika tangis harusnya membantu mengeluarkan cairan beracun dalam tubuh.
Tapi para pelayan hotel, kafe, dan restoran-restoran ternama semua melakukannya. Semua tersenyum. Mereka terus tersenyum meski tengkuk sudah terasa kaku dan Limbung, mereke terus tersenyum meski tensi darah sudah memuncak di kepala, mereka terus tersenyum meski cairan air mata tertahan dan mengering, hingga… mereka tak tahu lagi bedanya senyuman dan tangis.
Aku termasuk orang yang tak peduli itu semua hingga adanya sebuah keonaran kecil di kafe. Di sebuah meja di pojok ruang, mata temanku menangkap pemandangan itu.
“Lihat,” kata temanku sambil memberi petunjuk melalui ekor matanya.
Di sana, di meja ujung seorang Om-om bersama perempuan sedang menunjuk-nunjuk muka pelayan. Si perempuan sewot, rupanya minuman yang disajikan bukan yang ia pesan.
“Kamu gimana sih! Tidak dengar saya pesan apa?!” kata perempuan itu.
Mungkin karena briefing supervisor bahwa dalam keadaan apapun pelayan harus tetap tersenyum, kulihat pelayan itu senyum sambil membungkuk, dan tangannya yang gemetar mengambil gelas. Tapi...ah! Gelas miring, dan sebagaian isinya tumpah. Mungkin pelayan perempuan kecil itu grogi. Dan tanpa kendali Si Om itu marah-marah. Ia berdiri, berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk ke muka pelayan itu.
Dengan pandangan, temanku mengikuti langkah pelayan itu. Dan aku melakukan hal sama. Ia berjalan tersaruk-saruk dengan nampan di tangan kiri dan gelas yang tak penuh di tangan kanan. Dan di belakang etalase, nampak atasan dia memarahinya juga.
“Lihat, mereka itu, kerja di tempat makanan,berada di lautan makanan, tapi kok kurus-kurus ya? Mereka makan menu-menu ini juga tidak ya?”
Entahlah.
Temanku menyelipkan selembar 5000 rupiah untuk tips. Dan aku masih tertarik memikirkan alasan tersenyum. Aku kira, senyum bukan alasan untuk bahagia. Tapi bahagia membuat alasan tersenyum. Aku kira, bukan dalam keadaan apapun kita harus tersenyum, karena senyum yang tidak pada tempatnya justru menyedihkan. Di saat secara manusiawi seseorang butuh ruang untuk bisa menangis, menangislah karena itu lebih baik. Kita butuh ruang mengekspresikan kesedihan, kebahagiaan atau kemarahan.
Dalam keadaan berkabung karena kematian, dililit utang, dipecat dari pekerjaan, atau bercerai dari pasangan, senyum tidak bisa mengatasi apapun. Tapi, naluriah kita cukup tahu, mana yang lebih menusiawi untuk saat-saat seperti itu. Tangis, marah, teriak, terkadang jauh lebih berguna untuk tubuh dan jiwa.
Banyak hal di luar diri kita yang tak bisa kita kendalikan. Karena hidup tidak konstan. Sehat itu marah, menangis, sedih, benci, rindu, dsb. Karena itu menandakan bahwa sistem pertahanan tubuh kita atau coping mechanism masih kita miliki. Sebuah kenormalan yang peka.
Normalkah senyum dalam keadaan apapun? Manusiawikah senyum di saat dilecehkan dan dihardik oleh orang-orang congkak dan brengsek?
Mereka harus melakukannya, demi tuntutan kapitalis untuk memberi pelayanan terbaik. Kita terkadang alfa dan luput mencermati, bahwa pelanggaran Ham juga terselubung dibalik senyuman.
Ah. Andai saja pelayan juga bisa teriak. Maka para budak bisa dimerdekakan.
Jakarta, 17 Agustus 2011: 4:15
Ini buka sinikal, tapi sungguh Anda perlu tahu bahwa senyum menjadi perenggut rasa kemanusiaan yang keji.
Dua perempuan muda dan cantik, dengan rambut tergerai dan nampak sangat terurus. Yang satu membisikkan sesuatu di telinga yang lain. Mungkin tentang sesuatu yang lucu, mungkin juga menggelikan, dan keduanya tersenyum – lebih tepat menahan tawa.
Dalam suasana glamour, di tempat mewah dan santai, dilengkapi menu kesukaan, siapa yang takkan tersenyum?
Saya kutip paragraf pertama artikel VIVAnews berjudul Tujuh Alasan untuk Selalu Tersenyum -- Menebar senyum pada orang di sekeliling Anda jangan dianggap remeh. Meskipun sederhana namun memberi manfaat kesehatan luar biasa. Bagaimana pun suasana hati Anda, tersenyum bisa memberikan rasa bahagia luar biasa.
Gambar yang ditampilkan ini memukau (mungkin lebih karena mereka keren) dengan segala hal yang menggiurkan. Tapi lihatlah, senyumkah yang membuat mereka bahagia luar biasa, atau kebahagiaan atas eksistensinya yang membuat mereka tersenyum?
Ada pepatatah berakit ke hulu, berenang ke tepian – bersakit dahulu bersenang kemudian. Kebahagiaan atau kesedihan lahir dari sebuah proses. Ia bisa pergumulan rasa atau pergulatan batin. Ia bisa berupa manisnya kesuksesan atau tentang pahitnya perjuangan hidup. semuanya – kondisi dan situasi (secara lahiriah atau batin) dengan sendirinya akan menghasilkan suatu refleksi, apakah kita akan tersenyum, tertawa, menangis, marah atau sedih.
Jika dalam keadaan berkabung dan kita tertawa, justru kita perlu waspada. Sebaliknya, jika dalam keadaan tertekan, teraniaya, tapi kita harus tetap tersenyum, kita pantas untuk sedih.
Masih soal hasil survey Kelompok Perempuan Untuk Keadilan Buruh (KPKB), beberapa pekerja yang menjadi pelayan hotel mengatakan bahwa energi untuk senyum jauh lebih menyiksa di saat mereka dibentak-bentak, dihardik, dan mendapat tatapan yang melecehkan dirinya dari para customer.
“Saya tetap harus tersenyum, meski sebenarnya saya sangat ingin mengangis,” ungkap salah seorang responden itu.
Senyum bagai mengiris dan menjadi sebuah sinisme pada dirinya atas hilangnya sesuatu yang alamiah – sesuatu yang manusiawi ketika tangis harusnya membantu mengeluarkan cairan beracun dalam tubuh.
Tapi para pelayan hotel, kafe, dan restoran-restoran ternama semua melakukannya. Semua tersenyum. Mereka terus tersenyum meski tengkuk sudah terasa kaku dan Limbung, mereke terus tersenyum meski tensi darah sudah memuncak di kepala, mereka terus tersenyum meski cairan air mata tertahan dan mengering, hingga… mereka tak tahu lagi bedanya senyuman dan tangis.
Aku termasuk orang yang tak peduli itu semua hingga adanya sebuah keonaran kecil di kafe. Di sebuah meja di pojok ruang, mata temanku menangkap pemandangan itu.
“Lihat,” kata temanku sambil memberi petunjuk melalui ekor matanya.
Di sana, di meja ujung seorang Om-om bersama perempuan sedang menunjuk-nunjuk muka pelayan. Si perempuan sewot, rupanya minuman yang disajikan bukan yang ia pesan.
“Kamu gimana sih! Tidak dengar saya pesan apa?!” kata perempuan itu.
Mungkin karena briefing supervisor bahwa dalam keadaan apapun pelayan harus tetap tersenyum, kulihat pelayan itu senyum sambil membungkuk, dan tangannya yang gemetar mengambil gelas. Tapi...ah! Gelas miring, dan sebagaian isinya tumpah. Mungkin pelayan perempuan kecil itu grogi. Dan tanpa kendali Si Om itu marah-marah. Ia berdiri, berkacak pinggang dan menunjuk-nunjuk ke muka pelayan itu.
Dengan pandangan, temanku mengikuti langkah pelayan itu. Dan aku melakukan hal sama. Ia berjalan tersaruk-saruk dengan nampan di tangan kiri dan gelas yang tak penuh di tangan kanan. Dan di belakang etalase, nampak atasan dia memarahinya juga.
“Lihat, mereka itu, kerja di tempat makanan,berada di lautan makanan, tapi kok kurus-kurus ya? Mereka makan menu-menu ini juga tidak ya?”
Entahlah.
Temanku menyelipkan selembar 5000 rupiah untuk tips. Dan aku masih tertarik memikirkan alasan tersenyum. Aku kira, senyum bukan alasan untuk bahagia. Tapi bahagia membuat alasan tersenyum. Aku kira, bukan dalam keadaan apapun kita harus tersenyum, karena senyum yang tidak pada tempatnya justru menyedihkan. Di saat secara manusiawi seseorang butuh ruang untuk bisa menangis, menangislah karena itu lebih baik. Kita butuh ruang mengekspresikan kesedihan, kebahagiaan atau kemarahan.
Dalam keadaan berkabung karena kematian, dililit utang, dipecat dari pekerjaan, atau bercerai dari pasangan, senyum tidak bisa mengatasi apapun. Tapi, naluriah kita cukup tahu, mana yang lebih menusiawi untuk saat-saat seperti itu. Tangis, marah, teriak, terkadang jauh lebih berguna untuk tubuh dan jiwa.
