“Barangkali, akan lebih baik andai aku tak bertemu dengannya. Tapi siapa mengerti jalan kehidupan?” gumam wanita muda itu lirih.
Ia tinggalkan kursi dekat pembatas pintu gerbong. Sebuah posisi yang kini kembali kosong.
“Aku akan ada di sini, tepat di depanmu saat kau ingin melihatku dan menengok ke arah kiri,” kata lelaki itu dulu.
Sabtu, 29 November 2014
Jeda Sepeminuman Teh
Saat jeda kau meminum teh. Sudah dua batang rokok kau sulut. Dan jejakku telah tertinggal di seluruh sudut.
Saat kau menunggunya menjadi hangat. Aku memandikan tiga anak kita. Menyuapinya, membersihkan rumah, dan menyetrika.
Saat teh mulai kau hirup. Aku memasukkan beras dalam periuk. Mencuci segala peralatan memasak. Sambil membuat bumbu menu.
Pada hirupan pertama, kau mendehem. Aku terbatuk, badanku tersuruk, dengan beban yang menumpuk. Lalu kau membuka rubrik bola sebuah koran. Dan aku mulai mengeluarkan jemuran.
Seruputan kedua, kau geliatkan badanmu ke sandaran kursi. Aku setengah berlari menuju kamar mandi. Karena pagi sudah menjauh pergi.
Teh dalam gelasmu tinggal setengah. Semua masakan sudah kuhidang. Kau mulai sarapan dan aku mengenakan pakaian kerja. Sebentar lagi, klakson jemputan akan berbunyi.
Aku tidak sedang mengumpulkan angka, apalagi untuk dihitung dengan rumus matematika. Semua yang kulakukan terjadi begitu saja, sebagaimana tubuhku terpanggil, rindu yang selalu menggungung di setiap relung, kasih yang mengalir hingga urat nadi, dan menempati setiap sendi. Sungguh aku cinta mati!
3 Sept 2014 [kisah seorang pekerja perempuan]
Saat kau menunggunya menjadi hangat. Aku memandikan tiga anak kita. Menyuapinya, membersihkan rumah, dan menyetrika.
Saat teh mulai kau hirup. Aku memasukkan beras dalam periuk. Mencuci segala peralatan memasak. Sambil membuat bumbu menu.
Pada hirupan pertama, kau mendehem. Aku terbatuk, badanku tersuruk, dengan beban yang menumpuk. Lalu kau membuka rubrik bola sebuah koran. Dan aku mulai mengeluarkan jemuran.
Seruputan kedua, kau geliatkan badanmu ke sandaran kursi. Aku setengah berlari menuju kamar mandi. Karena pagi sudah menjauh pergi.
Teh dalam gelasmu tinggal setengah. Semua masakan sudah kuhidang. Kau mulai sarapan dan aku mengenakan pakaian kerja. Sebentar lagi, klakson jemputan akan berbunyi.
Dan kau akan melanjutkan tidur pagi.
Aku tidak sedang mengumpulkan angka, apalagi untuk dihitung dengan rumus matematika. Semua yang kulakukan terjadi begitu saja, sebagaimana tubuhku terpanggil, rindu yang selalu menggungung di setiap relung, kasih yang mengalir hingga urat nadi, dan menempati setiap sendi. Sungguh aku cinta mati!
Tapi bagaimana bisa kau biarkan kekasihmu tanpa berbuat apa-apa? Tidakkah cinta selalu berbicara, bukan apa yang akan kita terima, tapi apa yang bisa kita berikan?
3 Sept 2014 [kisah seorang pekerja perempuan]
Rabu, 10 September 2014
Politik Bahasa & Cinta
Seorang istri membanggakan suami pada temannya. Bagaimana tidak? Di saat harga emas melambung karena dampak harga dolar, Mas-nya (panggilannya pada suami) juga melambungkan dirinya.
Lelaki yang biasa disapa Mas itu, belakangan menyulap dirinya seperti tokoh istri pujaan di sinetron-sinetron. Dan ia bagai sedang memerankan tokoh istri dalam film Cinta Fitri.
Sebuah babak di suatu pagi.
“Say...” kata laki-laki itu setengah melenguh (bukan mengeluh lho ya...? sapi kali melenguh, hehe).
Lelaki yang biasa disapa Mas itu, belakangan menyulap dirinya seperti tokoh istri pujaan di sinetron-sinetron. Dan ia bagai sedang memerankan tokoh istri dalam film Cinta Fitri.
Sebuah babak di suatu pagi.
“Say...” kata laki-laki itu setengah melenguh (bukan mengeluh lho ya...? sapi kali melenguh, hehe).
Rabu, 27 Agustus 2014
Jatuh
Aku tahu aku akan jatuh
Dalam pendakian yang sedang kutempuh
Terjalnya, tebingnya, kudekati hingga ke tepi
Dan memang aku jatuh
Bagai biji ketapel yang kautarik dari dua sudut berbeda dan sama kuatnya
Aku terhempas bersama cinta dan luka, harapan dan kepalsuan, yang kau hadirkan pada saat sama
Aku merapuh
Tapi untuk sementara waktu, sebagaimana kutahu...
Tak ada cinta abadi, juga luka abadi
Aku terluka
Tapi luka telah meluruhkan rasa yang lain...
Rasa tentangmu...yang terlepas pergi bersamanya
Bawa dustamu pergi
Dan aku akan terbang menuju cakrawala
Untuk kutambatkan setia, tanpa prasangka
26 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]
Dalam pendakian yang sedang kutempuh
Terjalnya, tebingnya, kudekati hingga ke tepi
Dan memang aku jatuh
Bagai biji ketapel yang kautarik dari dua sudut berbeda dan sama kuatnya
Aku terhempas bersama cinta dan luka, harapan dan kepalsuan, yang kau hadirkan pada saat sama
Aku merapuh
Tapi untuk sementara waktu, sebagaimana kutahu...