Banyak hal di luar diri kita yang tak bisa kita kendalikan. Karena hidup tidak konstan. Sehat itu marah, menangis, sedih, benci, rindu, dsb. Karena itu menandakan bahwa sistem pertahanan tubuh kita atau coping mechanism masih kita miliki. Sebuah kenormalan yang peka.
Normalkah senyum dalam keadaan apapun? Manusiawikah senyum di saat dilecehkan dan dihardik oleh orang-orang congkak dan brengsek?
Mereka harus melakukannya, demi tuntutan kapitalis untuk memberi pelayanan terbaik. Kita terkadang alfa dan luput mencermati, bahwa pelanggaran Ham juga terselubung dibalik senyuman.
Ah. Andai saja pelayan juga bisa teriak. Maka para budak bisa dimerdekakan.
Jakarta, 17 Agustus 2011: 4:15
Minggu, 14 Agustus 2011
Puasa Tanpa Tips
oleh fiqoh
Banyak artikel menarik soal tips-tips ibadah puasa. Membacanya, aku merasa bagai seorang musafir yang tengah bersiap untuk menempuh perjalanan jauh ke wilayah tak tentu medan. Harus begini dan begitu, tak boleh makan ini dan itu.
Sesuai tips, agar selama puasa fisik tetap sehat kita harus melakukannya sesuai aturan yang benar dan tidak asal-asalan. Karena fisik yang sehat akan membuat metabolisme tubuh tetap normal, tensi darah terjaga, dan emosi stabil. Menjaga emosi memiliki makna penting agar puasa kita tidak hanya sebatas menahan haus dan lapar, tapi bernilai ibadah dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Maka itu, penting pula untuk memilih menu makanan serta jenis olah raga ringan dan tak dilakukan sembarangan.
Tips-tips itu baru sebagian aku terapkan di menu sahurku pagi itu. Dan di layar ponsel, sms temanku membuat tercengang. Pengirimnya dari dari salah seorang buruh pabrik yang malam itu ia tidak sahur karena gas di kontrakannya habis hingga tak bisa menjerang air. Ia, hanya meneguk air putih yang tersisa di gelas sore tadi.
Air putih yang jadi menu sahur temanku, dan daftar menu yang tertera di artikel internet itu membuatku bertanya dalam hati, bisakah temanku menjalankan puasa secara sehat dan baik? Air putih hanya memenuhi satu unsur empat sehat lima sempurna yang dianjurkan. Sedangkan tips-tips puasa yang baik dan sehat juga mengharuskan agar kita mengkonsumsi makanan berserat, berprotein tinggi, mengurangi karbohidrat, dan memperbanyak makan buah. Juga, minum yang manis dan hangat saat berbuka, menghindari minuman dingin apalagi bersoda yang bisa menyebabkan pencernaan tak berfungsi secara sempurna.
Masih kuingat kegembiraan teman-teman buruh pabrik garmen saat bertemu kemarin. Selain mengeluhkan bau bensol (campuran solar dan minyak tanah) yang bikin pusing kepala di tempat kerja, mereka juga girang memperoleh bonus Kuku Bima dari perusahaan karena memenuhi target. Kemasan sachet warna ungu diperlihatkan padaku. Minuman itu yang mereka nikmati sesaat sehabis berbuka, sambil memakan gorengan di mesin masing-masing ketika lembur. Sebagian lagi menyantap mie instan yang diremas dan diseduh dalam bungkusnya. Buruh terbiasa bersantap sambil bekerja, mengejar ketertinggalan proses mengejar target.
Kantung-kantung menggelembung kecil yang diikat karet itu, dulu sering jadi pemandangan yang tak asing buatku. Kantung-kantung berkuncir yang sering kami juluki pocong atau prajurit kalah perang. Dan kami sering tertawa sambil menyantapnya. Entah kenapa, hal yang dulu sering kuanggap lucu, sekarang membuatku sedih. Aku baru tahu belakangan resiko makanan instan itu.
Puasa, menjaga hati dan emosi
Menurut sabda Rasulallah, tujuan puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga menahan nafsu, menahan emosi, menjaga hati dan bersabar. Agar kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan secara lebih baik. Ini masih menurut tips soal puasa yang baik.
Tidak ada yang salah dengan artikel tips berpuasa itu. Mungkin memang begitu seharusnya. Meski tidak semua orang bisa mengatur pola dan menu makan dalam kecukupanannya, juga pola memilih jenis olah raga ringan yang tak membutuhkan energi berlebih seperti lari-lari kecil atau jalan kaki, dan bagaimana bersabar serta me-manage emosi.
Tapi, bagaimana buruh-buruh di pabrik itu memilihnya? Di lapangan produksi hawa memanas berasal dari dynamo ratusan mesin yang mengantung di sela lutut dan menempel di belakang punggung. Ditambah lampu neon panjang yang berderet di atas kepala, di bawah atap seng yang memuai karena matahari.
Panasnya suasana kerja, masih ditambah panasnya situasi karena teriakan-teriakan mandor sambil mememukul-mukulkan besi, tang, obeng atau apa saja untuk memecut anak buah. Sesama pekerja pun akhirnya saling bentakan-bentakan dan saling menekan karena sama-sama ketatukan dan terancam.
Sesuai sosialisasi hasil survey Kelompok Perempuan Peduli Buruh pada Kamis 11 Agustsu 2011, bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja salah satunya dipicu keadaan atau pengkondisian – akibat target yang dimaui perusahaan tidak mengukur kemapuan pekerja melainkan memang perusahaan mengambil order sebanyak-banyaknya. Pergantian jenis merk dan model yang diikuti perubahan semua komponen dan penyesuaian stelan pada mesin, jarum, ukuran sepatu, pola, warna dan lainnya membuat mereka harus berpacu,berebut dan saling sruduk. Ini belum termasuk pekera asing yang mestinya dilarang mengatur bagian kepersonaliaan, justru terjun langsung mengatur dan menujuk-nunjuk pekerja sambil teriak-teriak, membentak-bentak bahkan tak segan-segan memukul dan melempari benda-benda.
Masih soal hasil survey KPKB, bahwa pelecehan seksual serta kekerasan, baik psikis maupun fisik akan berpengaruh pada emosi, metabollisme tubuh dan tensi darah. Dan buruh mengalaminya, terganggu, gelisah. Perasaan yang menyiksa itu mengikutinya hingga mereka ke rumah.
Orang-orang yang bekerja dalam keadaan normal dan dihargai hak asasinya, barangkali akan selalu berhasil menjaga emosi. Orang-orang yang berkecukupan, tentu akan berhasil mengatur pola makan, memilih menu sehat dan jenis olah raga.
Tapi bagaimana jika kita hidup di lingkungan yang tak terhindarkan dipenuhi amarah?
Temanku bilang, dia banyak membaca istighfar dalam hati. Temanku yang lainnya lagi melafalkan sholawat nabi. Dan yang lain pula saat kutanya berkata, ” Biarkan saja mereka marah, kami yang waras yang mengalah.”
Untuk kesabaran, aku harus berguru pada mereka. Kesabaran tidak akan pernah punya makna sekalipun ia diucapkan Sang Kiai, sebelum ia dibenturkan pada kenyataan dan makna itu masih teruji. Barangkali puasaku masih sebatas menggeser pantat piring atau cangkir dari pagi ke sore hari, dari siang ke dini hari. Karena aku termasuk berkecukupan, dan tidak berada dalam kungkungan kekuasaan yang menindas secara fisik dan psikis. Rasa haus pun masih tertahan oleh ademnya pendingin ruangan.
Tapi tidak semua orang hidup dalam kondisi ”normal" dan bisa mengkonsumsi makanan sehat, bergaya hidup sehat, tinggal di lingkungan sehat.
Tapi, dari semua kebendaan dan kondisi yang sering tak terkendali dan tak dimiliki, iman-lah yang menguatkannya.
Puasa adalah perjalanan batin yang dilakukan karena Iman kepada-Nya. Ketakcukupan itu barangkali menjadikan nilai berbeda dari perjalanan serupa – ibarat dua kendaraan yang sama-sama melaju, meski ia dengan bahan bakar penuh, setengah, atau tidak sama sekali. Dan ia, sama-sama mencapi garis finish.
Puasa bukan soal mengatur pola makan terkait pindahnya jadwal bersantap guna menjaga fisik tetap sehat agar hati bisa khusuk. Karena khusuk lahir dari keimanan yang tetap teguh, tetap terpelihara, meski dalam keadaan papa. Di sinilah barangkali, keajaiban memilih tempatnya untuk bersemayam.
Mens sana in corpore sano? Tidak selalu. Tubuh yang sehat, juga berada di dalam jiwa yang kuat. Iman yang kuat.
Jakarta, 15 Agustus 2011, 04:15
Banyak artikel menarik soal tips-tips ibadah puasa. Membacanya, aku merasa bagai seorang musafir yang tengah bersiap untuk menempuh perjalanan jauh ke wilayah tak tentu medan. Harus begini dan begitu, tak boleh makan ini dan itu.
Sesuai tips, agar selama puasa fisik tetap sehat kita harus melakukannya sesuai aturan yang benar dan tidak asal-asalan. Karena fisik yang sehat akan membuat metabolisme tubuh tetap normal, tensi darah terjaga, dan emosi stabil. Menjaga emosi memiliki makna penting agar puasa kita tidak hanya sebatas menahan haus dan lapar, tapi bernilai ibadah dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Maka itu, penting pula untuk memilih menu makanan serta jenis olah raga ringan dan tak dilakukan sembarangan.
Tips-tips itu baru sebagian aku terapkan di menu sahurku pagi itu. Dan di layar ponsel, sms temanku membuat tercengang. Pengirimnya dari dari salah seorang buruh pabrik yang malam itu ia tidak sahur karena gas di kontrakannya habis hingga tak bisa menjerang air. Ia, hanya meneguk air putih yang tersisa di gelas sore tadi.
Air putih yang jadi menu sahur temanku, dan daftar menu yang tertera di artikel internet itu membuatku bertanya dalam hati, bisakah temanku menjalankan puasa secara sehat dan baik? Air putih hanya memenuhi satu unsur empat sehat lima sempurna yang dianjurkan. Sedangkan tips-tips puasa yang baik dan sehat juga mengharuskan agar kita mengkonsumsi makanan berserat, berprotein tinggi, mengurangi karbohidrat, dan memperbanyak makan buah. Juga, minum yang manis dan hangat saat berbuka, menghindari minuman dingin apalagi bersoda yang bisa menyebabkan pencernaan tak berfungsi secara sempurna.
Masih kuingat kegembiraan teman-teman buruh pabrik garmen saat bertemu kemarin. Selain mengeluhkan bau bensol (campuran solar dan minyak tanah) yang bikin pusing kepala di tempat kerja, mereka juga girang memperoleh bonus Kuku Bima dari perusahaan karena memenuhi target. Kemasan sachet warna ungu diperlihatkan padaku. Minuman itu yang mereka nikmati sesaat sehabis berbuka, sambil memakan gorengan di mesin masing-masing ketika lembur. Sebagian lagi menyantap mie instan yang diremas dan diseduh dalam bungkusnya. Buruh terbiasa bersantap sambil bekerja, mengejar ketertinggalan proses mengejar target.
Kantung-kantung menggelembung kecil yang diikat karet itu, dulu sering jadi pemandangan yang tak asing buatku. Kantung-kantung berkuncir yang sering kami juluki pocong atau prajurit kalah perang. Dan kami sering tertawa sambil menyantapnya. Entah kenapa, hal yang dulu sering kuanggap lucu, sekarang membuatku sedih. Aku baru tahu belakangan resiko makanan instan itu.
Puasa, menjaga hati dan emosi
Menurut sabda Rasulallah, tujuan puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga tetapi juga menahan nafsu, menahan emosi, menjaga hati dan bersabar. Agar kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan secara lebih baik. Ini masih menurut tips soal puasa yang baik.
Tidak ada yang salah dengan artikel tips berpuasa itu. Mungkin memang begitu seharusnya. Meski tidak semua orang bisa mengatur pola dan menu makan dalam kecukupanannya, juga pola memilih jenis olah raga ringan yang tak membutuhkan energi berlebih seperti lari-lari kecil atau jalan kaki, dan bagaimana bersabar serta me-manage emosi.
Tapi, bagaimana buruh-buruh di pabrik itu memilihnya? Di lapangan produksi hawa memanas berasal dari dynamo ratusan mesin yang mengantung di sela lutut dan menempel di belakang punggung. Ditambah lampu neon panjang yang berderet di atas kepala, di bawah atap seng yang memuai karena matahari.
Panasnya suasana kerja, masih ditambah panasnya situasi karena teriakan-teriakan mandor sambil mememukul-mukulkan besi, tang, obeng atau apa saja untuk memecut anak buah. Sesama pekerja pun akhirnya saling bentakan-bentakan dan saling menekan karena sama-sama ketatukan dan terancam.
Sesuai sosialisasi hasil survey Kelompok Perempuan Peduli Buruh pada Kamis 11 Agustsu 2011, bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan di Tempat Kerja salah satunya dipicu keadaan atau pengkondisian – akibat target yang dimaui perusahaan tidak mengukur kemapuan pekerja melainkan memang perusahaan mengambil order sebanyak-banyaknya. Pergantian jenis merk dan model yang diikuti perubahan semua komponen dan penyesuaian stelan pada mesin, jarum, ukuran sepatu, pola, warna dan lainnya membuat mereka harus berpacu,berebut dan saling sruduk. Ini belum termasuk pekera asing yang mestinya dilarang mengatur bagian kepersonaliaan, justru terjun langsung mengatur dan menujuk-nunjuk pekerja sambil teriak-teriak, membentak-bentak bahkan tak segan-segan memukul dan melempari benda-benda.
Masih soal hasil survey KPKB, bahwa pelecehan seksual serta kekerasan, baik psikis maupun fisik akan berpengaruh pada emosi, metabollisme tubuh dan tensi darah. Dan buruh mengalaminya, terganggu, gelisah. Perasaan yang menyiksa itu mengikutinya hingga mereka ke rumah.
Orang-orang yang bekerja dalam keadaan normal dan dihargai hak asasinya, barangkali akan selalu berhasil menjaga emosi. Orang-orang yang berkecukupan, tentu akan berhasil mengatur pola makan, memilih menu sehat dan jenis olah raga.
Tapi bagaimana jika kita hidup di lingkungan yang tak terhindarkan dipenuhi amarah?
Temanku bilang, dia banyak membaca istighfar dalam hati. Temanku yang lainnya lagi melafalkan sholawat nabi. Dan yang lain pula saat kutanya berkata, ” Biarkan saja mereka marah, kami yang waras yang mengalah.”
Untuk kesabaran, aku harus berguru pada mereka. Kesabaran tidak akan pernah punya makna sekalipun ia diucapkan Sang Kiai, sebelum ia dibenturkan pada kenyataan dan makna itu masih teruji. Barangkali puasaku masih sebatas menggeser pantat piring atau cangkir dari pagi ke sore hari, dari siang ke dini hari. Karena aku termasuk berkecukupan, dan tidak berada dalam kungkungan kekuasaan yang menindas secara fisik dan psikis. Rasa haus pun masih tertahan oleh ademnya pendingin ruangan.
Tapi tidak semua orang hidup dalam kondisi ”normal" dan bisa mengkonsumsi makanan sehat, bergaya hidup sehat, tinggal di lingkungan sehat.
Tapi, dari semua kebendaan dan kondisi yang sering tak terkendali dan tak dimiliki, iman-lah yang menguatkannya.
Puasa adalah perjalanan batin yang dilakukan karena Iman kepada-Nya. Ketakcukupan itu barangkali menjadikan nilai berbeda dari perjalanan serupa – ibarat dua kendaraan yang sama-sama melaju, meski ia dengan bahan bakar penuh, setengah, atau tidak sama sekali. Dan ia, sama-sama mencapi garis finish.
Puasa bukan soal mengatur pola makan terkait pindahnya jadwal bersantap guna menjaga fisik tetap sehat agar hati bisa khusuk. Karena khusuk lahir dari keimanan yang tetap teguh, tetap terpelihara, meski dalam keadaan papa. Di sinilah barangkali, keajaiban memilih tempatnya untuk bersemayam.
Mens sana in corpore sano? Tidak selalu. Tubuh yang sehat, juga berada di dalam jiwa yang kuat. Iman yang kuat.
Jakarta, 15 Agustus 2011, 04:15
Kamis, 11 Agustus 2011
Disorientasi Historis
oleh fiqoh
Mungkin yang akan saya sampaikan ini usang. Tapi saya percaya bahwa yang usang ini penting. Kata orang tua jaman dulu, ia menjadi pengeling-eling, ketika kita tersesat dan butuh jalan untuk kembali.
Kata kuncinya sederhana – jangan pernah melupakan sejarah.
Pesan Bung Karno ini sudah kedengaran sangat klise memang. Tapi lelaki itu membuktikan hal paling konkrit melalui kisah dua bangsa yang alfa, dan kini terus-menerus kebingungan bagai terjerat akar hutan, dan terseret putaran labirin yang membingungkan.
“Sejarah selalu saya jadikan fondasi dalam menganalisa dan menulis,” katanya, dan dalam hati saja stuju.
Lelaki itu Wilson, penulis buku A Luta Continua, karya yang lahir karena kekecewaan pada orang-orang yang dulu disebutnya kawan.
Saat ia mencontohkan dua bangsa yang kehilangan sejarah, saya membuka kotak-kota kecil berisi kelompok-kelompok kecil yang sering mudah melupakan komitmen bersama. Ia tentang kesetiakawanan yang dibangun oleh dua sahabat, janji setia dari pasangan hidup, atau solidaritas dan integritas yang dibangun dan dijaga oleh buruh yang berserikat.
Tapi bicara sejarah bangsa, penting bagi kita bicara siapa yang menuliskannya. Apakah Nugoroho Notosusanto yang kemudian menjadi kurikulum di sekolah-sekolah itu? Atau sejarah Timor Leste yang justru lebih banyak ditulis oleh orang luar?
Sejarah yang ada, dan terutama di Indonesia telah diseragamkan versi tentara atau pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan. Padahal kemerdekaan harus memiliki makna intelektual dan historis. Dan ini yang tak dimiliki oleh Bangsa Indonesia maupun Timor Leste.
Hal itu yang dikritisi Wilson dalam bukunya, tentang pergerakan di Timor Leste, saat masa perjuangan, referendum dan pasca kemerdekaan. Para pejuang yang awalnya sangat dipercaya memegang teguh cita-cita bersama, tak dinyana bagaikan bunglon yang berkamuflase.