Tak ada cinta abadi, juga luka abadi
Aku terluka
Tapi luka telah meluruhkan rasa yang lain...
Rasa tentangmu...yang terlepas pergi bersamanya
Bawa dustamu pergi
Dan aku akan terbang menuju cakrawala
Untuk kutambatkan setia, tanpa prasangka
26 Agustus 2014 [untuk seorang sahabat]
Rabu, 20 Agustus 2014
Sebuah Kemungkinan
Ketetapan upah membuat kita melakukan ketetapan kerja. Pergantian
menit, perubahan hari, bagai selaksa pelangi.
Hari hanya menjadi penanda, kapan senin panjang dimulai. Kapan
sabtu pendek akan tiba. Itulah hari kerja.
Dan kita lupa, atau...mungkin dipaksa lupa ada ketentuan
lain. Bahwa misteri, ada dalam rasa kita sendiri – hari yang sama bisa memberi
makna berbeda, tergantung apakah seseorang sedang menunggu, atau sedang enggan
menyudahi sebuah momen.
Selasa, 19 Agustus 2014
Bersama Waktu
Waktu mengantarkan titik didih pada temperatur tertentu,
juga mendinginkan untuk jangka waktu tertentu.
Tragedi tidak selalu karena parang bertemu pedang, atau tinju
bertemu tendangan.
Jika kata-kata adalah pembunuh sebelum senjata, maka
langkah diplomasi ibarat obat yang selalu datang terlambat.
Waktu bisa menjadi momen atas tragedi, juga menjadi jeda
yang penuh kekuatan, kadang daya penyembuh, kadang peluruh.
Tindakan menahan diri untuk marah terhadap seseorang yang
sedang marah, kadang jauh lebih berarti dibanding kerja-kerja diplomasi.
Kerja sebuah waktu membuat luka tersembuhkan, amarah mereda,
kekecewaan terobati, dan rasa kehilangan akan tergantikan.
Biarkan waktu bicara, biarkan kesesakan bertemu jeda. Karena
jarak adalah keajaiban, hingga sebuah tragedi berubah menjadi komedi.
20 Agustus 2014
Senin, 18 Agustus 2014
Catatanku Hari Ini II
Setiap esok
menjelang, kita bagai sumbu lilin yang terus terbakar
Seperti pelayar
di tengah semudera, apakah akan menepi dan usai, atau bertemu badai
Kita bagai
roda-roda yang seakan terus berirama, hingga gugusan demi gugusan mencipta
bentuk, yang tak lagi seperti semula
Kita bagai
ombak yang pasang dan surut, memainkan setiap benda yang terserak dan mengapung
Melempar dan
membawanya kembali
Nyaris tak
terlihat lelah, hingga benda-benda tak lagi setia, ikuti keabadian irama
Di darat, musim semi sudah beribu kali terjadi
Tunas baru menggantikan pertumbuhan yang kemarin
Yang kemarin tumbuh sudah kembali ke bumi
Harusnya ia tercatat sebagai lambang cinta yang putih, meski
tanpa prasasti
Bagaimana dengan kita sendiri?
Andai masih sama – tidur di malam hari; bangun di pagi
hari...
Tetaplah ia sebuah anugerah
Andai masih sama -- statis
Tetaplah ia sebuah anugerah
Sedetik yang lalu kita dengar kabar kematian
Sedetik ke depan juga kematian
Jika detik ini ajal menjumpai kita
Semenitpun takkan bisa ditawar
Ah, andai manka tentang hidup, bisa disadari sejak awal
Adiyasa, 18 Agustus
2014 [di saat gundah]
Kamis, 14 Agustus 2014
Catatanku Hari Ini
Hujan baru saja
berlalu, membasuh debu-debu
Hitam dan putih
tak lagi berbekas
Kecuali memori
yang terus berkompromi
Terimakasih
pada semua hal yang telah terjadi, karenanya…kita memiliki kenangan.
Tak perlu
melukis luka, ketika kita belum terbiasa kehilangan kebiasan-kebiasaan yang
pernah ada; sapaan pagi, atau ucapan selamat malam menjelang tidur.
Yang lalu adalah kenangan dan guru, esok adalah sesuatu
yang baru. Yang penting, bagaimana kita lalui hari ini dengan suka-cita, agar
kesempatan bertemu dengan pintu-pintu yang terbuka.
Adiyasa, 15 Agustus
2014 [untuk seorang sahabat]
Selasa, 12 Agustus 2014
Secangkir Kopi Pagi
Dua sendok gula, satu setengah sendok kopi.
Harusnya beraroma wangi. Bukankah itu komposisi yang pas menurutmu? Bukankah
dulu membangkitkanmu?
Hari ini masih sama, tak ada yang berubah
dari yang kutakar. Tapi kau bilang,
itu terlalu manis. Hari kemarin juga
sama, tapi kau bilang...itu terasa hambar.
Ada apa sebenarnya?
Hari ini – ya hari ini, kita berdua masih
di sini seperti dulu. Tempat dimana kita mengawali hari; dengan secangkir kopi, juga pertanyaan rutinmu tentang rumah, keuangan,
benda-benda. Komunikasi kita bagai dua pembawa acara pada sebuah gelombang radio,
yang selalu menyajikan tema sama, mencoba hadirkan nuansa sama.
Benarkah? Benarkah sama?