Para aktivis yang dulunya menentang rezim penguasa korup dan otoriter, kini perilaku mereka tak ada bedanya. Mereka yang dulunya pejuang, langsung sibuk dengan urusan kekuasaan dan tidak sempat menulis sejarahnya.
“Ah, segalanya tak semudah yang dulu kita bayangkan,” kata Wilson menirukan kawannya yang menjabat Menteri Pertanian di negara termuda itu.
“Kenapa di saat segalanya di tangan kita justru malah susah? Budget di tangan kita, kekuasaan di tangan kita, kebijakan di tangan kita, kok jadi malah susah? Yang susah itu kan pejuang-pejuang yang tak punya dana, hidup di hutan-hutan, di jalan-jalan, dan tak bisa menyewa secretariat dan kontrakan!” ucapnya.
Lagi, bahwa tidak menuliskan sejarahnya membuat mereka lupa dengan cita-cita semula. Dan lupa bahwa dalam proses kemerdekaan bangsa itu, semua terlibat, semua menyumbang, semua ikut berharap. Sejarah membuat kita memiliki ikatan emosi terhadap bangsanya, cita-citanya.
Bangsa yang lupa, adalah bangsa yang bingung. Makanya di bangsa ini terus terjadi kekacauan karena pelanggar Ham di masa lalu tidak pernah diadili, dan justru perilaku itu diduplikasi. Kesepakatan bersama dilanggar, konsesus nasional tidak dijalankan, dan kesalahan terus diulang. Karena tidak ada bahan merefleksi diri baik rakyat maupun penguasa.
Bicara sejarah dua bangsa, perlu dimulai dari komitmen dan integritas kelompok-kelompok kecil seperti aktivis lingkungan hidup, mahasiswa, serikat buruh, dll. Integirtas bisa saja berubah, srigala bisa saja berganti bulu, tapi sejarah yang dituliskan dengan benar akan menjadi pengingat, bahwa ketika hari ini siapa menjadi apa, jangan hanya ditulis apa yang dilakukan sekarang.
Merawat sejarah, juga bagian dari menyimak dan mencatat perubahan setiap individu yang menjadi pejuang atau pelaku perubahan. Barangkali ini salah satu yang membedakan alasan Wilson dengan Budiman Sudjatmiko meninggalkan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Wilson bilang, ia keluar karena perlu mencari kelompok lain, dan demi menjaga adrenalin bersama orang-orang yang tak mau dikekang oleh kemoderatan dan keadaan yang kelewat mapan. Sedang Budiman bergabung ke PDIP dan menjadi anggota DPR.
Bangsa Indonesia telah kehilangan Jembatan Emas dalam istilah Bung Karno -- Jembatan untuk menggapai kesejahteraan berbangsa dan bernegara; Timor Leste telah kehilangan ruh sebagai “Masyarakat Maubere”.
Kita hanya berdaulat secara politik tapi tidak secara ekonomi. Kita berdaulat sebagai bangsa, tapi tidak berdaulat dengan sejarahnya. Padahal sejarah akan membuat kita tidak kebingungan menentukan masa depan.
Tapi Negara-negara ini sama-sama telah menjadi alat kepentingan global bernama neoliberalisme atau kapitalis internasional. Negara bagai kehilangan eksistensi. Janji memandirikan pangan dengan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, janji menjadi masyarakat sosialis yang anti borjuasi dan tidak korup, seluruhnya tidak terbukti.
Perjuangan harus berlanjut!
Jakarta, 11 Agustus 2011 (notulensi diskusi dengan Wilson di Pantau)
Mungkin yang akan saya sampaikan ini usang. Tapi saya percaya bahwa yang usang ini penting. Kata orang tua jaman dulu, ia menjadi pengeling-eling, ketika kita tersesat dan butuh jalan untuk kembali.
Kata kuncinya sederhana – jangan pernah melupakan sejarah.
Pesan Bung Karno ini sudah kedengaran sangat klise memang. Tapi lelaki itu membuktikan hal paling konkrit melalui kisah dua bangsa yang alfa, dan kini terus-menerus kebingungan bagai terjerat akar hutan, dan terseret putaran labirin yang membingungkan.
“Sejarah selalu saya jadikan fondasi dalam menganalisa dan menulis,” katanya, dan dalam hati saja stuju.
Lelaki itu Wilson, penulis buku A Luta Continua, karya yang lahir karena kekecewaan pada orang-orang yang dulu disebutnya kawan.
Saat ia mencontohkan dua bangsa yang kehilangan sejarah, saya membuka kotak-kota kecil berisi kelompok-kelompok kecil yang sering mudah melupakan komitmen bersama. Ia tentang kesetiakawanan yang dibangun oleh dua sahabat, janji setia dari pasangan hidup, atau solidaritas dan integritas yang dibangun dan dijaga oleh buruh yang berserikat.
Tapi bicara sejarah bangsa, penting bagi kita bicara siapa yang menuliskannya. Apakah Nugoroho Notosusanto yang kemudian menjadi kurikulum di sekolah-sekolah itu? Atau sejarah Timor Leste yang justru lebih banyak ditulis oleh orang luar?
Sejarah yang ada, dan terutama di Indonesia telah diseragamkan versi tentara atau pemerintah untuk melegitimasi kekuasaan. Padahal kemerdekaan harus memiliki makna intelektual dan historis. Dan ini yang tak dimiliki oleh Bangsa Indonesia maupun Timor Leste.
Hal itu yang dikritisi Wilson dalam bukunya, tentang pergerakan di Timor Leste, saat masa perjuangan, referendum dan pasca kemerdekaan. Para pejuang yang awalnya sangat dipercaya memegang teguh cita-cita bersama, tak dinyana bagaikan bunglon yang berkamuflase.
Para aktivis yang dulunya menentang rezim penguasa korup dan otoriter, kini perilaku mereka tak ada bedanya. Mereka yang dulunya pejuang, langsung sibuk dengan urusan kekuasaan dan tidak sempat menulis sejarahnya.
“Ah, segalanya tak semudah yang dulu kita bayangkan,” kata Wilson menirukan kawannya yang menjabat Menteri Pertanian di negara termuda itu.
“Kenapa di saat segalanya di tangan kita justru malah susah? Budget di tangan kita, kekuasaan di tangan kita, kebijakan di tangan kita, kok jadi malah susah? Yang susah itu kan pejuang-pejuang yang tak punya dana, hidup di hutan-hutan, di jalan-jalan, dan tak bisa menyewa secretariat dan kontrakan!” ucapnya.
Lagi, bahwa tidak menuliskan sejarahnya membuat mereka lupa dengan cita-cita semula. Dan lupa bahwa dalam proses kemerdekaan bangsa itu, semua terlibat, semua menyumbang, semua ikut berharap. Sejarah membuat kita memiliki ikatan emosi terhadap bangsanya, cita-citanya.
Bangsa yang lupa, adalah bangsa yang bingung. Makanya di bangsa ini terus terjadi kekacauan karena pelanggar Ham di masa lalu tidak pernah diadili, dan justru perilaku itu diduplikasi. Kesepakatan bersama dilanggar, konsesus nasional tidak dijalankan, dan kesalahan terus diulang. Karena tidak ada bahan merefleksi diri baik rakyat maupun penguasa.
Bicara sejarah dua bangsa, perlu dimulai dari komitmen dan integritas kelompok-kelompok kecil seperti aktivis lingkungan hidup, mahasiswa, serikat buruh, dll. Integirtas bisa saja berubah, srigala bisa saja berganti bulu, tapi sejarah yang dituliskan dengan benar akan menjadi pengingat, bahwa ketika hari ini siapa menjadi apa, jangan hanya ditulis apa yang dilakukan sekarang.
Merawat sejarah, juga bagian dari menyimak dan mencatat perubahan setiap individu yang menjadi pejuang atau pelaku perubahan. Barangkali ini salah satu yang membedakan alasan Wilson dengan Budiman Sudjatmiko meninggalkan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Wilson bilang, ia keluar karena perlu mencari kelompok lain, dan demi menjaga adrenalin bersama orang-orang yang tak mau dikekang oleh kemoderatan dan keadaan yang kelewat mapan. Sedang Budiman bergabung ke PDIP dan menjadi anggota DPR.
Bangsa Indonesia telah kehilangan Jembatan Emas dalam istilah Bung Karno -- Jembatan untuk menggapai kesejahteraan berbangsa dan bernegara; Timor Leste telah kehilangan ruh sebagai “Masyarakat Maubere”.
Kita hanya berdaulat secara politik tapi tidak secara ekonomi. Kita berdaulat sebagai bangsa, tapi tidak berdaulat dengan sejarahnya. Padahal sejarah akan membuat kita tidak kebingungan menentukan masa depan.
Tapi Negara-negara ini sama-sama telah menjadi alat kepentingan global bernama neoliberalisme atau kapitalis internasional. Negara bagai kehilangan eksistensi. Janji memandirikan pangan dengan menumbuhkan ekonomi kerakyatan, janji menjadi masyarakat sosialis yang anti borjuasi dan tidak korup, seluruhnya tidak terbukti.
Perjuangan harus berlanjut!
Jakarta, 11 Agustus 2011 (notulensi diskusi dengan Wilson di Pantau)
Selasa, 09 Agustus 2011
Jurnalisme Advokasi di Indonesia
oleh fiqoh
“Dalam menulis, saya selalu memihak. Saya tak percaya dengan yang namanya netralitas, obyektifitas atau metode cover both sidel!”