Kau kadang bertanya apakah aku baik-baik
saja, tapi segera disusul pertanyaan lain sebelum aku berkesempatan menjawabnya.
Aku merasakan hubungan kita bagai putaran roda-roda, yang malangnya aku
tertanam di sini sedangkan kau berada di mana-mana. Kita terus bertemu,
terhubung, seperti kerja mekanis sebuah mesin.
Kita kadang saling menyentuh, bersetubuh.
Dan karenanya, aku merasa...kau semakin jauh.
Membuatkanmu kopi pagi ini, adalah ritualitasku yang ribuan kali sejak bertahun-tahun lalu. Ia
menjadi rutinitas yang membunuh kepekaanku, yang menganggap segalanya tetap
sama, sebagai sesuatu yang teramat akrab, teramat lekat. Hingga aku tak mampu
melihat apa-apa yang memang tak dapat ”kulihat” – yang barangkali sebuah kenyataan baru.
Yang kutahu hanyalah, aku mengenal kau,
sudah tidak seperti dulu.
Engkau yang demikian dekat tapi serasa tak
terjangkau, bahkan ketika tubuh kita dalam balutan selimut yang sama. Engkau yang mulai banyak menghamburkan
kata maaf, namun membuatku kian merasa sepi.
Aku, semakin tertinggal olehmu di sebuah
kediaman. Yang kita beri nama, kita sematkan lambang atasnya. Aku ibarat benda yang
diletakkan dengan posisi tertentu, yang kukira takkan berubah sejak semula dan
selamanya. Bodohku.
Untuk apa kita pertahankan semua ini, demi
sebuah eksistensi, dimana ia menjadi lebih penting dari diri kita sendiri? –
barangkali lebih tepat diriku!
Inikah cinta...? Jika di saat lain, di luar
”dunia kecil” kita, justru kita temukan diri kita yang lain; yang baru, yang
hadir dan hidup. Masihkan perlu kita perdebatkan komposisi kopi yang tak pernah
sesuai seleramu, jika ada yang menganggap garam berlebih tetap terasa manis?
Cinta adalah....ketika kita merasa, segalanya terlalu
sulit dijelaskan, tapi terlalu mudah dilakukan. Karenanya,
segala yang nampak usang bagi seseorang, akan terlihat baru bagi seseorang yang
lain.
Ia kreatif dan tumbuh, ia memang berubah tapi
menggerakkan perubahan pada yang lain. Bukan sebuah kesetiaan pada ”ikatan” yang
kita kemas dengan rapi, dengan ritualitas yang seakan tabu jika tidak
dilakukan.
Adiyasa, 13 Agustus 2014
Selasa, 17 Juni 2014
Demokrasi Adalah Perjalanan Spiritual
Politik
bagai udara yang kita hirup, apakah ia segar atau busuk. Politik ibarat air
yang kita minum, apakah ia jernih atau berlimbah. Terlibat atau tidak, kita
hidup di dalamnya dan merasakan dampaknya. Pemilu, bisa dimaknai sebuah
kesempatan dan sebuah peluang bagi warga negara untuk terlibat, untuk menentukan
sikap.
Hak demokrasi menentukan pemimpin bangsa yang hanya terjadi lima tahun sekali, tidak bisa dibuat sekedarnya. Jika seseorang perlu upaya keras dan cermat menentukan karir atau perjuangan keluarga, maka kita juga harus mau menaruh perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menentukan suara kita dalam memilih pemimpin negeri ini. Negeri yang wajib memenuhi janji terhadap hak-hak konstitusi rakyatnya, janji yang telah lama diikrarkan dan telah lama dilanggar. Hingga rakyat jauh dari kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, pendidikan yang layak, serta jaminan kesehatan. Itulah Hak Asasi Manusia yang mendasar yang mula-mula harus dipenuhi, selain rasa aman, keadilan dan kebebasan berkeyakinan.
Kini, rakyat kembali diperdengarkan gemuruhnya janji. Seluruh ruang dalam hidup kita disesaki janji-janji, slogan, dan motto. Sudah lama, demokrasi menjadi alat bagi kepentingan penguasa mendustai rakyatnya, sudah lama demokrasi menjadi penyalung suara dengan promosi janji yang mengiklankan kualitas dari fakta sebaliknya. Semua menjadi hal biasa dan rakyat sudah terbiasa.
Tapi pemilu kali ini berbeda. Demokrasi yang dipertontonkan melalui media lebih banyak membahas kampanye hitam, kegiatan kejahatan dari pihak satu terhadap pihak lain. Selebihnya, dalam berbagai acara terkait pemilu, masyarakat diajak menyaksikan aksi kekerasan yang tak lagi beretika, tidak sportif, penekanan, pemaksaan kehendak, saling menjelekkan.
Serentak terjadi di ruang-ruang jejaring sosial media dan antarindividu, karakter kekerasan dan intoleransi pun bak virus yang menular. Pihak-pihak yang mengusung kedamaian malah melancarkan rasa tidak aman, kelompok yang katanya menentang kekerasan tapi berlaku keras, kelompok yang menginginkan keragaman tapi menjadi tidak toleran, dan merasa kandidat capres dan cawapres-nya paling benar, paling oke, paling sempurna. Suara-suara yang kuat membungkam suara-suara lemah. Rakyat awam mendapat kebingunan.
Keputusan pada siapa suara diberikan, sebagian masyarakat
yang memiliki pengetahuan lebih baik perlu merenung, menimbang, meneliti
fakta-fakta, menganalis. Rakyat yang belum dan tidak memiliki kemewahan berupa
pendidikan formal, membaca koran, buku, atau akses informasi yang berimbang
minimalnya bisa menyaksikan acara televisi yang harusnya fair dan berimbang. Peran media harusnya menyajikan kebenaran
informasi, yang membantu mengedukasi warga melalui figur-figur yang layak untuk
dimintai pendapat atau pernyataan, menggali fakta-fakta yang lebih mendalam.