Begitu kata Wilson, saat berbicara di sesi kelas Jurnalisme Sastrawi yang diadakan Pantau di Kebayoran Lama Jakarta Selatan.
Pernyataannya ini lekat dengan jiwa keaktivisannya. Wilson telah menerjuni dunia aktivis sejak 1998. Ia ada di gerakan mahasiswa, serikat buruh, PRD, dan gerakan mendukung solidaritas untuk Timor Leste, Aceh, Papua, dan masih banyak lagi. Ia banyak menyaksikan fakta-fakta penindasan -- orang-orang lemah dan bangsa atau negara lemah oleh kekuasaan bangsa atau negara yang kuat; kelompok minoritas oleh kekuatan kelompok mayoritas; atau warga negara oleh penguasa.
Dimensi penindasan itu bermacam-macam, sedari politik, ekonomi, gender, lingkungan hidup, dan masih banyak lagi. Seluruh persoalan itu belum mempunyai jalan keluarnya hingga sekarang.
“Maka itu, keberpihakan pada yang lemah dan tertindas adalah filosofi saya dalam menulis.”
Tentu, yang dimaksud keberpihakan positif. Keberpihakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Karena kelas-kelas dominan dan penguasa selalu menguasai sumber-sumber berita, sumber-sumber pengatauhan. Mereka semua bisa menghegemoni masyarakat dan bisa memaksa orang untuk menerima informasi itu.
“Jadi, dengan fakta itu tindakan yang harus saya lakukan adalah melawan!”
Apalagi media-media mainstream saat ini lebih berorientasi pada rating penjualan (oplah). Dan ia sangat terkait dengan pengiklan, pemilik modal, sponsor. Prinsip yang digunakan adalah nilai sensasi atau keseksian yang bisa menarik pengiklan tertentu atau sponsor tertentu pula. Prinsip itu jelas berbenturan dengan nilai-nilai keberpihakan pada kemanusiaan – sejauh mana orang-orang kecil disuarakan media; berapa persentasenya persoalan mereka bisa diadvokasi melalui media; berapa banyak orang-orang pembawa perubahan di masyarakat (aktivis kalangan bawah) dan suara yang lemah diberi panggung dll.
Jurnalisme Advokasi
Jika para pemilik modal dan birokrat-birokrat media lebih menjaga bisnis industri medianya ketimbang menggunakan media untuk sebuah perubahan yang positif. Masih relefankah kita percaya?
Wilson miris melihat perubahan fungsi media di Indonesia. Di televise dan koran-koran perseteruan kalangan elit menjadi berita utama. Mereka yang sudah berkuasa yang diberi panggung berbicara, untuk ditonton dan didengar jutaan rakyatnya meski kerjanya hanya membual dan menghasilkan sampah.
Padahal, dalam keadaan seperti sekarang ini harusnya jurnalisme kritis mendapat tempat. Tapi yang terjadi sebaliknya, hingga para jurnalis yang memiliki idealis dibenturkan dengan kebijakan redaksi media-media itu. Wartawan akhirnya bagai mesin-mesin industri birokat media yang lama kelamaan membuat komitmennya tergerus sedikit demi sedikit, atau malah mencari aman.
Makanya, jangan harap kita menemukan berita tentang lumpur Lapindo di TV One, atau hal-hal negative Partai Golkar di Metro TV.
Sebelum reformasi tahun 1998, sebagian jurnalis (sekarang AJI) melakukan gerakan advokasi dengan menerbitkan media-media alternatif seperti Suara Independent. Dan ia memang menjadi sumber terpercaya bagi masyarakat, aktivis, LSM atau mahasiswa. Lalu Wilson mencontohkan, jika kita ingin mengetahui politik lingkungan yang merusak masyarakat adat dan komunitas petani, lebih baik membaca berita Walhi. Dan jika mau tahu bagaimana industri tambang berkolaborasi dengan tentara dan pemodal internasional merusak lingkungan dan sistem masyarakat lokal, akan lebih lengkap lihat di situs Jatam. Termasuk blognya Andreas Harsono yang kata Wilson bisa menyajikan berita paling update soal penembakan di Papua dibanding koran Kompas, misalnya.
Dan masih banyak situs-situs penyedia informasi alternatif seperti Kasbi, KPA, dan lainnya yang menyajikan berita-berita berdasarkan fakta-fakta sosial di masyarakat, komunitas gerakan, organisasi-organisasi peduli keadilan, pelaku-pelaku perubahan di masyarakat yang tidak mendapat porsi di media.
Pada intinya, industri media yang orientasinya bisnis akan berhadapan dengan jurnalisme advokasi. Hegemoni dan oligarki modal serta kekuasaan harus dilawan. Masyarakat harus lebih cerdas membedakan berita. Kita tak butuh berita jika ia hanya menyajikan runutan peristiwa –bagaimana jaman orba wartawan bercerita tentang Marsinah, hanya dengan sumber militer atau Kodam Brawijaya. Secara news ia memang menjadi berita -- menceritakan kronologinya, atau hasil visum dari rumah sakit, “Tapi saya pikir itu tidak cukup!” kata Wilson
Bayangkan, jika wartawan hanya meliput dan menceritakan apa yang mereka lihat hari itu, peristiwa di acara itu, atau kebaikan pejabat pada saat itu. Wilson penulis buku A Luta Continua, mengatakan benar-benar kecewa, karena ia membuktikan sendiri betapa teman-temannya yang dulu pejuang kemerdekaan untuk Timor Leste akhirnya menduplikasi sistem penguasa yang pernah mereka lawan – korup, melupakan sejarah, dan menjadi agen kepentingan kapitalisme internasional ketika mereka berkuasa.
Jusnalisme Advokasi adalah cara kita menunjukkan bahwa media bisa menjadi satu alat kritik kebijakan-kebijakan, praktek-praktek kekuasaan yang menyimpang, atau layanan public yang buruk, juga analisa dan mengklarifikasi berita-berita media mainstream yang belum tentu benar.
Tulisan kita harus menyumbang perubahan yang konstruktif dan positif, memihak pada korban dan meminta pertanggungjawaban pada pelaku-pelakunya. Ia harus mengubah cara pandang orang yang membacanya, atau orang-orang yang ada di dalam sistem itu
Menulis itu, pekerjaan lintas profesi, ruang, status. Ujung pena itu, mewakili suara-suara yang tak harus dan tak selalu mampu kita organisir. Kita semua bisa melakukannya dari rumah, kantor, dan tempat-tempat lain di mana saja, tanpa kehilangan hobi-hobi kita yang lain.
Kita bisa menyelinap barang sekejap, menjadi diri kita yang lain, atau diri kita yang sesungguhnya, untuk menyelingi ragamnya rutinitas kita yang terkadang tak selalu kita ingini – profesi tuntutan pekerjaan.
Memihaklah pada yang lemah, yang tertindas, yang tidak punya akses terhadap berita, pengetahuan, atau korban kebijakan penguasa yang merugikan rakyat. Sejatinya, kita dan mereka yang terpinggirkan adalah sama, ketika yang tak memperoleh akses informasi atau yang dibanjiri informasi, sama-sama korban manipulasi oligarki dan hegemoni kekuasaan.
Kata Wilson, jurnalis menggantungkan pada kekuatan lain untuk membuat perubahan. Tapi jurnalisme advokasi membuat wartawan bisa menggunakan media dan pekerjaannya berkontribusi untuk sebuah perubahan.
Jakarta, 8 Agustus 2011
“Dalam menulis, saya selalu memihak. Saya tak percaya dengan yang namanya netralitas, obyektifitas atau metode cover both sidel!”
Begitu kata Wilson, saat berbicara di sesi kelas Jurnalisme Sastrawi yang diadakan Pantau di Kebayoran Lama Jakarta Selatan.
Pernyataannya ini lekat dengan jiwa keaktivisannya. Wilson telah menerjuni dunia aktivis sejak 1998. Ia ada di gerakan mahasiswa, serikat buruh, PRD, dan gerakan mendukung solidaritas untuk Timor Leste, Aceh, Papua, dan masih banyak lagi. Ia banyak menyaksikan fakta-fakta penindasan -- orang-orang lemah dan bangsa atau negara lemah oleh kekuasaan bangsa atau negara yang kuat; kelompok minoritas oleh kekuatan kelompok mayoritas; atau warga negara oleh penguasa.
Dimensi penindasan itu bermacam-macam, sedari politik, ekonomi, gender, lingkungan hidup, dan masih banyak lagi. Seluruh persoalan itu belum mempunyai jalan keluarnya hingga sekarang.
“Maka itu, keberpihakan pada yang lemah dan tertindas adalah filosofi saya dalam menulis.”
Tentu, yang dimaksud keberpihakan positif. Keberpihakan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Karena kelas-kelas dominan dan penguasa selalu menguasai sumber-sumber berita, sumber-sumber pengatauhan. Mereka semua bisa menghegemoni masyarakat dan bisa memaksa orang untuk menerima informasi itu.
“Jadi, dengan fakta itu tindakan yang harus saya lakukan adalah melawan!”
Apalagi media-media mainstream saat ini lebih berorientasi pada rating penjualan (oplah). Dan ia sangat terkait dengan pengiklan, pemilik modal, sponsor. Prinsip yang digunakan adalah nilai sensasi atau keseksian yang bisa menarik pengiklan tertentu atau sponsor tertentu pula. Prinsip itu jelas berbenturan dengan nilai-nilai keberpihakan pada kemanusiaan – sejauh mana orang-orang kecil disuarakan media; berapa persentasenya persoalan mereka bisa diadvokasi melalui media; berapa banyak orang-orang pembawa perubahan di masyarakat (aktivis kalangan bawah) dan suara yang lemah diberi panggung dll.
Jurnalisme Advokasi
Jika para pemilik modal dan birokrat-birokrat media lebih menjaga bisnis industri medianya ketimbang menggunakan media untuk sebuah perubahan yang positif. Masih relefankah kita percaya?
Wilson miris melihat perubahan fungsi media di Indonesia. Di televise dan koran-koran perseteruan kalangan elit menjadi berita utama. Mereka yang sudah berkuasa yang diberi panggung berbicara, untuk ditonton dan didengar jutaan rakyatnya meski kerjanya hanya membual dan menghasilkan sampah.
Padahal, dalam keadaan seperti sekarang ini harusnya jurnalisme kritis mendapat tempat. Tapi yang terjadi sebaliknya, hingga para jurnalis yang memiliki idealis dibenturkan dengan kebijakan redaksi media-media itu. Wartawan akhirnya bagai mesin-mesin industri birokat media yang lama kelamaan membuat komitmennya tergerus sedikit demi sedikit, atau malah mencari aman.
Makanya, jangan harap kita menemukan berita tentang lumpur Lapindo di TV One, atau hal-hal negative Partai Golkar di Metro TV.
Sebelum reformasi tahun 1998, sebagian jurnalis (sekarang AJI) melakukan gerakan advokasi dengan menerbitkan media-media alternatif seperti Suara Independent. Dan ia memang menjadi sumber terpercaya bagi masyarakat, aktivis, LSM atau mahasiswa. Lalu Wilson mencontohkan, jika kita ingin mengetahui politik lingkungan yang merusak masyarakat adat dan komunitas petani, lebih baik membaca berita Walhi. Dan jika mau tahu bagaimana industri tambang berkolaborasi dengan tentara dan pemodal internasional merusak lingkungan dan sistem masyarakat lokal, akan lebih lengkap lihat di situs Jatam. Termasuk blognya Andreas Harsono yang kata Wilson bisa menyajikan berita paling update soal penembakan di Papua dibanding koran Kompas, misalnya.
Dan masih banyak situs-situs penyedia informasi alternatif seperti Kasbi, KPA, dan lainnya yang menyajikan berita-berita berdasarkan fakta-fakta sosial di masyarakat, komunitas gerakan, organisasi-organisasi peduli keadilan, pelaku-pelaku perubahan di masyarakat yang tidak mendapat porsi di media.
Pada intinya, industri media yang orientasinya bisnis akan berhadapan dengan jurnalisme advokasi. Hegemoni dan oligarki modal serta kekuasaan harus dilawan. Masyarakat harus lebih cerdas membedakan berita. Kita tak butuh berita jika ia hanya menyajikan runutan peristiwa –bagaimana jaman orba wartawan bercerita tentang Marsinah, hanya dengan sumber militer atau Kodam Brawijaya. Secara news ia memang menjadi berita -- menceritakan kronologinya, atau hasil visum dari rumah sakit, “Tapi saya pikir itu tidak cukup!” kata Wilson
Bayangkan, jika wartawan hanya meliput dan menceritakan apa yang mereka lihat hari itu, peristiwa di acara itu, atau kebaikan pejabat pada saat itu. Wilson penulis buku A Luta Continua, mengatakan benar-benar kecewa, karena ia membuktikan sendiri betapa teman-temannya yang dulu pejuang kemerdekaan untuk Timor Leste akhirnya menduplikasi sistem penguasa yang pernah mereka lawan – korup, melupakan sejarah, dan menjadi agen kepentingan kapitalisme internasional ketika mereka berkuasa.
Jusnalisme Advokasi adalah cara kita menunjukkan bahwa media bisa menjadi satu alat kritik kebijakan-kebijakan, praktek-praktek kekuasaan yang menyimpang, atau layanan public yang buruk, juga analisa dan mengklarifikasi berita-berita media mainstream yang belum tentu benar.
Tulisan kita harus menyumbang perubahan yang konstruktif dan positif, memihak pada korban dan meminta pertanggungjawaban pada pelaku-pelakunya. Ia harus mengubah cara pandang orang yang membacanya, atau orang-orang yang ada di dalam sistem itu
Menulis itu, pekerjaan lintas profesi, ruang, status. Ujung pena itu, mewakili suara-suara yang tak harus dan tak selalu mampu kita organisir. Kita semua bisa melakukannya dari rumah, kantor, dan tempat-tempat lain di mana saja, tanpa kehilangan hobi-hobi kita yang lain.
Kita bisa menyelinap barang sekejap, menjadi diri kita yang lain, atau diri kita yang sesungguhnya, untuk menyelingi ragamnya rutinitas kita yang terkadang tak selalu kita ingini – profesi tuntutan pekerjaan.
Memihaklah pada yang lemah, yang tertindas, yang tidak punya akses terhadap berita, pengetahuan, atau korban kebijakan penguasa yang merugikan rakyat. Sejatinya, kita dan mereka yang terpinggirkan adalah sama, ketika yang tak memperoleh akses informasi atau yang dibanjiri informasi, sama-sama korban manipulasi oligarki dan hegemoni kekuasaan.
Kata Wilson, jurnalis menggantungkan pada kekuatan lain untuk membuat perubahan. Tapi jurnalisme advokasi membuat wartawan bisa menggunakan media dan pekerjaannya berkontribusi untuk sebuah perubahan.
Jakarta, 8 Agustus 2011
Senin, 08 Agustus 2011
Mandi Pagi
Handuk sudah kulilitkan ditubuh kuputar gagang pintu untuk keluar. Tapi…..eit!
Kutarik tahan gagang pintu kamar mandi itu. Dan meskipun mengintip itu perbuatan tidak baik, tapi aku melakukannya.
Dua perempuan yang besarnya hampir sama sedang berhadap-hadapan di ruang belakang, ruang yang akan aku lewati. Yang bertubuh agak kecil sedang khusuk melakukan “ritualnya” menjulurkan lidah, mendorongkan tubuh, menyapu bagian leher bawah, samping hingga lekuk di bawah dagu perempuan satunya.
Perempuan yang usianya jauh lebih tua itu memejamkan mata sambil tiduran. Tubuhnya condong ke belakang setengah terdorong oleh gerakan Si Enis -- panggilanku padanya.
Aku hampir tak bisa menahan diri karena gemas, dan gregetan! Betapa tidak, seumur hidupku baru aku menyaksikan hal seperti ini. Tapi kuatur nafasku agar tak mengusik kebersamaan mereka.
Adegan terus berlangsung. Si Enis lebih agresif mendorong-dorong perempuan yang nampak pasrah itu. Dengan lidahnya yang kecil, sapuannya beralih ke pipi kiri, kanan, hidung, dan pinggiran mulut – kosat…kasut…kosat…kasut.
“Idih, opo to iki…?” gumamku sendiri sambil nyengir sendiri pula.
Seiring itu perempuan tengah baya mendongak, menunduk, miring ke kiri dan kanan. Ia seperti menyesuaikan gerakan untuk memudahkan aktivitas Si Enis yang masih sangat belia dan belum berpengalaman.
Lagi-lagi, aku hampir tak bisa mendiamkan hal itu terus berlangsung. Apalagi kini keduanya malah saling memeluk, bergumul dan nampak semakin hangat. Dalam rangkulan tangan yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu, jilatan Enis tak berhenti, dan berpindah ke telinga yang mirip contongan daun pisang(seperti kue pasung tradisional). kini ia tak hanya kosat-kasut, tapi juga mulai mengigit, dan memasukkan moncong kecilnya ke dalam contong. Jelas saja si pemilik kuping berbentuk contong tak kuasa menahan geli.
“Eh, kok begitu nak? Ibu kan geli..hihihi” kata perempuan yang lebih pantas jadi ibunya kira-kira.
“Kok geli. Kan itu pula yang sering Ibu lakukan ke aku. Aku berusaha menirukan Ibu,hiks…hiks.” Jawab Enis sambil merajuk (mungkin) karena aku hanya melihat wajah mereka yang embas-embis sambil saling melepas pelukan tanpa engerti kata-katanya.
“Tapi moncongmu itu bikin geli nak…heheheh….heheheh…heheheh”
“Ya udah, enggak gitu lagi deh. Beneran…!”, Jawab Enis bersikukuh -- masih menurut perkiaraanku Enis bilang begitu, sambil tetap tak melepas pelukan dan ngotot meneruskan ritual di sekitar kuping.
Tapi…adegan itu segera terhenti karena perempuan setengah baya langsung menarik kepalanya dan memukul-mukul (terlihat bohongan memukulnya) sambil bangkit. Ia berjalan meninggalkan ruang belakang seiring derit pintu kamar mandi yang aku buka.
Jejak-jejak mirip buah brenuk ukuran kecil nampak di lantai berkeramik putih. Si Enis kecil berlari-lari menyusul. Mereka saling mengejar sambil terus bercanda, melompati tembok pembatas kamar menuju bawah jemuran, sambil sesekali melipat dan menekuk ekornya.