Hak demokrasi menentukan pemimpin bangsa yang hanya terjadi lima tahun sekali, tidak bisa dibuat sekedarnya. Jika seseorang perlu upaya keras dan cermat menentukan karir atau perjuangan keluarga, maka kita juga harus mau menaruh perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh untuk menentukan suara kita dalam memilih pemimpin negeri ini. Negeri yang wajib memenuhi janji terhadap hak-hak konstitusi rakyatnya, janji yang telah lama diikrarkan dan telah lama dilanggar. Hingga rakyat jauh dari kemakmuran, kesejahteraan, keadilan, pendidikan yang layak, serta jaminan kesehatan. Itulah Hak Asasi Manusia yang mendasar yang mula-mula harus dipenuhi, selain rasa aman, keadilan dan kebebasan berkeyakinan.
Kini, rakyat kembali diperdengarkan gemuruhnya janji. Seluruh ruang dalam hidup kita disesaki janji-janji, slogan, dan motto. Sudah lama, demokrasi menjadi alat bagi kepentingan penguasa mendustai rakyatnya, sudah lama demokrasi menjadi penyalung suara dengan promosi janji yang mengiklankan kualitas dari fakta sebaliknya. Semua menjadi hal biasa dan rakyat sudah terbiasa.
Tapi pemilu kali ini berbeda. Demokrasi yang dipertontonkan melalui media lebih banyak membahas kampanye hitam, kegiatan kejahatan dari pihak satu terhadap pihak lain. Selebihnya, dalam berbagai acara terkait pemilu, masyarakat diajak menyaksikan aksi kekerasan yang tak lagi beretika, tidak sportif, penekanan, pemaksaan kehendak, saling menjelekkan.
Serentak terjadi di ruang-ruang jejaring sosial media dan antarindividu, karakter kekerasan dan intoleransi pun bak virus yang menular. Pihak-pihak yang mengusung kedamaian malah melancarkan rasa tidak aman, kelompok yang katanya menentang kekerasan tapi berlaku keras, kelompok yang menginginkan keragaman tapi menjadi tidak toleran, dan merasa kandidat capres dan cawapres-nya paling benar, paling oke, paling sempurna. Suara-suara yang kuat membungkam suara-suara lemah. Rakyat awam mendapat kebingunan.
Selama ini masyarakat terlanjur mempercayai media untuk
membangun opini publik. Dan selama ini pula, apa yang diusung di media selalu
menjadi trend di masyarakat baik itu soal bahasa, model pakaian, gaya hidup,
hingga bagaimana menentukan sikap terhadap koruptor, wakil rakyat, dan sikap politik.
Memilih pemimpin bangsa jelas menggunakan seluruh rasa dan sepenuh hati melalui
berbagai informasi yang benar, rekam jejak calon berdasarkan fakta-fakta, dan
analisis yang jujur serta mendalam. Unsur itu yang harusnya dilakukan media sebagai
pemberi informasi dan edukasi. Namun yang terjadi sekarang, media massa baik
cetak dan elektronik lebih sering mempertontonkan bentuk kekerasan yang jauh
dari etika.
Capres Jokowi –JK memaknai demokrasi adalah sesuatu yang
menggembirakan, ada juga yang mengatakan
demokrasi harusnya sesuatu yang sakral. Dan kaduanya tidak terjadi, kecuali
para pemilih awam yang jauh dari rasa dibimbing dan diayomi.
Semoga rakyat yang terbelakang-kan dan terdzalimi dalam
proses ini memiliki caranya sendiri, cara yang dibimbing akal sehat -- tak
hanya melihat yang tersurat, melainkan merasakan yang tersirat.
Bagi rakyat awam dan lemah, suara yang ia titipkan pada
pemilu adalah suara Tuhan. Suara yang mengharap perubahan lebih baik bagi agama
dan bangsa, bagi kemanusiaan. Karena demokrasi adalah sebuah perjalanan
spiritual yang suci dan agung.
Cikuya, 17 Juni 2014 [diposting di KabarJakarta.com]
Minggu, 15 Juni 2014
Perbedaan Adalah Kita
Akhir-akhir ini, kita merasa riskan dengan perbedaan.
Meski pilar dan semboyan bangsa ini adalah Bhineka Tunggal Ika. Di televisi dan
ruang di berbagai sosial media dimana demokrasi berproses, kita melihat
perbedaan adalah benturan.
Bisakah kita, para Tim Sukses dan pendukung masing-masing
kubu untuk tak kehilangan tawa, sekedar melihat bagaimana pasangan
Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK yang justru menjadi sangat lucu dengan
keseriusannya?
Saya dan teman saya terkekeh-tekeh menyaksikan Jusuf Kala
yang berbicara tak jelas menghilangkan huruf-huruf kalimatnya. Juga Hatta
Rajasa yang saking seriusnya sehingga bermaksud sempurna malah menjadi cempurna.
Sebentar saja kita tanggalkan kenaifan diri kita sendiri,
bahwa sebagus apapun visi dan misi, kita terlanjur dilukai oleh janji-janji
yang tak pernah ditepati. Juga muaknya mendengar muluknya jargon, atau akting
dari wajah-wajah yang terlatih menyatakan empati. Lalu apa pentingnya
habis-habisan berkelahi?