Keduanya adalah (ibu dan anak), induk kucing dengan anak satu-satunya. Mereka tinggal di sekitar tempat kost dan sering bertamu ke kamarku. Karena aku sering memberinya makan malam bervareasi sedari kepala lele, tulang ayam, dll.
Mungkin karena anak satu-satunya itulah Si Enis jadi sangat manja, masih ngempeng meski ia sudah besar. Tapi, pagi ini dia menjadi anak yang berbakti. Memperhatikan dan memandikan ibunya.
5 Agustus 2011 (Hiburan pagi hari saat mata ngantuk kurang tidur)
Kutarik tahan gagang pintu kamar mandi itu. Dan meskipun mengintip itu perbuatan tidak baik, tapi aku melakukannya.
Dua perempuan yang besarnya hampir sama sedang berhadap-hadapan di ruang belakang, ruang yang akan aku lewati. Yang bertubuh agak kecil sedang khusuk melakukan “ritualnya” menjulurkan lidah, mendorongkan tubuh, menyapu bagian leher bawah, samping hingga lekuk di bawah dagu perempuan satunya.
Perempuan yang usianya jauh lebih tua itu memejamkan mata sambil tiduran. Tubuhnya condong ke belakang setengah terdorong oleh gerakan Si Enis -- panggilanku padanya.
Aku hampir tak bisa menahan diri karena gemas, dan gregetan! Betapa tidak, seumur hidupku baru aku menyaksikan hal seperti ini. Tapi kuatur nafasku agar tak mengusik kebersamaan mereka.
Adegan terus berlangsung. Si Enis lebih agresif mendorong-dorong perempuan yang nampak pasrah itu. Dengan lidahnya yang kecil, sapuannya beralih ke pipi kiri, kanan, hidung, dan pinggiran mulut – kosat…kasut…kosat…kasut.
“Idih, opo to iki…?” gumamku sendiri sambil nyengir sendiri pula.
Seiring itu perempuan tengah baya mendongak, menunduk, miring ke kiri dan kanan. Ia seperti menyesuaikan gerakan untuk memudahkan aktivitas Si Enis yang masih sangat belia dan belum berpengalaman.
Lagi-lagi, aku hampir tak bisa mendiamkan hal itu terus berlangsung. Apalagi kini keduanya malah saling memeluk, bergumul dan nampak semakin hangat. Dalam rangkulan tangan yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu, jilatan Enis tak berhenti, dan berpindah ke telinga yang mirip contongan daun pisang(seperti kue pasung tradisional). kini ia tak hanya kosat-kasut, tapi juga mulai mengigit, dan memasukkan moncong kecilnya ke dalam contong. Jelas saja si pemilik kuping berbentuk contong tak kuasa menahan geli.
“Eh, kok begitu nak? Ibu kan geli..hihihi” kata perempuan yang lebih pantas jadi ibunya kira-kira.
“Kok geli. Kan itu pula yang sering Ibu lakukan ke aku. Aku berusaha menirukan Ibu,hiks…hiks.” Jawab Enis sambil merajuk (mungkin) karena aku hanya melihat wajah mereka yang embas-embis sambil saling melepas pelukan tanpa engerti kata-katanya.
“Tapi moncongmu itu bikin geli nak…heheheh….heheheh…heheheh”
“Ya udah, enggak gitu lagi deh. Beneran…!”, Jawab Enis bersikukuh -- masih menurut perkiaraanku Enis bilang begitu, sambil tetap tak melepas pelukan dan ngotot meneruskan ritual di sekitar kuping.
Tapi…adegan itu segera terhenti karena perempuan setengah baya langsung menarik kepalanya dan memukul-mukul (terlihat bohongan memukulnya) sambil bangkit. Ia berjalan meninggalkan ruang belakang seiring derit pintu kamar mandi yang aku buka.
Jejak-jejak mirip buah brenuk ukuran kecil nampak di lantai berkeramik putih. Si Enis kecil berlari-lari menyusul. Mereka saling mengejar sambil terus bercanda, melompati tembok pembatas kamar menuju bawah jemuran, sambil sesekali melipat dan menekuk ekornya.
Keduanya adalah (ibu dan anak), induk kucing dengan anak satu-satunya. Mereka tinggal di sekitar tempat kost dan sering bertamu ke kamarku. Karena aku sering memberinya makan malam bervareasi sedari kepala lele, tulang ayam, dll.
Mungkin karena anak satu-satunya itulah Si Enis jadi sangat manja, masih ngempeng meski ia sudah besar. Tapi, pagi ini dia menjadi anak yang berbakti. Memperhatikan dan memandikan ibunya.
5 Agustus 2011 (Hiburan pagi hari saat mata ngantuk kurang tidur)
Rabu, 03 Agustus 2011
Pemimpin Bangsa dan Jatuhnya Buah Apel
oleh fiqoh
Andai saja, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Andai saja orang tua, guru dan para pemimpin bisa mengajarkan yang baik lewat ucapan, itupun tidak cukup tanpa contoh melalui perbuatan.
Semrawutnya berlalulintas, cermin semrawutnya kepribadian. Tentu ini hanya salah satu contoh. Dan ini dimulai dari kerumunan anak-anak yang bermain di rumah, dan di sekolah. Salah satu dari kerumunan anak itu menarik perhatianku mengamatinya, karena ia selalu merebut mainan teman-temannya.
“Sini nak,” panggilku dan anak itu mendekat.
“Kenapa kamu selalu merebut mainan teman-temanmu nak..?” tanyaku dan anak itu hanya menggeleng.
“Ayah dan Ibumu, pernah tidak mengajarkanmu untuk tidak merebut mainan teman-temanmu?” Anak itu memandangku dan menggeleng lagi.
Aku teringat kata temanku Dit, jika ingin melihat orang tuanya, lihatlah anaknya. Jika ingin melihat perilaku pemimpin bangsa, lihat perilaku rakyatnya. Ketidakdisiplinan, ketidakkonsistenan dalam menaati peraturan bermula karena pemimpin selalu bersikap inkonsisten! Contoh kecil, ketertiban dalam berlalu-lintas.
Dan kenapa masih banyak rakyat terbelakang dan miskin? Tentu mudah menjawabnya. Salah satunya, dalam hal pendidikan, murid harus mendaftar ulang setiap kenaikan kelas. Tetanggaku mengeluh, karena ia harus membayar minimal 250 ribu untuk itu.
Ibarat pepatah Belanda, apel jatuh tak jauh dari pohonnya. Dan pohon-pohon kurang bermutu sudah tumbuh subur di negeri ini.
Jakarta 22 Juli 2011 07:27
Andai saja, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Andai saja orang tua, guru dan para pemimpin bisa mengajarkan yang baik lewat ucapan, itupun tidak cukup tanpa contoh melalui perbuatan.
Semrawutnya berlalulintas, cermin semrawutnya kepribadian. Tentu ini hanya salah satu contoh. Dan ini dimulai dari kerumunan anak-anak yang bermain di rumah, dan di sekolah. Salah satu dari kerumunan anak itu menarik perhatianku mengamatinya, karena ia selalu merebut mainan teman-temannya.
“Sini nak,” panggilku dan anak itu mendekat.
“Kenapa kamu selalu merebut mainan teman-temanmu nak..?” tanyaku dan anak itu hanya menggeleng.
“Ayah dan Ibumu, pernah tidak mengajarkanmu untuk tidak merebut mainan teman-temanmu?” Anak itu memandangku dan menggeleng lagi.
Aku teringat kata temanku Dit, jika ingin melihat orang tuanya, lihatlah anaknya. Jika ingin melihat perilaku pemimpin bangsa, lihat perilaku rakyatnya. Ketidakdisiplinan, ketidakkonsistenan dalam menaati peraturan bermula karena pemimpin selalu bersikap inkonsisten! Contoh kecil, ketertiban dalam berlalu-lintas.
Dan kenapa masih banyak rakyat terbelakang dan miskin? Tentu mudah menjawabnya. Salah satunya, dalam hal pendidikan, murid harus mendaftar ulang setiap kenaikan kelas. Tetanggaku mengeluh, karena ia harus membayar minimal 250 ribu untuk itu.
Ibarat pepatah Belanda, apel jatuh tak jauh dari pohonnya. Dan pohon-pohon kurang bermutu sudah tumbuh subur di negeri ini.
Jakarta 22 Juli 2011 07:27
Benarkah Tak Butuh Tuhan?
oleh fiqoh
Sekali lagi kutanyakan hal itu padanya. Karena menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini semuanya proses alam. Pohon bertumbuh dan mati, biji dilempar dan tumbuh. Begitu juga berkembang biaknya binatang dan manusia, semuanya terjadi secara naluriah dan alamiah. Kita tak butuh Tuhan untuk itu semua.
“Kok bisa?” tanyaku.
“Soal itu anak kecil pun tahu,” jawabnya.
“Coba saja, kamu tanya pada anak kecil yang lapar. Kira-kira siapa yang dibutuhkan oleh anak itu? Pasti ibunya kan? – Ibu aku pengen makan." katanya menirukan.
Cukup lama aku biarkan argumen itu, hingga kudengar dialog dari sebuah sinetron tadi pagi. Ini tentang sepasang suami-istri keluarga yang sakinah. Mereka hendak membantu keluarga lain yang tidak mampu.
“Bu, bagaimana kalau kita membantu keluarga itu?” tanya suaminya dengan bahasa yang sangat halus dan membungkuk dalam over acting.