Di ruang kehidupan dimana kita bersinggungan langsung
antarwarga, saya mencoba menanyakan pandangan mereka. Dan tetangga saya bilang,
“Saya tidak memilih Prabowo! Dia tak menutup salam dengan benar dan salamnya
dicampur-campur. Dia juga tak punya istri, itu kepemimpinan yang cacat!”
”Ngapain saya memilih Jokowi. Dia itu manusia kemaruk.
Masak, menjabat gubernur saja belum selesai kok sudah mencalonkan presiden.
Saya tidak suka melihat manusia yang serakah,” kata seorang sopir taksi.
Dua orang itu terpisah jarak dan tak saling mengenal.
Entah perdebatan itu akan sesengit apa andai mereka bertemu muka. Apakah sama
dengan perilaku para tim sukses dan pendukung capres-cawapres yang sering kita
saksikan televisi? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua orang punya penafsiran,
semua memiliki bias.
Berikutnya saya mendapat sms dari seorang yang saya
anggap senior, ”Yuk, dukung nomor 1 dan
pilih nomor 2...”, dan kalimat ditutup
simbol penanda senyum.
”Bagaimana kalau saya mendukung nomor 2, dan memilih
nomor 1?” kemudian saya tambahkan: ha ha ha.
Detik selanjutnya, sms kami tanpa kata, kecuali
simbol-simbol penanda tawa.
Saya atau dia, tidak mengemukakan argumen kenapa memilih
ini dan kenapa memilih itu. Barangkali dia sedang capek atau jenuh untuk
berceramah, dan saya sedang tak ingin menanyakan apa-apa. Mungkin juga, kami
sadar bahwa penjelasan atau dasar-dasar yang diargumenkan tak akan
merepresentasikan dari figur pilihan kita. Visi dan misi lebih sering tak
terbukti, juga kesadaran bahwa kita tidak bisa mereduksi pribadi lain, apalagi
kelompok besar yang sedang lebur dalam koalisi.
Kita boleh melihat gaya menyukseskan yang berapi-api,
dengan tetap menjaga skeptis dan belajar realistis.
Cawapres pasangan Jokowi (Jusuf Kalla) yang berwajah dua.
Di sisi lain mengkritik keras Jokowi dan kini menyanjung, sungguh mengganjal
rasionalitas yang lahir dari perasaan normal.
Saya merasa tak menemukan unsur keteladanan pada sosok JK
yang mencla-mencle. Yang tak kalah
unik adalah menyaksikan Para Tim Sukses dari partai-partai koalisi pendukung
kedua kubu baik Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK. Mereka bagai sedang berjualan
dan berebut wilayah, sibuk memoles, sibuk saling menjatuhkan.
Dasar-dasar argumentasi semakin liar. Berawal dari soal
visi dan misi yang tak tuntas, bergeser pada koalisi gemuk dan kurus, kini
meruncing pada sikap, gestur tubuh, hingga intonasi. Yang unggul dalam pidato
dicurigai hanya bisa pidato tak bisa bekerja, yang sudah terbukti kinerjanya
masih kurang sempurna karena kurang cakap berpidato. Isu kian meruncing dan sempit
dalam kemasan tema program televisi berjudul ”Presiden Orator dan Eksekutor”.
Ah, seberapa penting semua perdebatan dan ”perkelahian”,
andai kesempurnaan membuat pihak lain cacat? Seberapa penting sebuah kemenangan
yang diraih dengan cara saling menjatuhkan? Dalam koalisi, nilai-nilai
perbedaan lebur dalam sekejap dan mereka segera lupa. Tapi yang terjadi dalam
kehidupan para pendukung, fanatisme bisa melahirkan sifat primordialisme yang melahirkan
sikap kontra produktif dalam konteks kedaulatan menuju perubahan.
Siapapun yang akan menang dari kedua kubu, mereka
bukanlah tukang sulap mengubah bangsa ini. Bukankah sejatinya kedaulatan dan
perubahan harusnya lahir dari tangan rakyat? Jika berbeda adalah oposisi, ia
diperlukan agar tetap ada kekritisan bagi kekuasaan, dan itu biasa, andai kita
menyadari bahwa perbedaan adalah kita.
Dan yang lebih penting dari perbedaan, bahwa kita masih
bisa tertawa bersama.
Cikuya, 11 Juni 2014 [diposting di
KabarJakarta.com]
Sabtu, 24 Mei 2014
Politik dan Ruang Ragu
Jelang pemilu udara berubah suhu.
Banyak orang mudah emosional,
gampang naik darah, dan menjadi temperamen.
Para pendukung figur calon presiden bagaikan petugas humas, bahkan berperan layaknya kekasih yang serba mengerti luar dalam figur yang didukungnya. Para tim sukses berperan lebih jauh dari sekedar mengusung visi dan misi, tapi juga mereduksi sifat-sifat figur itu sendiri dengan mengambilalih karakter, jiwa, hati, hingga nurani.
Sebagai warga, saya hanya bisa menyimak melalui sosial media, facebook, televisi sambil berdecak. Saya diliputi rasa takut mengemukakan pendapat, barangkali juga pilihan, meski kepada teman.
Ada nilai yang hilang tentang demokrasi, ketika berbeda dianggap musuh. Ada nilai yang hilang dari hak konstitusi ketika menyatakan pendapat dibayangi teror. Politik menjadi ruang sempit ketika kita menjadi fanatik dan terjebak pada ruang ciptaan sendiri: benar atau salah dia figur pilihanku.
Fanatisme membuat kita tidak bisa sedikitpun menyisakan ruang di hati kita pada ragu, pada kemungkinan salah, pada suara yang berbeda, dan bagaimana kelak jika figur kita tak sesuai harapan? Padahal berbeda adalah bagian yang hendak kita hormati sebagaimana dasar negara ini yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Tidakkah kita lupa, atau luput melihat? Bahwa berbeda tidak selalu bentuk kejahatan sehingga kita harus saling serang? Kenapa kita jadi sempit bahwa beda pilihan harus jadi penyebab disharmonisasi sementara figur yang kita dukung sudah melebur dengan pihak-pihak, atau kelompok-kelompok yang awalnya kita tentang?
Kita yang di bawah rela berbaku hantam, sementara para elit di atas kita telah berangkulan. Di kubu Jokowi - JK ada Hanura yang bernuansa militer, kelompok berbasis islam, pengusaha. Di kubu Prabowo – Hatta, juga ada aroma militer, Golkar dan partai berbasi islam. Prabowo identik dengan pelanggaran Ham, sedangkan Megawati Sukarnoputri partai yang melahirkan figur Jokowi juga terbukti kebijakannya merugikan buruh, menjual aset negara selama berkuasa. Bagaimana menjawabnya?
Semua hal di atas tak tuntas terjawab oleh semua yang berdebat. Di sisi lain, menuju waktu yang kian mendekati pemilu, para elit lebih fokus untuk menang melalui pengumpulan suara, kuota, kursi. Visi dan misi yang awalnya menegaskan mereka berbeda lebur sudah dalam sekejap. Partai yang kalah segera berkolaborasi untuk numpang menang. Tak perlu kita debatkan platform partai atau nilai-nilai, kecuali bagi kita yang gemar ditipu dan dihibur.
Perbedaan antar partai bukan lagi sebagai hal yang menandakan agungnya nilai-nilai moral, kemanusiaan, pro atau anti rakyat. Ia segera melebur, mencair, sama persisnya seperti bunglon yang hinggap dari satu pohon ke jenis pohon lainnya dan berubah kulit.
Momen pemilu hanyalah tindakan
kecil: memilih untuk memenangkan figur menjadi pemimpin bangsa. Sedangkan
kemenangan hak-hak warga negara selalu ditentukan oleh jiwa besar, kerja-kerja
besar, perjuangan, yang sangat memerlukan sinergi antar warga, antar perbedaan,
suku, ras dan agama, sambil terus bersikap kritis dari waktu ke waktu, di hadapan tirani kekuasaan
yang tak selalu ramah pada rakyat.
Tangerang, 23 Mei 2014
Para pendukung figur calon presiden bagaikan petugas humas, bahkan berperan layaknya kekasih yang serba mengerti luar dalam figur yang didukungnya. Para tim sukses berperan lebih jauh dari sekedar mengusung visi dan misi, tapi juga mereduksi sifat-sifat figur itu sendiri dengan mengambilalih karakter, jiwa, hati, hingga nurani.
Sebagai warga, saya hanya bisa menyimak melalui sosial media, facebook, televisi sambil berdecak. Saya diliputi rasa takut mengemukakan pendapat, barangkali juga pilihan, meski kepada teman.
Ada nilai yang hilang tentang demokrasi, ketika berbeda dianggap musuh. Ada nilai yang hilang dari hak konstitusi ketika menyatakan pendapat dibayangi teror. Politik menjadi ruang sempit ketika kita menjadi fanatik dan terjebak pada ruang ciptaan sendiri: benar atau salah dia figur pilihanku.
Fanatisme membuat kita tidak bisa sedikitpun menyisakan ruang di hati kita pada ragu, pada kemungkinan salah, pada suara yang berbeda, dan bagaimana kelak jika figur kita tak sesuai harapan? Padahal berbeda adalah bagian yang hendak kita hormati sebagaimana dasar negara ini yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Tidakkah kita lupa, atau luput melihat? Bahwa berbeda tidak selalu bentuk kejahatan sehingga kita harus saling serang? Kenapa kita jadi sempit bahwa beda pilihan harus jadi penyebab disharmonisasi sementara figur yang kita dukung sudah melebur dengan pihak-pihak, atau kelompok-kelompok yang awalnya kita tentang?
Kita yang di bawah rela berbaku hantam, sementara para elit di atas kita telah berangkulan. Di kubu Jokowi - JK ada Hanura yang bernuansa militer, kelompok berbasis islam, pengusaha. Di kubu Prabowo – Hatta, juga ada aroma militer, Golkar dan partai berbasi islam. Prabowo identik dengan pelanggaran Ham, sedangkan Megawati Sukarnoputri partai yang melahirkan figur Jokowi juga terbukti kebijakannya merugikan buruh, menjual aset negara selama berkuasa. Bagaimana menjawabnya?
Semua hal di atas tak tuntas terjawab oleh semua yang berdebat. Di sisi lain, menuju waktu yang kian mendekati pemilu, para elit lebih fokus untuk menang melalui pengumpulan suara, kuota, kursi. Visi dan misi yang awalnya menegaskan mereka berbeda lebur sudah dalam sekejap. Partai yang kalah segera berkolaborasi untuk numpang menang. Tak perlu kita debatkan platform partai atau nilai-nilai, kecuali bagi kita yang gemar ditipu dan dihibur.
Perbedaan antar partai bukan lagi sebagai hal yang menandakan agungnya nilai-nilai moral, kemanusiaan, pro atau anti rakyat. Ia segera melebur, mencair, sama persisnya seperti bunglon yang hinggap dari satu pohon ke jenis pohon lainnya dan berubah kulit.