Sang istri diam sebentar, mengerjap-ngerjapkan mata dan berkata, “Apa kira-kira yang bisa kita berikan ya Pak…?”
Keduanya terdiam dan hanya salaing memandang. Lalu, senyum paling manis dan menawan (masih dalam over acting) diberikan suaminya sebelum berkata, “Ibu kan istri Bapak yang cantik dan solehah. Pasti Ibu akan mendapat petunjuk dari Allah. Kita tunggu ya Bu?”
“Halah…gimana tho ini. Wong mau memberi bantuan saja kok pake meminta petunjuk Allah. Gimana kalau orang yang mau dibantu keburu meninggal? Atau mereka adalah korban tertimpa bencana alam yang harus segera mendapat pertolongan? Apakah harus menunggu petunjuk Allah juga?” komentar teman kosku.
Dialog sinetron menunjukkan betapa sikap si keluarga sakinah yang taat beragama, malah jadi tidak simpel dan keblinger dalam memutuskan hal-hal kecil. padahal kita mau bersifat kikir atau bermurah hati, keputusan ada di tangan kita. Sama seperti ketika seseorang memilih jujur atau menjadi koruptor. Keduanya mutlak pilihan kita.
Tapi kita sering melihat bahwa posisi kita dan Tuhan dicampuradukkan. Di televisi sering kita lihat para artis, pejabat, atau tokoh agama membawa-bawa Tuhan ketika kesandung masalah dan masuk penjara. Tuhan juga sering dibawa untuk kasus kawin cerainya seseorang. Biasanya mereka berkata, ya saya hanya manusia biasa, dan Tuhan yang mengatur semua ini, saya hanya menjalani, ini sudah takdir dari sananya, dll.
Kalau begitu apakah kita juga akan meminta Tuhan mengatur lalu lintas supaya tak ada musibah kecelakaan? Mengatur nama-nama calon korupsi mendapat gilirannya? Mengatur siasat membawa lari uang pajak?
Anak kecil yang lapar tentu butuh ibunya. Bukan Tuhan. Itu betul. Tapi, keputusan memberi atau tidak, itu adalah keputusan kita.
Kita tak bisa menyamakan peran yang berwujud dengan yang tak berwujud. Jadi, jika kita membutuhkan sesuatu yang berwujud dan secara langsung, mintalah pada yang berwujud. Ia bisa pasangan hidup, orang tua, pelayan kafe, teman, dll.
Meski Tuhan mencipta semesta, bukan berarti kita bisa memintanya menyediakan kacang goreng atau mengambilkan nasi dan menyuapi kita.
Mengingat pernyataan Musdah Mulia bahwa agama adalah interpretasi, maka Allah menyuruh kita menuntut ilmu dan belajar untuk menggunakan nalar dan berpikir. Setidaknya kita tahu bahwa di dunia ini manusia perlu menjaga dan menghormati hubungan-hubungan -- vertikal, diagonal, horizontal. Masing-masing memiliki porsi dan fungsinya.
Jakarta menjelang subuh, 03:45,3 Agustus 2011
Sekali lagi kutanyakan hal itu padanya. Karena menurutnya, segala sesuatu yang ada di dunia ini semuanya proses alam. Pohon bertumbuh dan mati, biji dilempar dan tumbuh. Begitu juga berkembang biaknya binatang dan manusia, semuanya terjadi secara naluriah dan alamiah. Kita tak butuh Tuhan untuk itu semua.
“Kok bisa?” tanyaku.
“Soal itu anak kecil pun tahu,” jawabnya.
“Coba saja, kamu tanya pada anak kecil yang lapar. Kira-kira siapa yang dibutuhkan oleh anak itu? Pasti ibunya kan? – Ibu aku pengen makan." katanya menirukan.
Cukup lama aku biarkan argumen itu, hingga kudengar dialog dari sebuah sinetron tadi pagi. Ini tentang sepasang suami-istri keluarga yang sakinah. Mereka hendak membantu keluarga lain yang tidak mampu.
“Bu, bagaimana kalau kita membantu keluarga itu?” tanya suaminya dengan bahasa yang sangat halus dan membungkuk dalam over acting.
Sang istri diam sebentar, mengerjap-ngerjapkan mata dan berkata, “Apa kira-kira yang bisa kita berikan ya Pak…?”
Keduanya terdiam dan hanya salaing memandang. Lalu, senyum paling manis dan menawan (masih dalam over acting) diberikan suaminya sebelum berkata, “Ibu kan istri Bapak yang cantik dan solehah. Pasti Ibu akan mendapat petunjuk dari Allah. Kita tunggu ya Bu?”
“Halah…gimana tho ini. Wong mau memberi bantuan saja kok pake meminta petunjuk Allah. Gimana kalau orang yang mau dibantu keburu meninggal? Atau mereka adalah korban tertimpa bencana alam yang harus segera mendapat pertolongan? Apakah harus menunggu petunjuk Allah juga?” komentar teman kosku.
Dialog sinetron menunjukkan betapa sikap si keluarga sakinah yang taat beragama, malah jadi tidak simpel dan keblinger dalam memutuskan hal-hal kecil. padahal kita mau bersifat kikir atau bermurah hati, keputusan ada di tangan kita. Sama seperti ketika seseorang memilih jujur atau menjadi koruptor. Keduanya mutlak pilihan kita.
Tapi kita sering melihat bahwa posisi kita dan Tuhan dicampuradukkan. Di televisi sering kita lihat para artis, pejabat, atau tokoh agama membawa-bawa Tuhan ketika kesandung masalah dan masuk penjara. Tuhan juga sering dibawa untuk kasus kawin cerainya seseorang. Biasanya mereka berkata, ya saya hanya manusia biasa, dan Tuhan yang mengatur semua ini, saya hanya menjalani, ini sudah takdir dari sananya, dll.
Kalau begitu apakah kita juga akan meminta Tuhan mengatur lalu lintas supaya tak ada musibah kecelakaan? Mengatur nama-nama calon korupsi mendapat gilirannya? Mengatur siasat membawa lari uang pajak?
Anak kecil yang lapar tentu butuh ibunya. Bukan Tuhan. Itu betul. Tapi, keputusan memberi atau tidak, itu adalah keputusan kita.
Kita tak bisa menyamakan peran yang berwujud dengan yang tak berwujud. Jadi, jika kita membutuhkan sesuatu yang berwujud dan secara langsung, mintalah pada yang berwujud. Ia bisa pasangan hidup, orang tua, pelayan kafe, teman, dll.
Meski Tuhan mencipta semesta, bukan berarti kita bisa memintanya menyediakan kacang goreng atau mengambilkan nasi dan menyuapi kita.
Mengingat pernyataan Musdah Mulia bahwa agama adalah interpretasi, maka Allah menyuruh kita menuntut ilmu dan belajar untuk menggunakan nalar dan berpikir. Setidaknya kita tahu bahwa di dunia ini manusia perlu menjaga dan menghormati hubungan-hubungan -- vertikal, diagonal, horizontal. Masing-masing memiliki porsi dan fungsinya.
Jakarta menjelang subuh, 03:45,3 Agustus 2011
Selasa, 02 Agustus 2011
Kesetaraan Gender
Di depan rumahku selalu runtang-runtung sepasang ayam jantan dan betina. Si jantan sibuk dengan dirinya, membersihkan bulu-bulu, mengatur bahasa tubuh, sambil mencari-cari kesempatan untuk menunggangi si betina.
Si betina selalu menghindar sambil kakinya terus mencakar-cakar. Gundukan tanah, tumpukan sampah, gumpalan rumput, dan celah-celah bebatuan ia sibakkan. Titik-titik putih menyembul seriring perginya rombongan semut meninggalkan telor-telornya. Dan si betina bersuara krak-kruk...krak-kruk... memanggil anak-anaknya.
Satu demi satu diperhatikannya untuk memastikan semua kebagian jatah. Dan si jantan sibuk menelan butir-butir nasi yang dibuang si pemilik rumah.
Jika ada emansipasi demi kesetaraan atas keduanya, kesetaraan tak akan pernah bisa menggantikan peran, naluri dan fungsi satu sama lain. Salah satunya fungsi reproduksi, fungsi merawat generasi, yang dikutip dari Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 dalam buku “Kartini Mati Dibunuh”, menyiratkan bahwa: pentingnya kesetaraan pendidikan anak perempuan, agar kaum perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
Jkt 20 Juli 2011
Si betina selalu menghindar sambil kakinya terus mencakar-cakar. Gundukan tanah, tumpukan sampah, gumpalan rumput, dan celah-celah bebatuan ia sibakkan. Titik-titik putih menyembul seriring perginya rombongan semut meninggalkan telor-telornya. Dan si betina bersuara krak-kruk...krak-kruk... memanggil anak-anaknya.
Satu demi satu diperhatikannya untuk memastikan semua kebagian jatah. Dan si jantan sibuk menelan butir-butir nasi yang dibuang si pemilik rumah.
Jika ada emansipasi demi kesetaraan atas keduanya, kesetaraan tak akan pernah bisa menggantikan peran, naluri dan fungsi satu sama lain. Salah satunya fungsi reproduksi, fungsi merawat generasi, yang dikutip dari Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 dalam buku “Kartini Mati Dibunuh”, menyiratkan bahwa: pentingnya kesetaraan pendidikan anak perempuan, agar kaum perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
Jkt 20 Juli 2011
Langganan:
Postingan (Atom)