Tapi dalam kehidupan bermasyarakat sudah terlanjur retak, terlanjut tersekat yang tak jarang timbulkan kerusakan hubungan yang mengakar. Hubungan
persaudaraan, hubungan tetangga, pertemanan bisa tercabik-cabik oleh sikap ekstrimisme
satu sama lain. Jika kondisi ini terjadi, maka kita sama-sama kembali terperangkap
pada pola perpecahan warisan Belanda saat menjajah bangsa ini -- Devide et impera dan tentu pihak penguasa yang akan mengambil keuntungan.
Tangerang, 23 Mei 2014
Minggu, 18 Mei 2014
Sebuah Nama Untuk Kekosongan
Tidak terlalu penting, apakah hari ini
ditutup dengan tawa atau tangis, keduanya hanya berbatas tirai yang teramat tipis.
Keduanya berada dalam kepingan yang sama. Untuk bergantian menuju sebuah pintu,
masuk ke dalam ruang jiwa.
Dalam kekosongan yang tak selalu tanpa nama,
ia adalah kelelahan kita untuk mengejar, menunggu, atau mempertahankan. Sampai
kita berhenti di batas kefanaan dan melihat, bahwa cinta, kesetiaan, keindahan, seluruhnya
hanyalah lautan ombak. Yang akan terus berlalu, berganti, dan berhenti.
Di hadapan jiwa yang selalu ingkar pada
yang fana, cinta, keindahan, kesetiaan, menjadi teramat rapuh dan menyakitkan! Cinta
dan kesedihan selalu hadirkan rasa yang sama: ketakutan!
Sampai kita berhenti di batas kefanaan
itu sendiri dan bersama gelap, ketiadaan, luka…
Untuk tahu bahwa kebersamaan dan perpisahan
adalah kosongan yang sama.
Hingga kita mengerti bahwa tangis, tawa,
adalah kenangan yang bernama.
Yang mengisi jiwa, yang menghidupkan.
Cikuya, 18 Mei 2014
Selasa, 22 April 2014
Aku
Kita butuh sepi agar mendengar suara yang sunyi
Kita perlu gelap
agar bisa melihat dengan telanjang
Terkadang harus menyendiri
untuk merangkum segala yang terserak
Karena sendiri adalah mata rantai
Yang tunggal,
terhubung, terangkai
Yang terpisah, tersambung,
dan tanggal
Tak perlu membuang
bagian yang legam
Tak perlu menutup
bagian yang berdarah
Karena ia saksi sejarah
Rangkaian ibarat lembah
Yang mengantarkan
kita menuju puncak pendakian
Gelap adalah kontras, agar putih terlihat
Gelap adalah kontras, agar putih terlihat
Aku perlu sendiri
Karena sendiri adalah...
22 April 2014 [di
saat lelah]
Senin, 21 April 2014
Misteri Sebuah Tepi
jika kejahatan
terus berdesakan hingga tak lagi bernama
bagaimana kita
mengingat?
karena jiwa-jiwa
terus melayang dalam tabir yang tak terungkap
dan yang hidup tak
lagi ”hidup” ketika...
jiwa terpecah oleh
kekosongan bernama lapar yang menggelapkan mata
merayap dan
tergiring dalam keterbelakangan yang sunyi
kita tahu apa itu
kejahatan, pengingkaran, pengkhianatan, penindasan
kadang membuat kita
tunggang-langgang mencari aman
kadang melahirkan tindakan
balik bernama perlawanan!
tapi, ketika semua terjadi
secara bertubi kita bagai tuli
ketika semua terus
berulang kita menjadi gamang
ketika semua terus
berlangsung kita menjadi limbung
ternyata,
membungkam tak perlu dengan senjata
karena luka yang
mendalam sanggup mendiamkan
menghilangkan
seluruh kata, barangkali cara
tapi jangan lupa
wahai penguasa!
diam itu berjiwa,
yang tak tertebak
sebagaimana kita
tahu bahwa putus asa juga berjiwa
jiwa yang sanggup
melampaui jiwanya sendiri
dan...perang
terkadang bermula dari hati yang sepi
jiwa yang terlukai
menuju ambang batas raionalitas
Cikuya, 21 April 2014 [nuansa batin jelang 1 Mei]
Cikuya, 21 April 2014 [nuansa batin jelang 1 Mei]
Jumat, 11 April 2014
Efek Figur
Partainya bukan tanpa cela
Banyak tumbal selama ia berkuasa
Ini tak bisa dinafikan
Buruh tergulung dalam undang-undang yang
berlobang
Jika aku memilihnya, itu karena dia
Aku sadar ini efek figur
Tapi agar dunia percaya bahwa ada
saatnya kita tak perlu pakar atau gelar
Figur bersinar bagai lampu mercusuar
Yang menerangi sisi-sisi gelap sebuah
bangunan
Tapi tak ada
salahnya gunakan sedikit keyakinan
Tentang cahaya yang
akan menarik cahaya-cahaya yang lain
Memilih untuk
Indonesia?
Barangkali tidak,
karena terlalu abstrak – Indonesia yang mana?
Jika konstitusi
terus terelimininasi
Dalam gerusan roda
transisi yang terjadi lima tahun sekali
Mari rehat sejenak
saksikan sebuah komedi
Tentang lelucon
wong pinter kalah karo wong bejo
Karena biasanya,
kabegjan adalah anugerah yang bersemayam diam-diam
Dan tak pernah
salah memilih tempat untuk singgah
Habis gelap
terbitlah terang
Setitikpun sinar,
akan selalu diperlukan
Agar kegelapan
menemukan alamat menuju
Cahaya memiliki
sebuah pandu
Adiyasa, 11 April 2014
Selasa, 08 April 2014
Warna Luka
pagi menyapa,
sekilas terasa biasa, meski rasa tak pernah sama
angin datang
membawa debu, kadang sisa embun
kadang hembuskan
udara segar
pagi datang, pagi
pergi, serasa sama, hanya karena ribuan kali terjadi
hingga selembar
kanvas berwarna-warni
tapi kita
terpancang pada tonggak abadi
sebagai saksi dari
luka kita sendiri
adakah warna luka?
jika angin tak
selalu hadirkan badai, dan hujan
mencuci segala kotoran
masihkah ada luka?
karena terik selalu
diimbangi dinginnya udara
munculkan bintang di langit gemilang, hingga mendung
gantikan cuaca
perlukah abadikan
luka?
karena debu
bukanlah residu
sedang nafaspun perlu berganti udara baru?
adiyasa, 8 April 2014
Rabu, 02 April 2014
Jebakan Berbahaya Memilih Jokowi
Jokowi sedang diusung banyak pendukung, digandrungi. Rasa yang juga saya miliki, setelah golput sejak dua putaran pemilu yang lalu.
Saya gandrung padanya.
Jokowi yang sebenarnya biasa, hanya saya ia ada di tengah-tengah keluarbiasaan
yang ada.
Perhelatan memilih calon pemimpin bangsa sedang terjadi begitu
memanas. Bahkan tak jarang sering mengorbankan suara yang lemah melalui keoligarkian
pemimpin, atau penyesatan tak langsung lewat klaim-klaim tokoh yang dianggap
amanah. Kadang juga melalui ‘pendakwah’.
Berbagai suara dengan segala tingkatan pendidikan, kepercayaan,
aliran, bertebaran di mana-mana. Dari sana
warna terlihat, kapasitas, kualitas, juga bias, yang sering tidak disadari
karena berbagai dimensi, tendensi, juga ketidaktahuan warga yang masih sulit
mengakses informasi secara berimbang.
Hal itu kian memberi tanda bahwa harapan mewujudkan dukungan
kritis masih terasa jauh.
Tapi saya selalu percaya bahwa personalitas pemimpin penting
disamping seabrek program yang bisa ditawarkan, atau kebijakan yang dibuat. Pemimpin
yang baik, adalah individu yang baik, dimana unsur-unsur dasar manusiawi masih
bisa ditemukan. Di antaranya ia memiliki sifat bisa dipercaya, rendah hati,
jujur, berani. Pemimpin yang awas, untuk memastikan seluruh sistem berguna, terkontrol, dan memang
diawasi. Laku inilah yang disebut jejak perbuatan, yang menjadi dasar-dasar tindakannya, cermin sifatnya. Track Record adalah jejak perilaku, yang tidak bisa dicuri oleh
kekuatan apapapun. Sebagaimana hukum kebiasaan
yang terjadi dalam semesta, dimana sifat baik akan melahirkan tindakan baik.
Hukum ini pula yang tidak akan menukar atau mengubah rasa mangga dengan buah brenuk,
meski keduanya berdampingan di tanah yang sama.
Dari sekian perangkat hukum, undang-undang,
jutaan pasal yang terus ditambah meski hak-hak konstitusi tak pernah terbukti, tapi
nurani selalu membuktikan kebaikan-kebaikan yang berguna untuk kemanusiaan. Nurani pula yang membuktikan
bagaimana hubungan majikan buruh tani tetap berlaku santun dan tidak melanggar
HAM. Meski tanpa diatur undang-undang dan sanksi, perlakuan manusiawi selalu
menjadi kepekaan yang membudaya. Buruh tani di kampung-kampung selalu tak
kekurangan makan dan minum. Hingga sistem kapitalisme menjadikan manusia adalah
budak, dan pemimpin bangsa serta wakil rakyat lupa menghormati manusia,
bangsanya -- buruh hanyalah soal relasi alat produksi dan majikan, selebihnya
upah. Pada akhirnya, kita rindu menemukan kembali fitrah manusia dalam diri pemimpin.
Tentu, menggantungkan perubahan Indonesia
pada Jokowi adalah kesalahan. Bahkan anugerah Tuhan
pun enggan menghampiri tanpa kekritisan diri kita mempergunakan pikiran. Bertuhan
adalah berpikir, apalagi menentukan tuhan untuk bangsa kita. Gusti Allah
tergantung prasangka (maunya) manusia.
Saatnya memperbaiki kemauan kita sendiri dengan memperbaiki cara berpikir, menentukan pilihan dengan rasa bebas, mengawal proses perubahan hingga akhir. Hal ini, yang diingatkan oleh Coen Husain Pontoh tentang dua jebakan berbahaya memilih Jokowi dalam tulisan "Dukungan Kritis" . Harapan ini bisa terjadi jika pemimpin kita adalah pemimpin yang rendah hati, yang komunikatif, untuk tidak menutup ruang-ruang kekuasaan.
Saatnya memperbaiki kemauan kita sendiri dengan memperbaiki cara berpikir, menentukan pilihan dengan rasa bebas, mengawal proses perubahan hingga akhir. Hal ini, yang diingatkan oleh Coen Husain Pontoh tentang dua jebakan berbahaya memilih Jokowi dalam tulisan "Dukungan Kritis" . Harapan ini bisa terjadi jika pemimpin kita adalah pemimpin yang rendah hati, yang komunikatif, untuk tidak menutup ruang-ruang kekuasaan.
Tak ada gading yang tak retak. Tapi jika
ada banyak calon pemimpin yang sama-sama retak, pilihlah yang retaknya sedikit.
Jangan-jangan, keretakan yang terjadi sekian lama karena kita berlaku pasif.
Adiyasa, 3 April 2014
[tulisan ini terinspirasi artikel Mas Coen dalam
judul ”Dukungan Kritis]
Langganan:
Postingan (Atom)